Ibu Jelmaan Merpati

570 kali dibaca

Suasana subuh masih pekat menyelimuti rumah berpagar tanaman bonsai. Di belakang rumah, nampak sesosok perempuan tua menimba air di sumur yang sudah berlumut. Peluh satu, dua, luruh jatuh ke dalam sumber air bagi keluarga itu.

Dari pohon trembesi sebelah kanan sumur, terdengar indah kicauan burung emprit dan kawanannya. Seolah menemani perempuan renta yang masih sibuk dengan tali timba yang ditarik melewati katrol penuh karat, pertanda usia dan berjuta jasa sudah diabdikannya berember-ember air untuk penghuni rumah.

Advertisements

“Aryo, tolong kamu nyalakan tungku dapur. Ibu hendak membuat sarapan!” perintah perempuan sepuh itu pada Aryo, anaknya, yang baru saja bangun, saat hendak masuk kamar kecil.

“Baik, Bu!”

Dengan wajah yang masih kusut, Aryo yang baru pulang dari pesantren itu segera menyalakan tungku. Selesai itu ia kembali ke sumur untuk mengambil wudhu. Diamatinya sang ibu yang dengan telaten mencuci kedelai bahan baku tempe. Sejak kecil ia dibesarkan sang ibu dengan pundi-pundi untung dari penjualan tempe. Tepat ketika ia selesai mengambil wudhu, ibunya juga sudah selesai mencuci kedelai. Bersama mereka melangkah masuk rumah.

“Bukannya ibu sakit? Mengapa masih membuat tempe?” tanya Aryo.

“Alhamdulillah sudah membaik, Nang. Justru obat bagi ibu, ya membuat tempe seperti ini, ” balas ibunya sambil memasukkan kedelai kedalam panci.

Di antara semburat emas ufuk timur yang merambati sela-sela daun trembesi dan pohon nangka di samping dapur, ikut mengudara pula uap masakan ibu yang selalu menyambut pagi dengan senyum. Paduan suara burung merpati peliharaan sang ibu, juga ikut meracik suasana pagi itu. Meski tangan itu sudah berukir keriput, ia tetap lincah mengupas bawang—sesekali tangannya memasukkan daun kelapa kering ke dalam tungku—sambil mengecek nasi yang tengah ditanak.
***

Satu jam kemudian, ibu sudah menata hidangan di atas tikar pandan. Di dapur, berbagai alat masak sudah bersih. Biji-biji kedelai juga tampak sedang diangin-anginkan supaya dingin. Telur, sayur lodeh, dan sambal teri tertata manis di mangkuk-mangkuk. Sama sekali tiada nampak lelah di wajah tua ibu.

“Wah, enak sekali sarapan pagi ini, Bu!” tegur suaminya yang langsung duduk di sampingnya. Tidak lama kemudian menyusul pula Aryo dan adiknya, Santi, dari kamar masing-masing.

“Sudah-sudah, silakan segera sarapan!” perintah sang ibu saat semua sudah berkumpul.

Cekatan sekali tangan perempuan itu membagi semua sajian di atas tikar. Suaminya, Aryo, dan Santi sudah memegang jatah masing-masing. Kepul uap tipis dari nasi dan sayur lodeh menyeruak memenuhi ruangan berdinding papan itu. Di atas ruangan nampak beberapa cicak yang memperhatikan. Mereka seolah juga ingin menikmati hidangan makan.

Di tengah menikmati hidangan, tiba-tiba Santi bertanya pada ibunya. “Lho, Ibu ndak sarapan?”

Santi mengetahui ibunya tidak makan, karena lauk dan nasi di atas tikar sudah habis.

“Sudah tadi, Nduk! Segera kalian habiskan sarapannya. Ibu minta tolong antarkan pesanan dari warga. Dan kamu Aryo, tolong belikan ibu kedelai di tempat Mbah Murdi!” perintahnya.

“Baik, bu!” serentak Aryo dan Santi menjawab.

Lima belas menit kemudian, keluarga itu segera menjalankan aktivitas masing-masing. Sang ayah dengan vespa jadulnya berangkat ke sekolah. Aryo dan Santi berjalan kaki menuju tugas yang diberikan ibunya. Sedangkan, ibu mereka di dapur tengah mengadon bahan pembuatan tempe. Mulai dari memberi ragi, memijat, dan mengaduk rata beberapa campuran lain.

