Islam dan Spirit Pembebasan Kaum Lemah

14 views

Rohimun bi dhuafa’ wal mustadh’afiina (Sayang pada orang yang lemah dan tertindas).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi minoritas adalah golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat.[1] Sosiologi mendefinisikan minoritas sebagai kelompok yang tidak diuntungkan akibat tindakan diskriminasi oleh kelompok lain, walaupun anggota kelompoknya memiliki solidaritas dan rasa kepemilikan yang kuat. Bagi negara, minoritas didefinisikan sebagai kelompok yang berada dalam jumlah lebih sedikit atau memiliki posisi yang lebih lemah dalam suatu masyarakat atau negara. Mereka dapat dikategorikan berdasarkan berbagai faktor seperti etnis, agama, bahasa, gender, orientasi seksual, atau status sosial-ekonomi.[2]

Advertisements

Dalam pergumulan definisinya, minoritas tak selalu berarti sedikit atau kecil secara nominal, tapi juga tersubordinasi dan termarjinalisasi secara sosial, pun tereduksi dan terdiskriminasi secara hukum. Dengan belum selesainya definisi minoritas ini, maka mustadhafin juga bagian dari konsepsi minoritas. Apa itu mustadhafin?

Jika merujuk pada istilah dalam Islam, mustad’afin mengacu pada orang-orang yang lemah, terpinggirkan, atau terzalimi dalam masyarakat. Istilah ini berasal dari kata Arab, mustadhaf,  yang berarti “orang yang tertindas” atau “orang yang lemah”. Dalam konteks sosial dan politik, mustadhafin mengacu pada kelompok-kelompok yang secara sistematis dianiaya, dieksploitasi, atau didiskriminasi oleh kekuatan yang lebih besar dalam masyarakat, termasuk minoritas etnis, agama, serta kelompok miskin dan marjinal..

Islam sebagai sebuah agama membawa nilai-nilai dan ajaran menghormati serta melindungi hak-hak orang-orang yang lemah. Konsep mustadhafin mengajarkan pentingnya perlindungan terhadap orang-orang yang lemah dan terpinggirkan dalam masyarakat. Islam mendorong umatnya untuk menunjukkan kepedulian, kasih sayang, dan keadilan terhadap mereka yang tidak memiliki kekuatan, sumber daya, atau hak yang sama.

Dalam tradisi Islam, ada tanggung jawab sosial bagi individu dan masyarakat untuk melindungi dan membantu mustadhafin. Ini sesuai dengan firman Tuhan di dalam Al-Qur’an: “Dan mengapa kamu tidak berperang pada jalan Allah dan (untuk membantu) orang-orang yang tertindas itu; laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya zalim dan berikanlah kami seorang pemimpin yang berasal dari sisi Engkau, dan berikanlah kami seorang penolong yang berasal dari sisi Engkau.”[3]

Ayat ini menekankan bahwa melindungi mustadhafin dan memerangi ketidakadilan adalah sebuah keharusan bagi seorang mukmin. Lebih jauh lagi, Asghar Ali, seorang intelektual muslim India menyebutkan bahwa seorang mukmin bukanlah sekadar orang yang percaya kepada Tuhan, melainkan juga ia mau berjuang menegakkan keadilan dan melawan segala bentuk kezaliman dan penindasan. Jika tidak, ia masih digolongkan sebagai orang kafir, meskipun ia percaya kepada Tuhan.

Sebagai teladan bagi umat muslim, Nabi Muhammad SAW memberi contoh dalam upaya membela kelompok yang tertindas. Dalam periode Mekah, Nabi Muhammad memperjuangkan hak-hak masyarakat yang lemah dan teraniaya, termasuk melindungi hak-hak perempuan, anak yatim, dan budak.

