Iqra: Perintah Membaca Fenomena Sosial

191 kali dibaca

Pada dasarnya, semua tindakan manusia memiliki alasan, subjektif maupun objektif. Fenomena sosiologis, yang terkonstruk dari berbagai tindakan manusia, bisa saja memiliki arti yang tidak sesuai dengan fenomena itu sendiri. Dalam arti, varian asumsi bisa muncul hanya dari satu fenomena.

Untuk mampu memberikan justifikasi yang kritis mengenai suatu fenomena yang nampak, serta penilaian yang objektif, seseorang harus mengupayakan satu term dalam Al-Qur’an, yaitu iqra atau bacalah!

Advertisements

Secara garis besar, perintah membaca dalam lafaz iqra tidak terpaku pada konteks membaca kitab suci, melainkan terhadap seluruh aspek keduniaan yang mana dari proses tersebut mampu memberikan wawasan terhadap manusia. Tidak sekadar wawasan, melainkan juga wawasan yang komprehensif dari data-data dan metodologi yang sistematis.

Terminologi Iqra

Iqra merupakan ayat da perintah pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu dalam QS al-Alaq ayat 1-5. Secara etimologi, iqra berasal dari Bahasa Arab yang artinya membaca kata per kata, huruf per huruf, dan seterusnya.

Sedangkan, secara terminologis, makna iqra di sini tidak berhenti pada membaca, akan tetapi juga menganalisa dan mengobservasi. Kedua kata tersebut memiliki makna yang lebih luas, yaitu kompleksitas membaca, menelaah, dan meneliti secara kritis (Masykur, Tafsir Qur’an Surah Al’Alaq Ayat 1-5 Perspektif Ilmu Pendidikan, 74).

Begitupula dengan mufasir M Quraish Shihab yang memberikan makna iqra secara eksklusif. Quraish Shihab tidak memberikan batasan terhadap objek bacaan tersebut. Dalam proses iqra semua objek yang mampu dijangkau, baik ia merupakan bacaan suci yang bersumber dari Tuhan, atau sebuah ayat-ayat tertulis maupun tidak tertulis. Ayat yang tidak tertulis ini bisa divarietaskan dengan fenomena.

Dalam salah satu literatur disebutkan bahwa iqra memiliki beberapa tahapan epistemologis. Pertama, kemaampuan membaca sensosris, yaitu huruf per huruf. Kedua, upaya untuk mendekati suatu makna dengan pendekatan semantik dan filologi. Ketiga, lebih menekankan kepada how to understand atau bagaimana memahami suatu materi.

Dalam tahapan terakhir, perlu adanya implementasi kesadaran emosional dalam proses iqra untuk mampu mencapai optimalitas pengetahuan. Serta tahapan ini mampu memberikan satu pemahaman yang komprehensif terhadap sesuatu (Nasarudin Umar, Memahami Al-Qur’an di Era Post-Truth, 63-70)

Membaca Fenomena Sosial

Konsepsi yang telah terkonstruk dalam benak kita mengenai fenomena ialah segala kejadian yang terjadi. Namun, penulis akan memaparkan fenomena secara sistematik dan struktural untuk memberikan yang lebih rigid kepada pembaca.

Dalam KBBI, fenomena diartikan dengan hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah. Sedangkan secara etimologi, fenomena, berasal dari Bahasa Yunani yaitu phainomenon, yang artinya “yang tampak dari penampakan”.

Terdapat beberapa definisi lain, anatara lain, objek persepsi, yang diamati, yang tampak pada pancaindra, atau suatu peristiwa yang diamati. Beberapa pengertian tersebut mengindikasikan bahwa fenomena merupakan suatu objek konkret yang bersifat empiris (Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat: Sebuah Kaijan Tematik, 74).

Sedangkan fenomena sosial secara sederhana berarti realitas sosial kehiudpan masyarakat yang mampu diamati. Tindakan masyarakat bersifat plural, dan setiap tindakan terebut merupakan cabang kajian dari fenomena sosial.

Emile Durkheim mengemukakan bahwa fenomena sosial erat kaitannya dengan fakta sosial. Fakta sosial sendiri adalah semua cara bertindak, berpikir, dan merasa yang ada di luar individu. Artinya, untuk mampu mengetahui fenomena sosial, seseorang harus mampu mengamati, berpikir, dan merasakan hal-hal di luar dirinya (Mahyuddin, Sosiologi Komunikasi, 84)

Kontekstualisasi Fenomena

Meskipun fenomena merupakan satu hal yang nampak secara empiris, tidak berarti penampakan tersebut mencerminkan makna atau maksud yang sebenarnya.

Contoh sederhananya, seseorang yang sedang menangis tidak bisa diasumsikan secara langsung bahwa seeseorang tersebut sedang bersedih. Waluapun, pada dasarnya “menangis” itu ada kaitannya dengan perasaan sedih. Untuk itu, perlu diimplementasikannya iqra sebagai upaya penyingkapan makna substansial yang terkandung dalam suatu fenomena.

Sebagaimana definisi yang dipaparkan oleh Quraish Shihab, bahwa objek iqra adalah segala sesuatu yang mampu digapai oleh indra, tidak terbatas pada teks. Setelah proses pengamatan, proses iqra dilanjutkan dengan observasi yang mendalam. Hal itu membawa pada implementasi iqra kepada pemahaman dan pengaplikasian yang jauh lebih kritis dan radikal.

Hal itu selaras dengan urgensi zaman ini, yaitu kemampuan membaca dalam skala luas. Kemampuan membaca konteks, fenomena, lingkungan sosial merupakan kebutuhan primer manusia dalam meningkatakan daya nalar kognitifnya. (Agus Prianto, dkk, Fenomena Global dan Pengaruhnya, 26).

Aplikasi iqra dalam kontkes sosial akan memberikan pengetahuan yang kompleks, yang tidak disandarkan pada nilai empiris saja. Karena dalam konteks sosial, semua yang dilihat tidak bisa dijustifikasi dengan satu kebenaran. Hal itu akan mencegah seseorang untuk membuat penilaian yang singkat, judge from the cover.

Seseorang yang taat beragama tidak hanya bisa dilihat dari sisi busana yang ia pakai. Orang yang memiliki taraf intelektualitas tinggi, tidak bisa dijustifikasi hanya karena ia pernah belajar di tempat yang jauh. Orang jahat tidak bisa dilihat dari penampilan, watak, dan performa yang ia tampilkan.

Contoh lain, kita tidak bisa menjustifikasi seseorang hanya dengan satu bentuk kebaikan atau kejahatannya. Semisal seseorang yang memberikan pertolongan kepada orang lain, tidak langsung mampu diartikan bahwa orang tersebut baik. Tidak menutup kemungkinan adanya niatan-niatan tersendiri yang terselip dalam diri seseorang tersebut. Begitupula sebaliknya.

Kita tidak memiliki wewenang untuk menilai buruk terhadap orang yang suka mencemooh orang lain atas pekerjaannya. Tidak menutup kemungkinan juga, bahwa orang tersebut memiliki maksud baik kepada orang yang dicemooh tersebut, seperti membangkitkan semangatnya, atau memotivasinya agar mampu mnginkatkan kredibilitas dirinya.

Kesimpulan

Iqra merupakan satu term dalam Al-Qur’an yang bersifat progresif. Makananya, mampu diimplementasikan secara luas dan mengalami perkembangan secara substansial. Dalam konteks sosial, iqra mampu diimplementasikan dengan baik yaitu dengan menginterpretasikan fenomena sosial sehingga seseorang mampu memberikan kesimpulan yang kompleks dan valid. Serta mencegah seseorang untuk memberikan justifikasi yang tunasusila.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan