Ibnu Khaldun dan Kurva Laffer

285 views

Sampai dengan dekade 1970-an, perekonomian dunia masih didominasi teori Keynesian, terutama di Amerika Serikat. Menghadapi perekonomian yang stagnan atau terkontraksi, maka pemerintah harus meningkatkan pengeluaran dan menurunkan tarif pajak. Dengan begitu, diasumsikan akan ada peningkatan permintaan agregat yang kemudian bisa merangsang pertumbuhan ekonomi.

Pada 1974, ekonom Arthur Laffer datang dengan perspektif baru. Itu pertumbuhan semu. Dari perspektifnya ia melihat, saat itu perekonomian tidak tumbuh bukan karena permintaan kurang, tapi lebih karena didorong oleh beban pajak yang telah terlalu tinggi. Laffer kemudian menyodorkan teori baru tentang “keseimbangan pajak” yang kemudian dikenal dengan istilah  Kurva Laffer.

Advertisements

Sepintas, teorinya seperti sebuah paradoks: dengan pajak yang terlalu tinggi, pendapatan negara justru akan menurun. Sebab, dunia usaha akan tercekik oleh beban pajak yang terlalu tinggi. Dalam kondisi seperti ini, orang tak mau berproduksi dan bekerja. Di titik berseberangan, jika pajak terlalu rendah, negara tak akan memperoleh pendapatan yang cukup untuk membiayai dirinya sendiri. Negara akan lemah.

Maka disodorkanlah Kurva Laffer, titik ideal untuk pajak. Pajak pada titik idealnya akan membuka ruang bagi negara memperoleh pendapatan optimal dengan tetap menyediakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha. Dengan demikian, perekonomian akan bisa tumbuh berkelanjutan.

Yang menarik, sang ekonom Amerika Serikat ini, Arthur Laffer, mengakui bahwa yang dia bawa bukan teori baru. Teori itu telah dicetuskan oleh filsof sosial yang hidup pada abad ke-14: Ibnu Khaldun! Ia hidup pada senjakala keemasan dunia Muslim, dan telah mengamati jatuh bangunnya banyak dinasti, kerajaan, atau pemerintahan kekhalifahan.

Hasil pengamatannya itu kemudian dituliskannya dalam kitab yang sangat masyhur, Muqaddimah. Dalam salah satu bagiannya Ibnu Khaldun menuliskan, pada mula berdirinya, negara-negaraa cenderung “bermain aman”, mengenakan sedikit pajak atau pungutan kepada rakyatnya. Selain untuk memperoleh dukungan atas kekuasaannya yang terbilang baru, yang fondasinya masih rapuh, pemerintahan-pemerintahan baru memang masih terbilang hemat dalam pengeluaran.

Namun, berdasarkan pengamatan Ibnu Khaldun, seiring berjalannya waktu, ketika fondasi kekuasaan sudah solid, pemerintahan biasanya mulai membelanjakan uang secara boros. Untuk membiayai keborosan itu, maka negara memajaki rakyatnya secara berlebihan. Tarif pajak dibuat tinggi dengan asumsi pendapatan negara meningkat.

Di saat seperti itulah paradoks mulai bermain. Ketika para penguasa mematok pajak tinggi-tinggi, pendapatan negara justru turun drastis. Sebab, orang-orang mulai malas bekerja dan berproduksi. Pada gilirannya, perekonomian stagnan, negara tak punya uang. Itulah senjakala sebuah negara.

Temuan Ibnu Khaldun itulah yang kemudian “dipinjam” Arthur Laffer untuk membangun teori Kurva Laffer yang kini dijadikan referensi oleh banyak negara untuk merumuskan kebijakan di bidang perpajakan.

Kita mengenal Ibnu Khaldun sebagai sarjana Muslim, orang-orang Barat mengenalnyaa sebagai filosof, sosiolog, dan ahli ekonomi.

Di masa Ibnu Khaldun, mempelajari semua bidang ilmu masih dianggap sebagai bagian dari menjalankan perintah agama. Lebih-lebih di abad-abad sebelumnya. Mempelajari dan mendalami matematika, filsafat, linguistik dan sastra, ilmu fisika, ilmu kimia, ilmu biologi, ilmu kedokteran, ilmu ekonomi dan keuangan, ilmu administrasi dan kemiliteran sama pentingnya dengan mempelajari dan mendalami ilmu al-Quran, ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu fikih, dan sebagainya. Kemudian semuanya memperoleh sebutan ulama, orang-orang berilmu —hanya spesialisasinya yang berbeda.

Tapi kini, ketika ilmu telah terpolarisasi —ada yang disebut ilmu agama dan ilmu non-agama— yang dianggap menjalankan perintah agama “hanyalah” mempelajari dan mendalami ilmu al-Quran, ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu fikih, dan semacamnya. Itulah yang disebut dengan belajar ilmu agama. Sementara, yang mendalami matematika, filsafat, linguistik dan sastra, ilmu fisika, ilmu kimia, ilmu biologi, ilmu kedokteran, ilmu ekonomi dan keuangan, dan teknologi informasi, misalnya, tidak memperoleh sebutan itu. Bahkan ada yang menganggap sebagian ilmu sesat, seperti filsafat, misalnya.

Karena itulah, pada akhirnya tak banyak umat Islam yang menguasai dan berkecimpung di bidang-bidang yang dari sisi keilmuannya disebut bukan ilmu agama. Sarjana-sarjana Muslim masa lalu seperti Ibnu Khaldun, al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Ibnu Rysd, al-Kindi, dan sebagainya itu hanya hidup dalam kenangan.

Saya merindukan semua ilmu diberi kedudukan yang sama, seperti di masanya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan