Pada 2003, buku Orhan Pamuk yang berjudul Istanbul terbit. Bentuknya adalah sebuah memoar yang menceritakan kenangan-kenangan Pamuk secara acak dari masa kecil sampai masa mudanya ketika ia akhirnya memutuskan untuk menjadi penulis. Padahal, cita-citanya sejak kecil adalah menjadi pelukis.
Alih-alih ditulis secara kronologis, struktur novel ini diisi dengan fragmen-fragmen kenangan mengenai diri Pamuk yang personal, yang saling berkelindan dengan kenangan akan kota yang ia tinggali, Istanbul. Penggambaran itu dilengkapi dengan ratusan ilustrasi berupa foto-foto kota tersebut, baik yang diambil oleh fotografer seperti Ara Guler, Selahattin Giz, Hilmi Sahenk, ayah Pamuk, maupun Pamuk sendiri serta beberapa foto kartu pos Max Fruchtermann.
Memoar yang ditulis ketika usia Pamuk 52 tahun ini mengangkat tema utama apa yang diistilahkan Pamuk sebagai “huzun” yang merupakan campuran dari perasaan melankolis, kemuraman, dan kemurungan. Ini terlihat jelas di kutipan dari seorang kolumnis terkenal Turki, Ahmet Rasim, yang diletakkan di bagian awal novel Pamuk; “Keindahan suatu tempat terletak pada kemurungannya” untuk menggambarkan keindahan Istanbul melalui ‘huzun’ yang secara kolektif dirasakan oleh para penduduknya.
Pamuk menggunakan pengalaman dirinya yang sangat pribadi untuk bercerita tentang kota tempat tinggalnya dan sebaliknya. Ia menggambarkan rumah keluarganya di apartemen Pamuk yang ‘muram’ seperti sebuah museum:
“bukan hanya piano yang tidak dimainkan; dalam setiap apartemen juga terdapat sebuah lemari kaca yang memamerkan aneka porselin, cangkir teh, perangkat perak, mangkuk gula, kotak tembakau, gelas kristal, kendi air mawar, piring dan tempat pembakar dupa yang tidak pernah disentuh siapa-siapa… Ruang duduk bukan dimaksudkan sebagai tempat orang berharap dapat duduk dengan nyaman; ruangan itu merupakan museum kecil yang dirancang untuk memamerkan kepada para tamu bahwa pemilik rumah adalah orang yang berpikiran Barat.” (hal 12-13).
Ia juga menunjukkan bahwa secara pribadi, seperti juga orang-orang lain di kotanya, merasakan kemuraman dan melankolia dengan alasan yang berbeda-beda tapi nyaris sama.
“…setelah Kesultanan Usmani ambruk, dunia nyaris lupa bahwa Istanbul ada. Kota tempat saya dilahirkan ini lebih miskin, lebih kumuh, dan lebih terasing ketimbang sebelumnya selama sejarahnya sepanjang dua ribu tahun. Bagi saya, Istanbul selalu merupakan kota penuh reruntuhan dan kemurungan masa akhir kesultanan. Saya menghabiskan hidup memerangi kemurungan ini atau (seperti semua penduduk Istanbul) menjadikannya sebagai kemurungan saya.” (hal 6-7)
Bagi Pamuk, berbicara mengenai kota Istanbul dalam memoarnya adalah juga berbicara tentang diri penduduknya dan ‘huzun’ yang mereka rasakan; “perasaan yang dipikul oleh kota Istanbul sebagai takdirnya.” (hal. 127)
Konuk (2011) dalam penelitian yang menggunakan buku Pamuk ini sebagai korpusnya, menegaskan bahwa memoar ini memang berpusat di konsep ‘huzun’ sebagai melankolia kolektif yang dirasakan oleh semua penduduk Istanbul yang membuat mereka tidak bisa ‘memandang’ Istanbul murni dari mata mereka, sehingga sejarah yang kemudian muncul tentang kota Istanbul adalah sejarah yang tidak otonom melalui mata Barat.
Ini diafirmasi Pamuk dalam tulisannya di memoar tersebut: “Jadi, ketika majalah-majalah atau buku-buku sekolah membutuhkan suatu gambaran tentang Istanbul, mereka menggunakan lukisan-lukisan hitam putih yang dibuat oleh para kelana dan seniman Barat” (hal. 63)
Pamuk menunjukkan bahwa ‘huzun’ ini kurang lebih muncul (salah satunya) karena ada peralihan antara masa lalu dan masa sekarang. Masa lalu yang direpresentasikan oleh kejayaan Kesultanan Usmani dan masa sekarang yang direpresentasikan oleh keruntuhan Kesultanan Usmani dan terbangunnya Republik Turki, sebuah negara sekuler Attaturk, homogen, dan beorientasi Barat.
Meskipun demikian, tidak bisa dimungkiri bahwa memandang Istanbul dari mata Barat ini memberi orang-orang Istanbul kemewahan untuk menyadari keindahan kota tempat tinggal mereka yang penuh kemurungan itu.