Jika Islam memang agama yang luar biasa baik, mengapa justru banyak negara Islam buruk, misal beberapa negara-negara Timur Tengah yang hingga sekarang bersimbah darah? Mengapa negara yang mayoritas muslim terbesar di dunia, seperti Indonesia, tingkat korupsinya tinggi dan pelakunya sebagian besar beragama Islam?
Ini pertanyaan penting yang untuk menjawabnya perlu menelusuri jejak pergulatan Islam dan politik. Islam dan politik tidak bisa dipisahkan dan menimbulkan konsekwensi yang hitam putih. Saat politik dituntun Islam, maka negara menjadi baik. Sebaliknya, saat Islam dijadikan instrumen politik guna mendapatkan dan melanggengkan kekuasaan, maka negara akan jadi pertunjukan amoralitas.
Dalam sejarah, kekuasaan Islam bertumpu pada tiga hal, yaitu kabilaisme atau ikatan kesukuan, ghanimah, dan akidah-moralitas Islam. Tiga hal ini yang menggerakan kuasaan Islam. Hampir seribu tahun umat Islam berkuasa, sangat jarang yang benar-benar bertumpu pada akidah-moralitas Islam. Kabilaisme dan ghanimah yang dominan. Dua faktor ini yang menjadi idealisme para penguasa Islam. Maka jika ditanya, misalnya, khilafah mana sebagai ganti nation-state yang menjadi rujukan gerakan Hisbut Tahrir Indonesia? Sulit menjawabnya.
Beberapa negeri Islam di Timur Tengah hingga sekarang masih perang saudara karena faktor fanatisme golongan atau firkah dan juga motif ghanimah alias perebutan kekuasaan antara negara di Timur Tengah yang makin gawat lantaran campur tangan Barat di sana. Artinya, Islam hanya dijadikan alat, bukan tujuan. Ia digunakan sebagai jalan meraih kekuasaan, buka sebagai panglima kekuasaan itu sendiri.
Indonesia mengalami fenomena serupa dalam ekspresi yang berbeda. Karena politik dan Islam tidak bisa dipisahkan, maka umat Islam di Indonesia juga menggunakan kacamata ajaran Islam dalam melihat persolan berbangsa dan bernegara. Sekali lagi, pada dasarnya ia bisa menjadi poin ideal jika politik digunakan sebagai jalan untuk menyebarkan nilai-nilai keislaman. Misalnya, munculnya partai Islam atau ormas seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Namun ia akan menjadi malapetakan jika Islam hanya dijadikan alat untuk merebut kekuasaan. Inilah yang nampaknya makin marak terjadi di negeri ini.
Hal demikian bisa dilihat dari dijadikannya Islam sebagai jargon dan bungkus pemanis saja. Komarudin Hidayat, dulu ketika masih segarnya reformasi yang kemudian melahirkan banyaknya partai, menulis sebuah artikel yang berjudul “Bahasa Agama” di Harian Kompas (1998). Artikel itu menjelaskan betapa Islam sebagai agama mudah dipakai oleh para politisi sebagai kendaraan. Begitu bulan puasa tiba, contohnya, akan banyak politisi yang tampil di ruang publik dengan pakaian dan retorika agamis.
Apalagi sekarang, ketika panggung show sangat banyak disediakan media sosial dan setiap orang halal berekspresi, maka tentu saja bahasa agama lebih sering digunakan. Sejauh mana Islam sebagai agama ampuh digunakan sebagai alat untuk merayu umat? Itu sangat tergantung pada tingkat kualitas pemahaman agama umat. Di masa dinasti Umayah dan Abbasiyah, senjata agama terbukti efektif. Paham Jabariyah menekankan pemahaman bahwa segala sesuatu terjadi karena Allah. Merupakan dosa besar jika menolak suatu kejadian lantaran sama halnya menentang Allah. Itu sebenarnya bahasa agama yang digunakan dan dipatenkan penguasa Umayah untuk melanggengkan kekuasaannya.
Selama umat masih rendah pendidikan dan pemahaman agamanya, maka mudah pikiran mereka diformat dengan beragam bahasa agama yang disampaikan politisi atau agamawan sendiri yang memiliki ambisi ghanimah atau kekuasaan. Jika Islam hanya jadi jargon dan alat, maka tentu saja pejabat yang beragama Islam akan menjadikan ghanimah sebagai panglima, sekaligus menendang akidah-moral Islam ke tong sampah. Maka tak heran banyak pejabat muslim yang jadi koruptor.
Solusi
Komarudin Hidayat dalam Islam yang Indah (2019) menjelaskan bahwa Kristen dulu mirip Islam. Politik dan agama terintegrasi. Pergulatan tak selesai-selesai. Akhirnya dipisah. Negara-negara Barat yang Kristen tidak menjadikan ajaran agama mereka sebagai aturan negara. Ia hanya dijadikan etika dasar pribadi masing-masing penganut. Negara mereka sendiri sekuler yang mendasarkan pada hukum positif. Tentu saja umat Islam tidak mungkin melakukan demikian. Memisahkan politik dan agama itu rentan dan pantangan.
Sebab itu, tulis Pak Komar, yang bisa dilakukan umat Islam adalah mendukung sepenuhnya ketegasan dan penegakan hukum dan menampilkan ajaran Islam mereka dalam praktik nyata. Tiongkok adalah negara komunis. Tak beragama. Di sana hukum sangat ketat bagi koruptor. Hukuman mati. Akibatnya, tindak pidana korupsi dipangkas signifikan. Begitu juga Singapura yang sekuler terasa kental integritas pejabatnya lantaran tegasnya hukum di sana. Nah, umat Islam bisa mengawal negara sebaik mungkin dengan dukungan pada tatanan hukum.
Di sisi lain, dengan menampilkan ajaran Islam yang luhur dan asyik tanpa perlu mengusungnya lagi menjadi jargon dengan label negara Islam, syariat, dan bungkus manis agamis lagi. Sebab dengan tampil seislami mungkin, sebenarnya telah mengislamisasi negara tercinta ini.