Manusia sebagai makhluk yang dibekali akal akan selalu ingin bertanya dan mencari hakikat kebenaran. Hakikat kebenaran tersebut menjadi orientasi utama manusia karena tanpa orientasi tersebut, eksistensi manusia di muka bumi ini tidak akan mengalami perkembangan. Rasa ingin tahu akan kebenaran tersebut dikemas dalam berbagai metode yang berbeda satu dengan yang lainnya. Namun, pada intinya berbagai metode tersebut diorientasikan terhadap hal yang sama yaitu mencari kebenaran.
Pencarian terhadap kebenaran tersebut merupakan tugas salah satu cabang filsafat, yaitu epistemologi. Secara etimologi, epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logy yang secara umum berarti teori. Dengan demikian, hakikatnya epistemologi merupakan cabang ilmu yang membicarakan proses manusia dalam memperoleh pengetahuan (Jurdi, 2024, pp. 40 – 41).
Epistemologi sendiri terdiri dari tiga kandungan utama pembahasan; yaitu alat, hasil, dan locus. Alat merupakan media yang melakukan proses tersebut dari awal sampai akhir. Hasil merupakan produk dari proses tersebut. Sementara locus adalah tempat beradanya alat dan hasil (Pari, 2018, p. 192).
Ini merupakan gambaran dari pemerolehn kebenaran jika dipotret dari sudut pandang epistemologis yang worldview atau pandangan hidupnya berdimensi materialis. Adapun sudut pandang yang worldview-nya tidak seutuhnya materialis, memiliki irisan yang berbeda dalam menyoroti hal tersebut. Islam sebagai agama yang juga berlandaskan ilmu pengetahuan, dibangun di atas worldview yang tidak hanya materialis semata. Oleh karenanya, sangat mungkin sudut pandang Islam berbeda dengan epistemologis dalam memandang hal ini.
Landasan Empirisme dan Rasionalisme
Epistemologi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ontologi dan aksiologi berperan penting dalam menyelidiki dan mempersoalkan sumber pengetahuan dan cara mendapatkannya. Epistemologi berkaitan erat dengan ontologi yang membahas objek kajian ilmu itu sendiri (Vera & Hambali, 2021, p. 66). Jika diumpamakan, maka ontologi membahas mengenai objek yang akan dipotret dengan kamera epistemologi.
Cara memotret secara epistemologis tersebut secara garis besar terdiri dari aliran rasionalisme dan empirisme. Dari kedua aliran ini, ilmu pengetahuan dan kebenaran diatribusikan standar yang berbeda tergantung sudut pandang yang digunakan. Yang pertama adalah rasionalisme yang secara terminologis berkedudukan sebagai aliran yang menetapkan akal sebagai sumber utama ilmu pengetahuan dan tolak ukur kebenaran. Akal diposisikan sebagai sentral dan pengalaman empiris hanya diposisikan sebagai sumber yang memperkuat apa yang diperoleh dari akal (Vera & Hambali, 2021, p. 67).
Di sisi lain, empirisme secara terminologis adalah aliran yang memposisikan pengetahuan inderawi sebagai sumber dari ilmu pengetahuan dan tolak ukur kebenaran. Akal hanya diposisikan sebagai alat untuk mengabstraksikan apa yang ditangkap oleh panca indera (Vera & Hambali, 2021, pp. 68 – 69).
Jelas bahwa aliran empirisme ini bertolak belakang dengan aliran rasionalisme karena keduanya bertolak dari titik yang berbeda, yaitu akal dan panca indera.
Distingsi antara keduanya berimplikasi pada penetapan suatu kebenaran. Dapat saja suatu kejadian dapat dibuktikan benar jika menggunakan perspektif rasionalisme namun tidak dapat dibuktikan jika menggunakan perspektif empirisme.
