Sebenarnya, tugas menafsirkan Al-Qur`an adalah tanggung jawab Nabi Muhammad Saw. Beliaulah yang secara jelas diberi kewajiban untuk menyampaikan wahyu Ilahi tersebut. Nabi Muhammad harus menyampaikan wahyu tersebut sesegera mungkin, dengan terus-menerus dan tuntas. Demikian sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Maidah ayat 67.
Diperkuat lagi dengan ayat-ayat lain seperti, Ali ‘Imran ayat 20, al-Maidah ayat 92, al-Maidah ayat 99, dan asy-Syura ayat 48. Kesemuanya itu memberi pengertian bahwa tugas pokok Nabi adalah tabligh, semata-mata menyampaikan wahyu-Nya. Artinya, tidak membebani Nabi untuk mencapai capaian-capaian tertentu dalam penyampaian wahyu tersebut. Mengalir sesuai kebutuhan. Tentu, —di balik segala rintangan, tantangan, dan perlawanan yang Nabi hadapi— ada Allah yang menjamin keselamatan Nabi.
Simpulnya, bahwa kewajiban menafsirkan Al-Qur’an adalah kapasitas Nabi. Terkait ini, tidak saya paparkan rangkaian argumentasinya. Perlu satu tulisan tersendiri guna menjelaskannya dari tinjauan tafsir pada ayat-ayat yang telah saya sebutkan di atas —dan kemudian dianalisis menggunakan pendekatan ilmu Tarikh Tasyri’. Insyaallah, akan saya tuliskan pada artikel selanjutnya.
Sekarang persoalannya adalah, apakah sudah tuntas tugas Nabi dalam menyampaikan tafsir-tafsir ayat? Faktanya, pada generasi-generasi setelah Nabi tidak banyak didapati tafsir dari Nabi. Justru, setelah Kanjeng Nabi wafat, tafsir Al-Qur`an mengalami perkembangan terus-menerus, yakni dari yang bervolume sederhana hingga menjadi produk-produk tafsir yang berjilid-jilid.
Nah, dari sini sudah mulai bisa dipahami bahwa landasan dasar mempelajari ilmu tafsir Al-Qur`an adalah menjaga validitas tafsir yang sudah disampaikan Nabi. Semangat menjaga dan melestarikan tafsir nabawi ini didorong oleh kewajiban untuk menjaga ajaran agama Islam yang dibebankan kepada umat Islam seluruhnya.
Dengan fakta bahwa ulama sepeninggal Nabi sudah banyak mengodifikasi tafsir Al-Qur`an, maka yang dibutuhkan umat setelahnya bukanlah ilmu metodologis seperti ulumut tafsir, tapi justru yang mereka butuhkan adalah ilmu praktis ibadah, yakni fikih. Sebagaimana dalam QS. At-Taubah ayat 122.
وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِیَنفِرُوا۟ كَاۤفَّةࣰۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةࣲ مِّنۡهُمۡ طَاۤىِٕفَةࣱ لِّیَتَفَقَّهُوا۟ فِی ٱلدِّینِ وَلِیُنذِرُوا۟ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوۤا۟ إِلَیۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ یَحۡذَرُونَ
Keperluan tafaqquh fiddīn yang diisyaratkan ayat ini adalah menjaga Al-Qur’an dan Hadis dengan pemahaman makna atas teks keduanya berupa materi pokok agama (ushuluddin), masalah furuiyah, adab-adab, dan berbagai anjuran (fadhail). Demikian sebagaimana menurut Al-Biqai dalam tafsir panjangnya, Nadzm al-Durar.
Paradigma ini agaknya masih berlaku sampai sekarang, termasuk dan terutama di kalangan pesantren. Sangat masuk akal jika yang pertama dan paling utama diajarkan di pesantren adalah tata cara salat, untuk kemudian disinergikan dengan pelajaran tajwid-tahsin membaca Al-Qur`an, nahu-saraf, dan seterusnya, dan seterusnya. Baru pada gilirannya, di tingkatan tertentu, pihak pesantren akan memberikan pembelajaran ilmu tafsir.
Lembaga pendidikan khas Nusantara ini memang menarik. Pesantren dalam kapasitasnya sebagai lembaga kaderisasi ulama begitu kuat prinsip tradisionalnya. Pelajaran bakunya ditekstualkan pada kitab klasik yang masyhur kita sebut ‘kitab kuning’. Ada fikih, tauhid, adab, tajwid, tafsir, sampai ilmu perbintangan (falak). Kesemua bidang ilmu tersebut berbahasa Arab, yang turun-temurun, bahkan sudah lintas abad. Maka bisa dibayangkan, betapa menjadi santri yang benar-benar mengikuti proses pengajaran tersebut, sangatlah membutuhkan skill tertentu selain keseriusan, pembagian waktu, dan lain sebagainya.
Dengan kitab-kitab kuning inilah para lulusan pesantren bekecimpung di masyarakat mengaplikasikan ilmunya. Permasalahan muncul ketika metode salaf seperti ini dihadapkan dengan realitas masyarakat yang berkembang pesat. Berkembangnya kajian keilmuan modern, pesatnya kemajuan teknologi, begitu juga di bidang ekonomi, pada gilirannya melahirkan bermacam-macam problem baru.
Dari sini muncullah wacana pengembangan atau setidaknya penyesuaian metode pengajaran pesantren klasik kepada metode yang lebih relevan. Sekali lagi, pengembangan bukan perubahan karakter, apalagi prinsip pesantren, yakni tafaqquh fiddin. Wacana pengembangan ini menjadi layak diperhatikan sebagai bentuk kepekaan sosial. Sebagaimana kapasitas pesantren sebagai lembaga penghasil ulama, maka di tengah dunia modern ini sangat diperlukan lulusan pesantren yang solutif terhadap problem sosial yang aktual.
Dengan demikian, pembelajaran tafsir metodologis menjadi tidak kalah penting dibanding fikih praktis. Karena pengajaran tafsir dengan metode tertentu, itu bisa menciptakan suasana pembelajaran santri menjadi aktif, baik aktif secara intelektual maupun emosional, sehingga peka terhadap permasalahan sekitar dan cerdas dalam menawarkan ide solutif.