Mungkin tak banyak orang tahu bahwa hari ini, 8 Juni 50 tahun silam (1970), adalah hari wafantnya Jamaludin Malik (Jamal), seorang tokoh nasional yang berjasa besar dalam kebudayaan, khususnya di dunia film nasional. Jamaludin adalah seorang sineas, politisi, sekaligus pengusaha yang dikenal sangat dermawan. Dia menjadi bos para seniman Senen, tempat nongkrong para seniman pada saat itu. Jamaludin Malik tidak hanya sering memberikan uang rokok dan kopi pada mereka, tetapi juga uang tiket untuk nonton sandiwara.
Tak hanya pada para seniman, Jamaludin juga sering membantu para kiai dan ulama, terutama para tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang datang ke Jakarta. Salah satu tokoh NU yang ditolong oleh Jamaludin Malik adalah KH Saefudin Zuhri. Beliau mendapat tumpangan rumah di Kebayoran Baru II dari Jamaludin Malik saat pertama kali tugas di Jakarta. Bahkan, pada awal perpindahan kantor PBNU dari Surabaya ke Jakarta pada 1950, juga mendapat bantuan dari Jamaludin, terutama ketika masih di Jalan Menteng Raya 24.
Jamaludin Malik marupakan tokoh perfilman Indonnesia. Di tangan dirinyalah film Indonesia bisa bangjkit dan berkembang. Dia adalah pengusaha film Indonesia pertama di luar orang China dan Belanda. Selain sebagai produser, jasa Jamal di bidang film adalah mendirikan Persari (Perseroan Artis Film Indonesia) pada 1951. Untuk mendukung aktivitas dunia film, dia mendirikan gedung di Jalan Polonia, Jatinegara. Gedung ini tidak hanya menjadi tempat latihan dan shoting film, tetapi juga tempat para artis dan kru film melakukan aktivitas kesenian. Selain itu, gedung ini juga sering dipakai rapat dan pertemuan para pengurus dan ulama NU.
Selain mendirikan Persari, Jamal juga mendirikan Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI). Lembaga ini didirikan bersama Usmar Ismail, sebagai sarana untuk mengangkat harkat dan martabat film Indonesia di kalangan masyarakat internasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, PPFI bergabung dengan Federasi Film Asia. Untuk meningkatkan mutu film Indonesia pada 1955, Jamal menyelenggarakan Festival Film Indonesia (FFI). Even ini dibiayai Jamal dari kantung pribadi.
Pada era kejayaan Persari, ia mampu memproduksi enam sampai tujuh judul film per tahun dengan kualitas tinggi. Sebagaimana diceritakan Asrul Sani dalam testimoninya terhadap Jamaludin Malik pada 1987, pernah suatu kali dia memproduksi film yang hasilnya jelek, tidak sesuai dengan standar Jamal. Kemudian, dia memanggil seluruh kru dan pemain. Di hadapan mereka, Jamaludin membakar negatif dan positif film jelek tersebut.
Jamaludin Malik tidak hanya dikenal sebagai produser film, tetapi juga importir dan distributor film, terutama film India dan Hollywood. Dengan demikian Jamal menguasai perederan film-film impor dan film nasional. Hampir semua jaringan gedung bioskop berada dalam kendali Jamal. Ini artinya, Jamal menguasai industri film dari hulu sampai hilir. Karena dia aktif di organisasi NU, banyak aktivis NU di daerah yang menjadi distributor film.
Jalal memang aktivis NU sejak muda. Dia mulai berkiprah di NU dengan menjadi anggota Ansor Anak Cabang Kebon Sirih pada 1952. Pada tahun 1962, ketika PBNU membentuk Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (LESBUMI) dalam kongres di Bandung, Jamal terpilih sebagai Ketua Umum Lesbumi dan Usmar Ismail menjadi Ketua I dan Asrul Sani menjadi Ketua II. Beberapa tahun kemudian, Jamal diangkat menjadi Ketua PBNU, dan jabatan Ketua Umum Lesbumi kemudian dijabat oleh Asrul Sani sampai dekade 70-an.