Hal ini tercermin dalam ajaran dan tindakan beliau selama masa kenabian di Mekkah[4], yang terpatri dalam sabdanya: “Sebaik-baik jihad adalah berbicara benar di hadapan penguasa yang zalim.”[5] Pertanyaan selanjutnya adalah persoalan apa saja yang dihadapi oleh kaum mustadhafin?

Aspek Ekonomi

Data dari Credit Suisse, pada 2020, harta 1 persen orang terkaya di indonesia sama dengan 46,6 persen produk domestik bruto. Lalu, 10 persen orang terkaya telah mencakup 75 persen produk domestik bruto (PDB). Data lainnya dari Material Power Index (MPI) menunjukkan bahwa pada tahun 2014, kekayaan para elite lapis teratas adalah 678.000 kali lebih banyak dari kekayaan rata-rata masyarakat.[6] Pasca-pandemi, kekayaan mereka meningkat hingga menyentuh angka 759.420 kali lipat di tahun 2020, dan 1.065.000 kali lipat di tahun 2022. Bahkan, dengan pandemi pun, kekayaan mereka makin meningkat cepat dibanding dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia.[7]

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemilik modal ekonomi terbesar di Indonesia adalah  hanya segelintir orang saja. Sebutan yang pas bagi segelintir orang ini adalah oligarki. Mereka minoritas secara jumlah, tetapi menguasai lebih dari setengah roda perekonomian negara. Dampak dari akumulasi kekayaan tersebut adalah tingginya angka ketimpangan ekonomi di Indonesia. Kita bisa lihat si kaya yang makin kaya, dan si miskin yang makin miskin. Jarak perbedaan keduanya seperti langit dan bumi.

Dalam melihat realitas ekonomi hari ini, kita bisa sepakat bahwa oligarki memiliki sistem dan semua sarana produksi yang kapital, sedangkan para buruh hanya menjadi pekerja dari kegiatan ekonomi kapital. Hasil yang diterima pun sangat berbeda. Para oligark (mustakbirin) sebagai bourjois mendapatkan akumulasi kekayaan yang meningkat, sedangkan proletar (mustadhafin) hanya mampu memenuhi kebutuhan primernya sehari-hari. Buruh sebagai pekerja dieksploitasi dan diperas tenaganya untuk kepentingan besar pemilik modal, tanpa sekalipun diberi hak-hak yang layak.

Melihat persoalan ini, Islam menawarkan konsep keadilan yang menolak sistem ekonomi yang kapital. Ekonomi kapitalisme mendorong munculnya kelompok-kelompok ekonomi yang sangat kuat, dalam bentuk perusahaan multinasional, kartel-kartel, dan perseroan-perseroan yang selama ini berhasil memusatkan kekayaan mereka melalui akumulasi-akumulasi pendapatan. Konsekuensi dari sistem ekonomi kapitalis ini adalah terjadinya eksploitasi besar-besaran yang gila-gilaan. Dalam kasus ini, buruh sebagai kaum mustadh’afin adalah pihak yang paling dirugikan.

Islam mengutuk keras kegiatan menimbun dan memusatkan kekayaan. Seperti yang tergambar dengan jelas pada ayat Al-Qur’an: “Celakalah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta lagi menghitung-hitungnya; dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya; sekali-kali tidak, sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam neraka Huthamah.”[8]

Dalam usahanya memberantas ketimpangan ekonomi, islam mendesak umatnya untuk menjauhi penimbunan kekayaan dengan cara menafkahkan kekayaan yang melebihi dari keperluan-keperluannya. “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: yang lebih dari keperluan.”[9] Dari ayat tersebut bisa kita simpulkan bahwa perintah-perintah dalam Al-Qur’an menentang pemusatan kekayaan yang mengakibatkan tidak seimbangnya struktur sosial ekonomi masyarakat.