“Mas Aryo, kamu tadi melihat ibu sarapan?” tanya Santi membuka obrolan.

“Tidak, Dik. Karena tadi setelah membantu ibu menyalakan tungku, aku lekas masuk kamar, menyelesaikan tugas dari pondok, ” jawab Aryo sambil menikmati udara pagi.

“Mengapa ibu dari dulu jarang mengambil jatah sarapan ya, Mas? Terus mengapa makanannya itu cuma pas buat kita bertiga?”

“Entahlah. Aku juga tidak paham. Mungkin ibu memang sudah makan, ” ujar Aryo sekenanya.

Setiba di pertigaan desa, Aryo dan Santi saling melambaikan tangan berpisah ke tujuan masing-masing. Sambil tetap menyimpan misteri dari obrolan mengapa ibu mereka jarang ikut sarapan di tiap pagi. Bahkan kalau malam pun, ibu mereka hanya makan dari sisa-sisa hidangan, setelah membagi rata kepada Aryo, Santi, dan suaminya. Beribu pertanyaan menjejali benak kedua anak penjual tempe itu.
***

Semburat merah sudah membara di ufuk barat. Beberapa orang nampak berjalan pulang. Ada yang dari ladang, kantor, dan sekolahan. Di atas langit tampak pula kawanan burung kuntul membentuk formasi hendak menuju sarang. Beberapa burung merpati juga menghiasi langit desa itu. Dengan cepat mereka mendarat di gupon masing-masing. Terdengar pula suara adzan maghrib mulai bersahutan dari corong-corong masjid.

Desa yang terletak di pinggiran kota Demak ini seperti bersolek memperlihatkan nuansa asrinya. Apalagi, dari kejauhan mulai terbentuk iringan-iringan jemaah. Baik tua, muda, dan anak-anak, bersama mereka bergerak menuju masjid. Bagai barisan malaikat rombongan berbaju putih itu menyemut menuju rumah Allah.

Di antara rombongan itu, nampak Santi berjalan di samping ibunya. Bergandengan mereka bergerak memenuhi panggilan Illahi. Selesai menunaikan salat, para jemaah ada yang pulang, juga ada yang tetap duduk di masjid menunggu salat isya.

“Hari ini ibu masak apa?” tanya Santi saat berjalan pulang.

“Orek tempe dan ikan pindang, Nduk.”

Mendapat jawaban dari ibunya, Santi semakin tidak sabar sampai rumah. Baginya tidak ada masakan paling enak, kecuali racikan dari ibunya sendiri. Sama sekali ibunya tidak pernah gagal dalam mengawinkan bumbu dan bahan makanan. Setiap yang diolahnya pasti menjadi sajian nikmat, meski sederhana. Beberapa tumbuhan seperti jambu, sawo, dan parit kecil menemani perjalanan pulang. Tidak lama kemudian, kedua insan tersebut melangkah masuk rumah.

“Silakan, segera habiskan makanan masing-masing, ” ucap sang ibu sambil menuangkan sisa nasi dan sayur tempe orek ke piringnya.

“Ibu tidak makan pindang?” tanya Aryo dan Santi kompak. Mereka nampak heran, sebab ibu mereka hanya makan menggunakan sayur. Ayahnya yang duduk di samping ibu mereka hanya tersenyum. Dengan lahap ia menyantap makanan olahan istrinya itu.

“Sudah dimakan saja. Ibu lagi tidak ingin makan ikan pindang. Biar sisa pindang di dapur disimpan untuk sarapan esok!” balas si ibu santai.

“Oh, iya. Santi, ini uang SPP-mu, Nduk! Penjualan tempe hari ini sangat laris. Alhamdulillah akhirnya terkumpul juga uang SPP-nya,” tukas ibunya sambil menyodorkan amplop.
***

Aryo yang memang sedari kecil terbiasa dengan sikap ibunya itu, malam ini ia putuskan untuk membuntuti ibunya. Saat dikira semua sudah tidur, ibu terlihat tengah menekuri sebuah buku. Aryo juga tersentak saat ibu menggumam kalau cincin nikahnya terpaksa digadaikan. Pesta ikan pindang itu ternyata sisa dari uang hasil menggadai cincin.

“Semoga kalian menjadi anak pintar, ” ucap ibunya lirih sambil beranjak menuju tumpukan piring kotor.

