Tanggal 22 Desember dipilih sebagai Hari Ibu Nasional. Biasanya, Hari Ibu dirayakan dengan ucapan manis, hadiah, atau momen spesial. Tapi, kadang kita terjebak dalam rutinitas itu dan lupa untuk merenungkan makna sebenarnya dari hari ini.
Hari Ibu bukan cuma soal kasih hadiah atau mengucapkan terima kasih, tapi lebih kepada merenungkan pengorbanan seorang ibu yang tak terhitung. Seperti yang ditulis D Zawawi Imron dalam puisi berjudul “Ibu”, kasih ibu itu mengalir tanpa henti, tanpa mengenal waktu atau tempat. Begitu dalam dan besar, sulit untuk dipahami.
Zawawi memulai puisinya dengan kalimat sederhana tapi bermakna: “kalau aku merantau lalu datang musim kemarau/ sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting/ hanya mata air, air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir.”
Nukilan puisi tersebut menggambarkan kasih ibu sebagai mata air yang tak pernah kering, bahkan di masa-masa sulit. Ibu, meski dunia bisa berubah jadi kering dan tandus, kasihnya tetap mengalir lembut dan hangat. Ini adalah metafora kuat tentang kasih ibu yang hadir tanpa syarat, selalu ada saat kita butuh.
Di banyak budaya, ibu dianggap sebagai sosok yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, tapi lebih dari itu, ibu adalah simbol keteguhan hati dan ketulusan yang tak bisa diukur. Kasih ibu, seperti yang diceritakan Zawawi, ibarat air yang tak pernah habis.
Ketika kita merantau atau menghadapi berbagai cobaan, kasih ibu tetap ada, memberikan kita kedamaian. Saat terpisah oleh jarak atau waktu, ibu adalah tempat kita kembali, yang selalu memberikan energi positif untuk melangkah maju.
Zawawi juga menulis, “ibu adalah gua pertapaanku/ dan ibulah yang meletakkan aku di sini.” Gua di sini adalah tempat yang aman dan damai, tempat kita bisa merenung dan mendapatkan ketenangan.
Ibu bukan hanya memberi kehidupan fisik, tapi juga kehidupan emosional. Ketika dunia terasa berat, ibu adalah tempat yang selalu ada untuk memberi ketenangan. Sebuah gua yang siap menerima kita kembali tanpa syarat.