Islam, Pengalaman Perempuan, dan Ketidakadilan Gender

200 kali dibaca

Dari berbagai aspek, perempuan berbeda dengan laki-laki. Sebut saja aspek biologis, perempuan diberkati dengan pengalaman-pengalaman khusus yang tidak dimiliki laki-laki seperti, hadi, nifas, hamil dan menyusui.

Bergandengan dengan itu, perempuan juga ditempa dengan berbagai ketidakadilan gender. Mengutip Mansour Fakih, ia menyebutkan ada lima aspek pengalaman perempuan yang memiliki nilai ketidakadilan gender, seperti stigamtisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda.

Advertisements

Dalam Islam, perempuan memiliki hak khusus ketika dirinya menempuh pengalaman kekhususan perempuan. Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh umat memberikan keringanan bagi perempuan ketika mengalami pengalaman haid, nifas, hamil, dan menyusui.

Secara substansial, inilah yang membedakannya dari laki-laki yang nantinya akan juga mengarah pada konsepsi keadilan yang dapat diterima oleh perempuan. Katakan saja, jika keadilan yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas yang sama dan tidak memerdulikan pengalaman perempuan maka keadilan yang dilaksanakan hanyalah keadilan yang semu dan mengalami bias-bias gender.

Sebut saja, ketika perempuan mengalami kehamilan maka ia memiliki hak khusus untuk cuti dari pekerjaan. Walaupun saja, peraturan perundang-undangan yang mengatur hal demikian masih menuai kontroversi. Angin segar seperti cuti bagi suami pun turut meringankan perempuan namun bagi sebagian pemimpin perusahaan menganggap ini terlalu berlebihan dan nantinya akan berimbas buruk bagi perusahaan.

Namun hal yang sama, tidak diterima oleh perempuan walaupun ketika melahirkan tentu saja sang istri membutuhkan pendampingan sang suami. Nilai kemanusiaan ini sangat nyata dan jika dilihat dari kaca mata logika perusahaan tentunya bertolak belakang.

Adapun lahirnya agama Islam sangatlah memberi angin segar bagi perempuan dengan pengalaman-pengalaman khusus yang tidak diterima laki-laki. Bagaimana tidak, dalam menjalankan ibadah, ketika perempuan mengalami pengalaman khusus tadi maka diberikanlah keringanan. Islam sebagai agama pembebasan juga tidak hanya meringankan ibadah murni kaum perempuan, ibadah ghairu mahdah seperti hak waris, pernikahan, dan nilai saksi pun juga diatur dan turut membebaskan perempuan.

Tidak menjadi isu saja, dengan pengalaman perempuan ini kita dapat meneladani dan menjadikan alat analisa bagaimana Islam dan pengalaman perempuan memiliki hubungan erat yang membebaskan.

Namun, kini terdapat kelompok yang malah membalikkan spirit Islam (pembebasan) menjadi Islam (mengekang). Unik nan ajaibnya, pandangan mengenai Islam sebagai agama pembebasan terhadap perempuan malah dianggap sebagai jiplakan dari barat dan harus dibuang jauh-jauh. Sehingga tak jarang kita temukan kaum-kaum yang antipati terhadap barat justru memosisikan perempuan sebagai gender kelas dua. Perempuan dikekang dan dibatasi dalam aktivitas sosialnya.

Meminjam bahasa Sukarno, perempuan disini diperlakukan seperti dewi yang tolol. Dimana perempuan disimpan di rumah-rumah secara rapat dan tidak diperbolehkan keluar rumah seperti orang yang tolol.

Maka dari itu, irisan mengenai pengalaman perempuan juga memiliki hubungan erat dengan relasi sosial. Dalam Islam, ada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam konteks keluarga. Laki-laki diharapkan menjadi pemimpin dan pencari nafkah, sementara perempuan bertanggung jawab atas pengelolaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Namun, pembagian ini tidak mengurangi nilai atau hak salah satu pihak, dan perempuan juga memiliki hak untuk bekerja dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial.

Islam sangat menekankan perlindungan dan penghormatan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan dilarang, dan laki-laki diharapkan memperlakukan perempuan dengan penuh hormat dan keadilan.

Dalam ranah terkecil yakni keluarga, dalam Islam dianggap sebagai unit dasar masyarakat, di mana relasi antara suami, istri, dan anak-anak diatur oleh prinsip-prinsip cinta, keadilan, dan tanggung jawab. Suami dan istri diharapkan bekerja sama dalam membangun rumah tangga yang harmonis dan seimbang.

Secara lebih luas pun Islam memberikan ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Sejarah Islam mencatat banyak perempuan yang memainkan peran penting dalam masyarakat, termasuk Khadijah, istri Nabi Muhammad SAW, yang merupakan seorang pengusaha sukses, dan Aisyah, yang dikenal sebagai salah satu sarjana hadis terbesar.

Maka sangat aneh, jika di zaman yang sudah maju ini terdapat golongan yang malah menyudutkan perempuan sebagai gender kelas dua dan menjadikan perempuan sebagai dewi yang tolol.

Gerakan kontemporer, seperti feminisme Islam, berupaya untuk mengembalikan esensi ajaran Islam yang murni dan adil bagi semua umat manusia, dengan menekankan pentingnya kesetaraan gender dan penghapusan diskriminasi.

Melalui pendidikan, dialog, dan reformasi hukum, diharapkan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Muslim dapat berkembang menuju keadilan dan kesetaraan yang lebih baik.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan