Islam dalam Pemikiran Soekarno

4 views

Bagi bangsa Indonesia, Soekarno merupakan sosok negarawan multidimensi. Ia nasionalis-sosialis, cendekiawan, dan pemikir muslim progresif. Juga, dikenal sebagai orator sejati dengan gaya berpidatonya yang khas dan retorik. Soekarno mampu membakar semangat nasionalisme masyarakat Indonesia di tengah guncangan ekonomi-politik Indonesia pasca kemerdekaan. Kontribusinya begitu besar terhadap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tak heran jika ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Pemikiran Soekarno memberikan warna tersendiri bagi perjalanan bangsa ini. Alih-alih ia diposisikan sebagai pemikir progresif dengan gagasan nasionalisme yang berupaya mewujudkan persatuan dan kesatuan antar-masyarakat Indonesia dalam bingkai nasionalisme, kecaman dan kritikan yang diperoleh Soekarno dikarenakan berbeda pandangan dengan beberapa tokoh (M. Natsir, Kartosoewirjo, Ahmad Hassan, dan lain-lain) yang menghendaki tegaknya syariat Islam pada negara Indonesia. Walau begitu, Soekarno menjadi inspirator bagi banyak intelektual muda, terutama di kalangan mahasiswa dan para aktivis.

Advertisements

Sementara itu, di tengah menguatnya wacana pembentukan Negara Islam (Khilafah Islamiyah) pada 1950-an oleh sebagian kelompok partai-partai kecil, memantik respons Soekarno. Sehingga, pada 27 Januari 1953, Soekarno menyampaikan pidato di Amuntai dengan menyampaikan rumusan tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurutnya, jika Islam dipaksakan menyatu dalam sistem negara (menjadi dasar negara), maka akan terjadi kemandekan (jumud) dan agama Islam akan mengalami degradasi sebagai agama yang suci.

Perlu dicatat Soekarno bukan berarti anti-Islam, tetapi ia berupaya untuk memisahkan antara agama dan negara. Pemisahan tersebut perlu dilakukan demi kebaikan agama dan negara. Di mana agama terhindar dari manipulasi politisi, dan pemerintahan terlaksana tanpa beban partikularisme keagamaan. Karena, menurut Soekarno, kehidupan politik didasarkan atas kepentingan dan keharusan sosial, bukan sebaliknya (sebagaimana yang dipahami oleh kelompok Islam fundamentalis).

Soekarno dan Islam

Sebagai seorang tokoh nasionalis-sosialis, Soekarno selalu memerhatikan gerak-langkah bangsanya yang mayoritas beragama Islam. Pada masa Soekarno, umat Islam mengalami kemandekan dalam mengamalkan ajaran Islam. Hal ini dikarenakan mereka cenderung melaksanakan ajaran Islam berdasarkan fikih sentris.

Karena itulah, Soekarno mengajak umat Islam untuk mengadakan interpretasi ulang ikhwal ajaran Islam yang selama ini dipraktikkan oleh masyarakatnya. Ia mengajak untuk mengoreksi dan memikirkan kembali paham-paham Islam yang diyakini selama ini agar sesuai dengan perkembangan zaman. Menurutnya, firman Allah dan sunah Nabi tidak pernah berubah, tetapi pemahaman manusia akan hal ikhwal itulah yang berubah.

Pemahaman umat Islam akan ajaran agamanya harus terbuka (inklusif) untuk ditafsirkan (diperbaharui). Upaya menafsirkan kembali ajaran Islam adalah sebuah jalan ijtihad yang harus ditempuh-menuju pada kemajuan. Di sini tampak bahwa pemikiran Soekarno tentang Islam berbeda dengan beberapa tokoh Islam; M Natsir, Kartosoewirjo, Ahmad Hassan, dan lain-lain.