Sebagai contoh, salah satu konsep yang lahir dari aliran rasionalisme adalah hukum kausalitas. Begitu juga sebaliknya, aliran empirisme juga melahirkan konsep yang hanya dapat dibuktikan dengan panca indera seperti metode observasi yang berbasis pengamatan (Hasanah, 2016, p. 23).
Terlepas dari distingsi antara keduanya, sejatinya kedua aliran tersebut memiliki titik ekuilibrium yaitu hanya menyoroti suatu fakta yang bersifat fisik, baik secara empiris maupun rasional. Sesuatu yang bersifat metafisik tidak dianggap sebagai suatu kebenaran atau ilmu pengetahuan karena kedua aliran ini tidak mampu menggapainya. Salah satu bidang metafisik yang tidak digapai oleh kedua aliran ini adalah kebenaran berdasarkan wahyu.
Islamic Worldview
Agama Islam memiliki standarisasi tersendiri dalam memotret ilmu pengetahuan dan kebenaran. Worldview yang menjadi landasan filsafat Islam tidak hanya bersifat fisik, melainkan juga aspek batin. Worldview Islam yang dimulai dari turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW diperantarai Malaikat Jibril memberikan posisi kepada wahyu sebagai landasan yang membangun paradigma keilmuan (Hadi Yasin, Jannah, Nadiaturrohmah, & Izzatun, 2022, p. 126).
Namun, dalam nash syar’i, Allah SWT menegaskan bahwa pengetahuan yang bersumber dari empirisme dan rasionalisme juga mendapatkan tempat tersendiri. Mengenai pengetahuan empiris, Allah SWT berfirman:
الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ
(Dia juga) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu tidak akan melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih ketidakseimbangan sedikit pun. Maka, lihatlah sekali lagi! Adakah kamu melihat suatu cela?
(Terjemahan diambil dari laman quran.kemenag.go.id)
Imam Abdullah bin Umar al-Baidhāwi dalam Kitabnya Tafsir al-Baidhawi menjelaskan bahwa kata فارجع البصر yang berarti “lihatlah lagi” merupakan perintah untuk memastikan bahwa apa yang dilihat itu memang sudah benar. Imam al-Baidhāwi menjelaskan juga bahwa seakan-akan Allah berfirman, “Kau telah melihat ciptaan-Ku itu berkali-kali, maka lihatlah sekali lagi untuk memastikan apa yang telah kau lihat.”
Abu Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim As-Samarqandi juga menegaskan dalam Kitabnya Tafsir al-Samarqandi bahwa Allah memerintahkan melihat ulang tersebut agar orang tersebut dapat mengambil pelajaran dan perenungan dari apa yang dia saksikan. Ia juga menambahkan bahwa manusia dapat saja luput dari apa yang dia lihat pada penglihatan pertamanya. Oleh karena itulah Allah memerintahkan agar orang tersebut melihat ulang.
Kandungan ayat yang disertai tafsir ini setidaknya memberikan gambaran bahwa pengetahuan empiris, yaitu berbasis inderawi, juga diakui dalam Islam. Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan orang tersebut untuk mengamati sendiri agar memperoleh ilmu atau kebenaran dari apa yang ingin dia buktikan. Memperoleh ilmu pengetahuan dengan basis observasi atau pengamatan memiliki posisinya tersendiri karena terdapat beberapa hal yang memang harus melalui metode observasi.
Di samping pengetahuan empiris, Islam juga memberikan porsinya tersendiri bagi pengetahuan rasionalis. Sebagai contoh, Allah SWT mengharamkan khamar dan judi karena keduanya mengandung kemudaratan yang lebih besar daripada kemanfaatannya. Allah SWT berfirman:
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِۗ قُلْ فِيْهِمَآ اِثْمٌ كَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِۖ وَاِثْمُهُمَآ اَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَاۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ەۗ قُلِ الْعَفْوَۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ
Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang khamar64) dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. (Akan tetapi,) dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” Mereka (juga) bertanya kepadamu (tentang) apa yang mereka infakkan. Katakanlah, “(Yang diinfakkan adalah) kelebihan (dari apa yang diperlukan).” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu berpikir.
(Terjemahan diambil dari laman quran.kemenag.go.id)
Imam al-Baidhāwi dalam Kitabnya Tafsir al-Baidhawi mengatakan bahwa asbabun nuzul (latar belakang turunnya suatu ayat) turunnya ayat ini karena keadaan sosial yang makin rusak akibat meminum khamar ini. Keributan terjadi di mana-mana akibat ulah orang-orang yang sudah tertutup akalnya dengan khamar tersebut. Melihat hal tersebut, Umar Ibn al-Khattab kemudian mengadu kepada Rasulullah agar diturunkan ayat yang secara tegas melarang khamar ini.
Dari asbabun nuzul ini, setidaknya dapat dilihat bahwa Allah mengharamkan khamar dan judi karena ada kemudaratan. Kemudaratan tersebut merupakan akibat dari meminum khamar dan melakukan perjudian. Adanya akibat tersebut merupakan konsep dalam hukum kausalitas sebagaimana yang dilahirkan oleh aliran rasionalisme.
Dalam ayat tersebut, Allah SWT menyuruh umat Muslim untuk bertafakur akan larangan yang Allah berikan. Dalam Kamus al-Mu’jam al-Wasith kata تفكر (tafakur) seakar dengan kata تفكير (tafkir) yang berarti menggunakan akal dalam menghadapi suatu hal untuk memahaminya. Secara implisit, Allah memerintahkan umat Muslim untuk menggunakan akal pikirannya merenungi mengapa Allah melarang dua hal tersebut. Digunakannya diksi ini menandakan bahwa memang akal memiliki tempat atau porsi dalam Islam.
Konklusi
Dari pemaparan dua ayat tersebut, setidaknya dapat diambil kesimpulan bahwa Islam juga mengakui adanya pengetahuan yang berdimensi empiris dan rasional. Di samping pengetahuan yang bersifat fisik tersebut, memang ada pengetahuan yang bersifat metafisik, yaitu pengetahuan yang bersumber dari wahyu ilahi. Namun, terlepas dari pengetahuan dan kebenaran metafisik tersebut, penting untuk dicatat bahwa Islam tidak pernah mereduksi pengetahuan dan kebenaran empiris dan rasionalis.
Islam memang memiliki titik persamaan dengan epistemologi, yaitu dalam kaitannya tentang pengetahuan dan kebenaran fisik. Namun, dalam konteks kebenaran metafisik, epistemologi tidak akan dapat menjangkaunya. Perbedaan utamanya jelas karena perbedaan worldview yang berbeda. Perbedaan worldview bukan berarti bahwa pengetahuan dan kebenaran yang dihasilkan oleh salah satu pihak adalah salah di mata pihak yang lain.
Referensi:
Al-Baidhāwi. Tafsir al–Baidhāwi. Diambil dari Maktabah Syamilah
Al-Mu’jam Al-Wasith (2004). Cetakan Keempat Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah.
Al-Qur`an Al-Karim. Terjemahan Kementerian Agama. Diambil dari https://quran.kemenag.go.id/
Al-Samarqandi. Tafsir al-Samarqandi. Diambil dari Maktabah Syamilah
Hadi Yasin, M., Jannah, S. P., Nadiaturrohmah, T., & Izzatun, N. (2022). Islamic Worldview. Tahdzib Al Akhlak, 125-134.
Hasanah, H. (2016). Teknik-Teknik Observasi (Sebuah Alternatif Metode Pengumpulan Data Kualitatif Ilmu-ilmu Sosial). Jurnal at-Taqaddum, 21-46.
Jurdi, F. (2024). Logika Konstitusi. Yogyakarta: Litera.
Pari, F. (2018). Epistemologi dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Ilmu Ushuluddin, 190-210.
Vera, S., & Hambali, R. Y. (2021). Aliran Rasionalisme dan Empirisme dalam Kerangka Ilmu Pengetahuan. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin, 59-73.