Dengan teologi pembebasannya, Asghar Ali menggambarkan oligarki sebagai mustakbirin.[10] Baginya, pertarungan antara mustadhafin dan mustakbirin akan terus berlangsung hingga agama Allah yang berbasis tauhid menyatukan semua rakyat (tanpa perbedaan lagi antara mustadhafin dan mustakbirin, orang-orang yang ditindas dan menindas, kaya dan miskin) menjadi suatu masyarakat tanpa kelas.[11] Situasi dimana kondisi masyarakat adil dan sejahtera tanpa penindasan.

Salah satu upaya untuk melepaskan diri dari belenggu ekonomi kapitalistik adalah membangun ekonomi kerakyatan berbasis nilai-nilai islam seperti keadilan dan kebermanfaatan. Kaum mustadhafin harus solid bersatu melawan seluruh pengaruh negatif kapitalisme yang jauh dari nilai Islam. Semakin kuatnya ekonomi berbasis kerakyatan, maka semakin jauh pula dari jeratan penindasan.

Aspek Sosial-Politik

Dewasa ini, begitu banyaknya berita tentang diskriminasi kelompok minoritas yang terjadi di Indonesia. Mulai dari larangan mengekspresikan agama kelompok minoritas, hingga susahnya mendirikan tempat ibadah. Tak hanya itu, penolakan terhadap kelompok minoritas berujung pada kekerasan fisik. Bukannya memberi solusi atas masalah yang terjadi, negara cenderung mendukung tindakan diskriminasi ini melalui aturan-aturan yang dibuatnya, baik di tingkat pusat maupun daerah.[12]

Masalah ini hendaknya menjadi persoalan yang harus dijawab oleh umat Islam. Mereka yang terdiskriminasi dalam bentuk apa pun, dari agama apa pun, dari aliran apa pun, dari ras dan etnis apa pun, harus dibela dan dilindungi hak-haknya. Bukan malah ditindas. Islam mengajarkan bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Persaudaraan dalam islam termaktub dalam tiga hal; ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariyah. Atas dasar ini, umat islam seharusnya memiliki kesadaran sesama manusia sebagai saudara. Jika bukan saudara se-islam, maka saudara setanah air, jika bukan setanah air, berarti saudara sesama manusia.

Kesadaran ini menuntut umat islam untuk memiliki rasa senasib dan seperjuangan. Siapa pun yang ditindas, maka wajib membelanya. Dan siapa saja yang menindas, maka wajib pula untuk melawannya. Apapun bentuknya, baik sistem, golongan, atau individu yang menindas manusia harus dilawan, karena kita juga bagian dari manusia.

Aneh rasanya jika aturan-aturan yang mendiskriminasikan kelompok minoritas lahir dari pemimpin muslim. Dalam Al-Qur’an sangat jelas memperingatkan orang-orang beriman untuk berlaku dan bersikap adil. “Dan jika engkau memutuskan perkara mereka maka putuskanlah diantara mereka dengan adil, sungguh Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.”[13] Ayat ini secara tuntas menekankan pada penciptaan kondisi masyarakat yang adil dan egaliter.

Pembelajaran yang baik bisa dilihat dari kiprah Nabi Muhammad SAW saat memimpin Madinah. Kondisi masyarakat Madinah sama seperti masyarakat Indonesia hari ini, yakni pluralistik, baik dari segi ras maupun agama. Masyarakat yang heterogen ini berhasil menyatu dibawa pimpinan Nabi. Inilah yang disebut sebagai konsep ummah, kondisi dimana keanekaragaman masyarakat bersatu tanpa adanya diskriminasi dan kekerasan antargolongan.