Saat Aryo mengendap menuju dapur, ia kembali tercengang. Ternyata ibunya tengah menghabiskan sisa-sisa nasi di piring Santi dan piringnya. Beberapa kali nasi itu ditempelkan pada duri-duri pindang. Seolah itu menjadi pengobat rasa, agar ibunya juga ikut makan pindang. Selain itu, di dapur juga tidak ada sisa pindang seperti apa yang ibunya ungkapkan tadi saat makan malam.

Saat hendak kembali ke kamar, tidak sengaja Aryo melihat buku usang yang tadi dibaca ibunya. Penasaran karena ibunya juga tengah mencuci piring di sumur, akhirnya ia membuka buku itu. Saat ini Aryo tidak hanya tercengang. Bulir bening kini sudah membasahi kedua pipinya. Di atas kertas putih itu, tertulis daftar utang ibunya. Selain itu, juga tercatat tentang kerugian penjualan tempe karena saat berjualan banyak para pembeli yang menawar di bawah harga normal.

“Loh, Aryo! Mengapa kamu belum tidur? Dan itu kamu lagi baca apa?” tegur ibunya dari belakang. Aryo yang tadinya larut dalam perasaan sedih, terperanjat mendengar pertanyaan itu.

Kini jelas sudah semua sikap ibunya yang selalu makan terakhir. Bahkan ia juga sering menunjukkan senyuman tiada beban. Hanya dari buku lusuh itu saja, Aryo sudah mendapat bayangan beban yang harus ditanggung orang tuanya. Bahkan di lembar terakhir tadi, ibunya sudah bersepakat dengan ayahnya kalau Vespa jadul itu akan dijual untuk biayanya di pondok.

Sambil membawa buku lusuh itu, Aryo mendatangi ibunya. Dipeluknya perempuan yang sudah berhias keriput di mana-mana itu. Tangisnya tiada kuasa ia bendung. Jangkrik yang tadinya nyaring bernyanyi di bawah meja, kini terdiam. Seolah ikut larut dalam suasana di dapur itu. Ibunya tidak menunjukkan raut marah, saat tahu kalau Aryo membaca bukunya. Ia hanya mengelus kepala Aryo sambil membisikkan kata-kata yang menenangkan.

***
“Ibu, izinkan Aryo bekerja saja! Nanti ngajinya cukup belajar dengan Kiai Matoya di masjid desa, ” kata Aryo terisak.

“Mengapa begitu, Nak? Bukannya kamu senang di pondok?” sahut ibunya lembut.

“Agar aku bisa meringankan beban ekonomi keluarga, Bu,” balas Aryo sambil mengusap ingus.

Ibunya hanya tersenyum mendengar jawaban anaknya itu. Kini ibunya membimbing Aryo duduk di kursi dekat tungku api. Ia tatap Aryo lembut. Diusapnya pula puncak kepala sambil melafazkan doa kebaikan untuk putranya itu.

“Kamu tahu induk merpati, Nak?” tanya ibu yang dibalas Aryo dengan anggukan.

Melihat anggukan Aryo, si ibu menjelaskan bahwa demi bisa memberikan kesempatan hidup pada anaknya, induk merpati rela terbang jauh mencari makan. Setelah dapat, ia tidak menelan makanan itu. Dibawanya pulang biji-biji itu dalam paruhnya. Ketika tiba di sarang, dengan lembut makanan yang ia dapatkan, langsung diberikan pada anak-anak merpati yang belum bisa terbang. Semua itu terus ia lakukan hingga merpati kecil sudah bisa mengepakkan sayap membelah langit dan mencari makan sendiri.

“Kalau kamu lihat kemolekan merpati, indah bulunya, dan romantisnya burung merpati, kesemuanya itu tidak terlepas dari didikan sang induk,” ujar ibunya menjeda penjelasan.

“Maka dari itu, ibu dan ayah hanya belajar dari induk merpati untuk terus berusaha memberikan yang terbaik untukmu dan Santi. Baru kelak ketika kalian sudah bisa terbang dan memiliki kemanfaatan, di situlah cita-cita kami tercapai. Jadi teruslah belajar di pondok. Biarkan ibu dan ayahmu menjalani peran sebagai orang tua yang belajar dari induk merpati”, ujar ibu menutup nasihatnya. Aryo yang mendengar penjelasan itu, langsung bersujud mencium kaki ibunya.

Sleman, 15 Agustus 2023.

Ilustrasi: artiso.com.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan