Pagi itu, di pekarangan rumahnya, Siti menanam pohon apel bersama tiga orang anaknya. Sebuah lubang agak dangkal baru saja digali dengan linggis. Tanah lembap dari galian itu menumpuk di pinggir lubang, aromanya menyebar di udara. Siti dengan gerak tangan pelan dan penuh hati-hati, mencabut plastik yang membungkus cangkokan berserabut akar di pangkal pohon apel itu. Harapannya, agar tanah yang membalut akar itu tidak ikut terlepas.
Anak-anaknya memandanginya dengan sorot yang lekat serasa takjub. Beberapa saat kemudian, Siti memasukkan pangkal pohon apel itu ke dalam lubang. Lalu tanah galian di sekitar mulut lubang dimasukkan lagi ke dalam, ditekan-tekan dengan telapak tangannya, hingga pohon setinggi satu meter itu tertanam rapi. Daun-daunnya melambai pelan ditiup angin.
Siti tersenyum, tiga orang anaknya pun tersenyum. Mereka saling pandang, lalu tersenyum lagi. Mungkin mereka membayangkan pohon itu kelak akan menghasilkan buah yang ranum dan segar, yang bisa dinikmtati dalam suasana kebersamaan.
“Nanti pohon ini akan besar dan berbuah, ketika kalian sudah sama-sama dewasa. Jadi, nanti kalian bisa memetik dan memakan buah apel ini bersama-sama di bawah rindang pohonnya. Nanti ibu juga akan menemani kalian memakan buah apel di tempat ini,” ucap Siti kepada anak-anaknya.
Tiga anak Siti tiba-tiba berdiri dan melompat-lompat girang. Mereka bahagia melihat pohon apel itu, dan Siti bahagia melihat anak-anaknya itu.
Siti bercerita kepada anak-anaknya, bahwa pohon apel itu bukan pohon apel sembarangan. Itu apel dari Gunung Montorra, rasanya manis, buahnya selalu lebat dan segar dengan tanda matang berkulit kuning—warna kulit yang tak lazim ditemukan pada apel secara umum.
Petunjuk tentang adanya pohon apel itu diperoleh Siti melalui mimpi yang terjadi berturut-turut selama tiga malam. Suami Siti pun akhirnya memberanikan diri pergi ke Gunung Montorra dengan risiko yang cukup berbahaya.
Setelah melewati tebing-tebing terjal, hamparan batu dan aneka hadangan hewan buas, akhirnya suami Siti berhasil menemukan dan mencangkok apel itu. Siti yakin, apel itu bukan apel sembarangan, kulit buahnya saat matang berwarna kuning, sebagaimana buah apel pada pohon induk yang ada di Gunung Montorra seperti yang diceritakan suaminya.
Seiring putaran waktu, pohon apel itu tumbuh subur. Pohonnya yang semula hanya berupa ranting, mulai meninggi dan agak kekar, dahan-dahannya melebar dengan gelantung rimbun daun yang menyerupai payung.
Saat musim kemarau, Siti menyiramnya setiap pagi dan sore, menyemprotnya dengan cairan antihama dan memupuknya dengan teratur. Seiring itu pula, tiga anak Siti semakin tumbuh besar. Dua di antaranya sudah duduk di bangku SMA. Sedang si bungsu, satu-satunya yang berjenis kelamin perempuan, sudah duduk di kelas akhir SMP.
Pohon apel itu mulai rindang. Suami Siti membuat bangku beton di bawahnya. Siti, tiga anak dan suaminya, kerap duduk bersama di bangku beton itu pada sore hari, sambil bercakap banyak hal, dan tak jarang membicarakan pohon apel itu.
“Kenapa pohon apel ini belum berbuah, Bu? Padahal sudah besar,” tanya Sika, anak perempuan Siti. Sepasang matanya mengamati rimbun daun apel yang menghampar.
“Jangan terburu-buru, Nak. Suatu saat pasti berbuah,” bibir Siti tersenyum.
“Sebentar lagi saya dan adik tamat SMA. Kemungkinan akan kuliah ke luar Madura. Jika pohon ini baru berbuah saat itu, saya dan adik tentu tidak bisa menikmati buah apel ini,” ungkap Ardi anak sulung Siti. Ryan, adiknya mengangguk, membenarkan ucapan Ardi.
“Jangan khawatir soal itu, Nak. Sekarang zaman kiriman paket. Kamu tetap bisa menikmati buah pohon apel ini,” Siti menepuk-nepuk bahu Ardi.
Sejak saat itu, Siti pun merasa ada yang ganjil dengan pohon apel itu. Tak jarang ia berlama-lama memandangi dahan dan rimbun daunnya dari bawah. Seperti membaca sesuatu atau tepatnya menguak hal-hal yang disembunyikan pohon itu. Berkali-kali ia menggores kulit pohon itu dengan pisau hingga getahnya menetes dan meleleh, ia berharap agar pohon itu cepat berbuah. Tapi harapan itu sia-sia, umpama daun-daunnya yang berjatuhan ke tanah.
Suatu ketika, Siti duduk termenung di bawah pohon apel itu. Daun-daunnya yang kering menyampahi rambut Siti pada bagian ujung yang dipoles segaris cahaya senja. Angin bertiup pelan, seakan menyanyikan kesunyian. Beberapa burung kecil berlompatan di ranting-ranting, bercericit sebentar, lalu berkepak pergi setelah ada jenis burung lain yang datang.
Saat itu, tiba-tiba sebuah dahan kecil patah dan jatuh ambruk tepat mengenai bahu Siti. Siti terkejut. Ia abai pada rasa sakit di bahunya. Ia malah mendongak penasaran, kenapa seketika dahan itu jatuh, bukankan angin tidak kencang dan tak ada siapa pun di atas pohon apel itu. Siti merasa aneh dengan kejadian itu.
Keesokan harinya, suami Siti meninggal tanpa mengidap penyakit apa pun. Setelah makan siang, suami Siti hanya pamit untuk tidur dan sekadar mengaku capai, tapi hingga azan maghrib berkumandang ia tidak keluar dari kamarnya. Setelah dicek, ternyata sudah meninggal. Malam harinya, Siti baru sadar maksud dahan apel yang jatuh menimpa dirinya kemarin sore itu. Siti melinangkan air mata. Ia merasakan ada banyak dahan-dahan yang jatuh dalam dadanya.
***
Sore itu, Siti tengah menyapu daun-daun kering di bawah pohon apel kesayangannya. Angin menyisir rambutnya perlahan, sambil lalu merempahinya dengan luruhan daun-daun kering. Saat itu, Siti tinggal sendirian di rumah. Ketiga anaknya sudah kuliah di luar kota. Siti kadang sedih menatap pohon apel itu, yang masih tak kunjung berbunga, bagai orang mandul yang sudah tua. Tak ada yang bisa ia hasilkan, kecuali hanya berdaun rimbun dan menggugurkannya suka-suka.
Kadang kala Siti menangisi pohon itu, sembari mengelus-elus pangkal dan beberapa akar yang mencuat keluar tanah. Sambil menahan isak, ia mendongak ke atas, mengamati dahan dan ranting-ranting, barangkali dengan ajaib bunga-bunga seketika muncul. Namun, di sana hanya ada burung-burung kecil berlompatan dan beberapa benalu tumbuh menempel di dahan.
Di hari yang lain, Siti terkejut ketika daun-daun pohon apel itu banyak yang menguning, seperti terserang hama, dan lama-lama jadi layu, lalu berguguran memadati tanah. Siti memilah selembar daun itu dengan dada bergetar dan tangan gemetar. Siti tak bisa menahan air matanya, ia mulai curiga akan terjadi sesuatu lagi.
Malam harinya ia menelepon tiga anaknya dan bertanya perihal kabar. Hanya Ardi yang tidak bisa dihubungi, nomornya dalam keadaan tidak aktif. Kedua saudaranya pun ikut panik, terutama ketika Siti bercerita tentang gugurnya daun-daun apel di pekarangan rumahnya.
Sebagai seorang wanita yang hidup sendiri, Siti hanya bisa menangis sambil berdoa agar Ardi baik-baik saja, sambil lalu ia menunggu kepastian kabar dari dua anaknya yang sedang mencari Ardi saat itu. Satu hari kemudian, ia baru mendapatkan kabar bahwa Ardi kehilangan seluruh barang-barang di kosannya, termasuk HP. Tapi anak-anaknya berusaha menenangkan Siti, karena Sika dan Ryan berpatungan untuk membantu Ardi agar bisa membeli HP lagi. Akhirnya Siti bisa tersenyum, meski air matanya tetap berlinang.
***
Siti selalu tersenyum sejak seminggu yang lalu, tepatnya sejak ia melihat ranting-ranting apel itu dipupur bunga-bunga halus yang kian hari warnanya kian cerah, elok bersembunyi di ramping ketiak susunan daun. Siti sering meluangkan waktunya dengan duduk di bawah pohon apel kesayangannya itu sambil menatap titik-titik bunga yang bertebaran. Ia tidak langsung mengabari anak-anaknya, ia berencana akan membuat kejutan dengan langsung mengirimkan buahnya kepada ketiga anaknya nanti ketika apel itu sudah matang.
Apel itu berbunga pada saat musim hujan, sehingga bunga-bunga itu banyak yang luruh oleh tikaman angin dan tamparan hujan. Hanya beberapa bunga yang mampu berubah jadi buah. Dan buah-buah itu pun hanya satu yang mampu bertahan dari amuk hujan dan angin. Buah apel satu-satunya itu berada pada posisi yang agak tersembunyi oleh sampiran daun rimbun. Semakin hari semakin besar dan kulitnya mulai terlihat ranum. Siti selalu memandangnya dengan senyum, dan ia berencana akan membelah buah apel itu menjadi tiga bagian untuk dikirimkan kepada tiga anaknya.
Seminggu kemudian, Sika datang dalam keadaan sakit. Ia mengaku pening dan sering muntah. Tak seperti biasanya, ia menolak berobat secara medis, alasannya karena takut untuk minum obat-obatan yang mengandung bahan kimia. Ia cuma meminta Siti mengobatinya dengan ramuan alam yang ada di desanya. Sudah ada banyak ramuan yang Siti racik dari banyak orang yang sempat ia tanyakan. Tapi keadaan Sika tetap tak berubah, ia tetap sering pening dan muntah-muntah, waktunya banyak digunakan untuk tidur, selebihnya hanya termenung di jendela, seperti memendam sesuatu yang menyakitkan.
Semakin hari, tubuh Sika semakin kurus, hanya perutnya yang membuncit. Siti mengira, anak perempuannya itu sedang terserang penyakit tumor. Siti membujuk Sika agar berobat secara medis, tapi Sika tetap tidak mau. Siti terus membujuk bahkan setengah memaksa, tapi Sika tetap tidak mau dan hanya menangis di kamarnya. Sampai tiba suatu pagi, ketika keduanya sedang duduk di bawah pohon apel itu, dengan bahasa yang lembut, Sika mengaku dengan jujur, bahwa dirinya sedang hamil. Siti sangat terkejut mendengar kabar itu. Ia meneriakkan nama Sika satu kali lalu menangis keras sembari memeluknya.
Siti baru sadar, ternyata munculnya buah apel yang hanya satu buah itu diam-diam memberi isyarat kepada dirinya bahwa Sika sedang hamil. Siti bingung apa yang harus ia lakukan. Hari-harinya dilalui dengan mengurung diri dalam kamar. Dan suatu sore, ketika ia bermaksud hendak menghibur diri di pekarangan rumahnya, tiba-tiba saja dirinya menjolok buah apel itu, lalu melemparnya jauh-jauh, hingga lenyap entah ke mana. Ia berharap agar kandungan Sika lenyap mengikuti jejak buah apel itu.
ilustrasi: aliexpress, gustav klimt.