Aspek politis penting lainnya yang diajarkan oleh Nabi adalah islam menganggap semua manusia sama, tanpa perbedaan warna kulit, ras, atau kebangsaan. kriteria satu-satunya yang menjadi pembeda adalah kesalehan (tidak hanya saleh secara ritual, tetapi juga saleh secara sosial). Seperti yang disabdakan Nabi ketika melaksanakan haji wada:

“Orang Arab tidak lebih tinggi dari pada orang Ajam, begitu pula orang Ajam tidak lebih tinggi dari orang Arab; tidak ada perbedaan antara yang hitam dan yang putih, kecuali oleh tingkat kesalehan yang diperlihatkan dalam hubungannya dengan orang lain… Janganlah tunjukkan kepadaku kebanggaan keturunanmu, tapi tunjukkan perbuatan baikmu.”[14] Sejalan dengan ayat Al-Qur’an: “Yang paling mulia di sisi Tuhan adalah orang yang takwa.”[15]

Melanjutkan spirit pembebasan dan perjuangan Nabi atas kaum mustadhafin, Khalifah Abu Bakar pada pidato pertamanya mengatakan: “Orang-orang yang lemah di antara kamu bisa menjadi kuat di hadapanku. Aku akan akan membuat para penindas menyerahkan hak mereka. Orang-orang kuat di antara kamu, bisa menjadi lemah di hadapanku. Insya Allah, aku akan melihat orang-orang tertindas memperoleh hak-haknya kembali.”[16]

Sejarah panjang spirit pembebasan yang diembuskan Islam harus terus menjadi naas pergerakan umat Islam. Bahwa segala bentuk penindasan terhadap golongan yang lemah harus dihentikan. Menjadi ahistoris jika umat Islam yang diharapkan mencintai dan melindungi kaum mustadhafin, pada realitanya malah sejalan dan melanggengkan perilaku buruk kaum mustakbirin. Pada akhirnya, siapa pun yang menindas manusia lainnya, berarti ia ingin menjadi Tuhan, padahal tiada Tuhan selain Allah!

Daftar Pustaka:

Ali Engineer, Asghar,  2013, Islam dan Pembebasan, Yogyakarta:LKIS.
Qodir, Zuly, 2018, Sosiologi Agama Teori dan Perspektif Keindonesiaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prasetyo, Eko, 2014, Islam Kiri Jalam Menuju Revolusi Sosial, Yogyakarta: Resist Book.
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. (2006). “Pedoman Perlindungan Hak-hak Minoritas.” https://www.kemenkumham.go.id/read-pedoman/perlindungan-hak-hak-minoritas.html
“Laporan Masyarakat Sipil tentang Kondisi Kebebasan Beragama Berkeyakinan di Indonesia Periode 2017-2021 dalam Universal Periodic Review (UPR) Indonesia 2022”
https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/01/05/waspadai-menguatnya-oligarki-ekonomi
Direktorat Website Politik dan Komunikasi http://ditpolkom.bappenas.go.id/v2/?p=1104

Catatan Kaki:

[1] KBBI.
[2] Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. (2006). “Pedoman Perlindungan Hak-hak Minoritas.” https://www.kemenkumham.go.id/read-pedoman/perlindungan-hak-hak-minoritas.html
[3] Terjemahan  Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 75,
[4] Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, (Yogyakarta, 2013), Bab Asal Usul Islam
[5] Hadis Riwayat Abu Dawud.
[6] Direktorat Website Politik dan Komunikasi  http://ditpolkom.bappenas.go.id/v2/?p=1104
[7] https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/01/05/waspadai-menguatnya-oligarki-ekonomi
[8] Terjemahan  QS Al-Humazah ayat 1-5.
[9] Terjemahan QS Al Baqarah ayat 219.
[10] Orang yang kaya dan penguasa suatu negeri yang bersifat sombong dan menindas
[11] Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, (Yogyakarta, 2013) hal-21.
[12] Lihat “Laporan Masyarakat Sipil tentang Kondisi Kebebasan Beragama Berkeyakinan di Indonesia Periode 2017-2021 dalam Universal Periodic Review (UPR) Indonesia 2022”.
[13] Terjemahan Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 42.
[14] Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
[15] Terjemahan Al Qur’an Surat Al Hujurat ayat 13.
[16] Ibn Hisyam, Sirah Nabi, Vol. III.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan