Ini komedi atau tragedi? Entahlah.
Yang pasti, Ismasil Ahmad harus berurusan dengan polisi. Warga Kepulauan Sula, Maluku Utara, itu baru-baru ini diciduk polisi lalu diperiksa setelah mengunggah humor Gus Dur tentang tiga polisi jujur di Indonesia di laman Facebook. Padahal, humor Gus Dur itu telah beredar luas di masyarakat selama bertahun-tahun, dan Ismasil Ahmad cuma mengutipnya.
Jadi, ini komedi atau tragedi? Entahlah. Mungkin tak sejauh itu. Mungkin polisi sedang khilaf, atau sensi, atau salah paham. Tapi, apa yang dialami Ismasil Ahmad itu menggambarkan bahwa hari-hari ini masyarakat Indonesia memang sedang “krisis humor”. Kehilangan rasa dan selera humornya (sense of humor). Pada masyarakat seperti ini, yang sering tumbuh subur adalah rasa kebencian.
Maka, periksalah, akhir-akhir ini yang membanjiri media sosial (medsos) adalah hate speech (ujaran kebencian), hoax (berita bohong), fitnah, dan hal-hal lain sejenisnya. Dan semakin banyak orang yang menelannya, tanpa mengunyah. Inilah salah satu ciri masyarakat yang sedang mengalami “krisis humor” atau kehilangan sense of humor.
Padahal, dan jangan pernah menyelepekan, humor itu termasuk hal-hal yang Ilahiah. Humor itu karunia Tuhan. Itulah kenapa tradisi sufi dalam Islam selalu dipenuhi humor. Yang paling popular kita mengenal ada Abu Nawas, juga Nasruddin Khodja. Oleh para sufi ini, hikmah Tuhan selalu disampaikan dengan humor. Nabi Muhammad pun sangat menyukai humor, dan ia begitu mencintai sahabatnya yang humoris, Nuaiman bin Amr.
Seperti halnya musik, humor itu juga soal kecerdasan. Selera humor, atau sense of humor, selalu berkorelasi dengan kecerdasan. Humor hanya diproduksi dan bisa dinikmati oleh masyarakat, oleh orang-orang, dengan tingkat kecerdasan yang minimal setara. Orang-orang cerdas seringkali menyelesaikan persoalan dengan humor. Contohnya adalah apa yang pernah dilakukan Imam Malik dan Imam Syafii, guru-murid pendiri empat madzhab fikih dalam Islam —selain Imam Hanafi dan Imam Hambali.
Di suatu majelis, sang guru Imam Malik menerangkan bahwa rezeki dari Allah itu akan datang tanpa sebab. “Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus lainnya,” demikian pendapat Imam Malik sembari mengutip sebuah hadits sebagai dalilnya.
Rupanya sang murid, Imam Syafii tak sependapat. “Ya Syeikh, seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki?” katanya. Imam Syafii berpendapat, rezeki tak bisa datang sendiri. Diperlukan usaha dan kerja keras untuk memperolehnya. Hingga majelis bubar, keduanya masih berselisih.
Di hari lain, ketika sedang berjalan-jalan, Imam Syafii melihat serombongan orang sedang memanen buah anggur. Sang Imam pun ikut membantu mereka. Setelah pekerjaan selesai, Imam Syafii mendapat imbalan beberapa ikat anggur sebagai balas jasa. Senang usahanya mendapat imbalan, Imam Syafii mendatangi Imam Malik guna memperkuat argumennya.
Imam Malik sedang duduk santai ketika Imam Syafii datang. Dengan tersenyum, Imam Syafii menaruh seluruh anggur di meja di depan Imam Malik. “Seandainya saya tidak keluar pondok dan melakukan sesuatu (membantu memanen), tentu saja anggur (rezeki) itu tidak akan pernah sampai di tangan saya,” kata Imam Syafii.
Imam Malik langsung mengambil anggur di depannya dan mencicipinya. Sembari tersenyum, ia berkata, “Sehari ini aku memang tidak keluar pondok, hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit berpikir alangkah nikmatnya kalau di hari yang panas ini aku bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang sambil membawakan anggur untukku. Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab? Cukup dengan tawakal yang benar kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya.”
Keduanya langsung tertawa bersama. Begitulah, perdebatan di antara orang-orang cerdas diakhiri dengan humor.
Ada masanya, memang, humor adalah sebentuk perlawanan. Baik, misalnya, perlawanan terhadap rezim otoriter maupun tekanan hidup yang tak terperi. Itulah kenapa, di negara-negara otoriter seperti Rusia sebelum Uni Soviet bubar, humor beredar cepat dari satu orang ke lain orang hingga pada 1980-an muncul buku humor yang sangat popular, Mati Ketawa ala Rusia. Di Indonesia buku ini laris karena rakyat hidup di bawah tekanan rezim Orde Baru. Latar yang sama yang menginspirasi lahirnya humor-humor seperti Mati Ketawa ala Rusia itu.
Gus Dur, yang humornya dikutip Ismasil Ahmad itu, adalah salah satu simbol perlawanan terkuat terhadap otoritarianisme Orde Baru. Padahal, saat itu ia menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), ormas Islam terbesar di Indonesia. Namun, sebagai tokoh genius, ia tidak membawa organisasinya, atau mendorong massa pendukungnya, untuk melalukan perlawanan. Ia justru banyak menggunakan humor atau joke-joke untuk memberikan perlawanan terhadap tirani penguasa.
“Humor memang tidak bisa menjatuhkan pemerintah, tetapi humor bisa membantu membusukkan rezim,” itulah kutipan Gus Dur tentang salah satu pentingnya humor.
Ada masanya, humor menjadi sebentuk perlawanan terhadap tekanan hidup. Katakanlah sebagai katalisator, yang dalam ungkapan Gus Dur menjadi seperti ini: “Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor, pikiran kita menjadi lebih sehat.”
Itulah kenapa, di Indonesia, kelompok masyarakat yang dikenal paling tahan banting, dan juga paling adem, dalam menghadapi berbagai situasi dan dinamika sosial-politik adalah warga nahdliyin, kaum santri. Mereka sudah terbiasa dengan humor, joke, lelucon, dan sebangsanya. Alam pikirannya menjadi lebih sehat dengan humor.
Humor, atau sense of humor, itulah yang absen di negeri ini sekarang. Sehingga yang meraja adalah hate speech dan hoax. Lalu kita mau menyebutnya apa: tragedi atau justru komedi itu sendiri?