Persentuhan Jamal dengan NU dimulai dari pertemuannya dengan KH Wahid Hasyim di Yogyakarta saat ibu Kota pindah ke Yogyakarta. Sebagaimana didokumentasikan oleh KH Saefudin Zuhri dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren, saat itu Jamal bernyampaikan niatnya untuk ikut bertempur di medan perang. Dia berniat membubarkan kelompok sandiwara Panca Warna, yang didirikannya pada 1942 dan sudah berkeliling hampir ke seluruh kota besar di Indonesia, dengan tujuan membangkitkan semangat juang dan cinta Tanah Air. Jamal dan kelompoknya merasa tidak puas berjuang hanya lewat kesenian. Mereka ingin berjuang dengan cara bertempur mengangkat senjata di medan perang.
Niat Jamal dan kawan-kawan untuk ikut bertempur di medan perang dengan membubarkan kelompok sandiwara ini ditolak oleh KH Wahid Hasyim. Menurut Kiai Wahid, berjuang tidak harus angkat senjata dan menjadi anggota laskar. Berjuang melalui jalur kesenian juga tidak kalah penting dengan berjuang di medan perang. Untuk itu, Kiai Wahid melarang Jamal berhenti menjadi seniman dan masuk menjadi anggota laskar. Sudah terlalu banyak yang menjadi anggota laskar, sedangkan yang menjadi seniman dan berjuang melalui seni, khususnya sandiwara, masih sangat sedikit. Padahal, dalam perjuangan yang sangat besar ini, seni merupakan alat perjuangan yang penting.
Selanjutnya, Kiai Wahid menjelaskan pada Jamal, bahwa pementasan sandiwara bisa dijadikan selubung untuk mengunpulkan para pejuang sekaligus mengumpulkan senjata agar tidak dicurigai musuh. Melalui sandiwara, para pejuang bisa bertukar informasi dengan menyamar menjadi penonton atau pemain. Akhirnya, Kiai Hasyim menyuruh Jamal untuk kembali ke Jakarta dan terus memainkan sandiwaranya untuk menghilangkan kecurigaan Belanda yang saat itu sudah menguasai Jakarta.
Bersama dengan Asrul Sani dan Usmar Ismail serta seluruh jajaran pengurus Lesbumi, Jamal telah menjadikan Lesbumi sebagai corong sekaligus gerakan seni ummat Islam, khususnya kaum nahdliyin. Pada dekade 1960-an terjadi tarik menarik gerakan kesenian antara kelompok liberal dengan jargon “seni untuk seni” di satu sisi dan gerakan kaum kiri di sisi lain dengan semboyan “politik adalah panglima” sehingga menggunakan seni sebagai alat politik.
Dalam ketegangan antara kaum liberal kapitalis dengan kaum komunis sosialis inilah Lesbumi lahir dengan spirit humanisme religius, menolak semangat “seni untuk seni” dan “politik sebagai panglima”. Lesbumi tidak berpegang pada isme tertentu, tetapi menjadikan agama sebagai kesatuan yang mengikat dan memberi bentuk batin kesatuan kebudayaan. Artinya, kebudayaan adalah ekspresi dari spirit keagamaan yang terejewantahkan dalam berbagai karya seni dan perilaku. Dengan demikian, kesenian bukan bebas nilai sebagaimana yang digaungkan oleh kaum liberal, juga bukan alat ideologi sebagaimana yang digaungkan oleh kaum sosialis. Dengan cara ini Lesbumi berhasil membendung pengaruh komunisme dan mengadang laju liberalisme.
Demikianlah, perjuangan Jamaludin Malik dalam membangun strategi kebudayaan nasional. Jejak-jejak itu masih terlihat jelas hingga saat ini meski sudah tergerus zaman dan tertutup oleh sampah peradaban. Hari ini, tepat 40 tahun kepergianmu, jejak-jejak itu seperti muncul kembali, menari-nari dalam ingatan seolah memberikan isyarat agar kita terus menjaga dan meneruskan jejak kebudayaan yang telah dirintisnya.
Ila rukhi Kiai Jamaludin Malik, al-Faatehah…