Bagi Soekarno, Islam haruslah berkait-kelindan dengan kemajuan dan elastisitas, tetapi tidak menghilangkan substansi ajaran Islam itu sendiri. Ini artinya, Soekarno berupaya menarik hukum Islam kepada sistem kehidupan kemasyarakatan dengan menganjurkan pemeluknya untuk bersifat rasional.
Soekarno menilai bahwa salah satu penyebab hukum Islam (ajaran Islam) mengalami kejumudan (membeku), adalah sejak munculnya sikap anti-rasionalisme yang melanda umat Islam yang hampir seribu tahun lamanya. Sedangkan dinamika kehidupan masyarakat dengan segala problem sosialnya terus mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya zaman. Jika ajaran Islam tidak diletakkan dalam kerangka yang harmonis (kontekstual) dan mampu menjawab tantangan zaman, niscaya kaum intelektual di Indonesia tak akan lekat dengan Islam.

Pemikirannya yang demikian ini dipengaruhi oleh tokoh-tokoh pemikir Islam modernis Prof Farid Wajdi dan Muhammad Abduh, misalnya. Salah satu pemikiran Farid yang sering dikutip oleh Soekarno adalah bahwa agama Islam akan berkembang apabila umat Islam menaruh perhatian secara serius akan sendi-sendi ajaran Islam, yaitu kemerdekaan ruh, akal, dan pengetahuan. Sehingga, jika mereka menjalankan ketiga sendi tersebut, maka mereka akan terhindar dari kejumudan dan taklid buta (fanatik) atas indoktrinasi ajaran agama yang kaku.

Untuk menandaskan pemikirannya tentang Islam, Soekarno menulis sebuah artikel pada 1940 di majalah Panji Islam. Ia menulis dengan judul yang agak ngeri-ngeri sedap, yaitu “Islam Sontoloyo”. Tulisan tersebut adalah sebuah gugatan atau kritik Soekarno atas perilaku pemeluk Islam, mulai dari ulama hingga jemaah yang memandang Islam sekadar sekumpulan fikih semata, namun defisit etika.
Menurutnya, pemeluk agama Islam kala itu tidak mau berinisiatif dengan akal pikirannya untuk mengantisipasi perkembangan zaman (tidak mampu mengkontekstualisasikan ajaran Islam). Bahkan, mereka tak jarang menjadikan salah satu mazhab fikih sebagai legitimasi untuk kepentingan pribadi dan hawa nafsunya, dengan menghalalkan segala perbuatan yang mereka lakukan.

Lebih jauh lagi, Soekarno menyatakan bahwa ajaran Islam (Al-Quran dan Hadis) sekan telah mati, dikarenakan mereka terlalu mendewakan fikih sebagai pedoman hidup, bukan kalam Ilahi itu sendiri. Fikih seakan menjelma menjadi “tuan” dan “semangat Islam”. Padahal, menurut Soekarno, tiang agama yang sesungguhnya adalah kepatuhan dan ketundukan jiwa kepada Allah.

Dalam hal ini, kritik Soekarno terhadap fikih bukanlah fikih ibadah, seperti salat, puasa, dan sebagainya yang telah bersifat final, melainkan fikih mu’amalah (kehidupan sosial) yang dalam batas tertentu masih bisa ditafsirkan dan didialogkan kembali sesuai dengan perkembangan zaman.

Pernyataan dan kritiknya yang tegas, lugas, dan tajam tersebut bukan berarti Soekarno adalah orang Islam anti-fikih, anti-hukum Islam, dan anti-ulama. Tetapi ia berupaya untuk mengajak pemeluk agama Islam, terutama para pemuka agama (ulama) keluar dari indoktrinasi yang kaku, dengan mengembangkan pemikiran rasional sehingga mampu memerdekakan umat Islam Indonesia dari pelbagai belenggu yang mengitarinya, seperti pemikiran fatalistis.

Dengan rasionalisme dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam, akan melahirkan keselarasan antara otak dan hati, antara akal dan kepercayaan. Sehingga, pandangan tersebut dapat mengarahkan umat Islam terlebih di Indonesia kepada ideologi yang merdeka. Dengan demikian Islam dapat menjadi suatu tempat pertolongan, tempat bernaung para pemeluknya, bukan sebaliknya; menjadi penjara bagi para pemeluknya. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan