Jampi-jampi Mak Tini

91 views

Sungguh, bila ada aturan aneh dalam satu kurung desa, mungkin desa ini salah satunya. Warga sekitar memang tahu betul peraturan dari leluhur terdahulu yang turun temurun masih diwariskan. Semenjak ada lelaki yang berani menantang peraturan tersebut, gaduh desa terkena bencana secara beruntun tak terhindarkan. Hari ini banjir, kemarin tanah longsor, dan mungkin beberapa hari esok, desa tersebut hancur hilang karena bencana.

Beberapa tetua desa bermusyawarah untuk mencari cara bagaimana menghentikan bencana ini. Bahkan lelaki yang melanggar aturan itu dipaksa datang untuk ikut bercakap dalam rapat di ruang balai desa. Lalu mereka menyuruh pergi lelaki tersebut keluar desa saat itu juga.

Advertisements

“Sudah dibilang, kan, kalau menyembelih hewan kurban, parangmu harus didoakan dulu oleh Mak Tini!” kata Heru sebagai lurah desa dengan nada kesal.

“Sekarang, bagaimana nasib desa kita?” Bahrudin bertanya dalam ruang cakap tersebut.

“Ya, kita usir saja Rahman ini keluar desa!” sahut Mbah Darmo sebagai salah satu sesepuh desa.

Rahman sejak awal pergunjingan sudah diam. Tidak ada satu kata patah pun yang keluar dari mulutnya. Rasa sesal pada dirinya sudah menumpuk. Bahkan timbul pertanyaan pada dirinya, apakah ini akibat ulah perbuatannya. Atau ini hanya kebetulan saja.

Peraturan desa tersebut memang juga sudah tertulis jelas di balai desa. Bila setiap tahun pada hari kurban, setiap parang yang digunakan untuk menyembelih hewan kurban harus diberi doa oleh Mak Tini agar tidak terjadi bencana.

Tapi Rahman menghiraukan aturan tersebut. Ia melakukan penyembelihan hewan kurban dengan parang tanpa terlebih dulu diberi doa atau jampi-jampi oleh Mak Tini. Aneh memang bila dikatakan, sebelum-sebelumnya Rahman sebagai tukang jagal tak pernah melanggar aturan tersebut, dan untuk tahun ini ia baru saja melanggarnya. Seketika itu pula, esok hari bencana itu muncul satu per satu.

“Ya sudah, ini semua salahmu … Saya minta kamu keluar dari desa ini dengan suka rela!” pinta Heru kepada Rahman.

***

Setelah matahari terbit mengangkasa setinggi ujung tombak. Dan banjir di desa sudah mulai surut. Rahman sembari mengemas pakaian, ia termanggu. “Apa cuman di sini, sebuah desa dengan keadaan yang aneh?”

Ibu Rahman datang melihat anaknya dengan menghimpun sesak. Muara air mata berusaha ia bendung. Suaranya bercampur dengan rasa gemuruh untuk tidak melepaskan anak satu-satunya itu.

“Kau mau pergi kemana, Nak?”

“Entah … yang terpenting aku tidak di sini.”

Rahman menengok melihat sekilas ibunya untuk terakhir kali. Ibu Rahman menangis sendu. Bendung air mata yang sudah ia tahan akhirnya ambrol.

“Aku pamit ….”

Dengan berat dan tak rela, Ibu Rahman melepaskan. Rahman berpura-pura tak melihat ibunya menangis. Laju kakinya meluncur perlahan keluar dari rumah yang bersejarah yang sudah mengemas masa kenang kanak-kanaknya. Air mata Rahman meleleh, tapi ia tetap saja terus berjalan dengan arah tuju yang tak terarah.

Di ambang pintu, Rahman berhenti. Mak Tini tiba-tiba datang mencegat.

“Apa kau ingin menyumpahi diriku, atau kau ingin menghujat memaki-maki?” sungut Rahman.

“Kau anak baik, Nak. Tidak sepantasnya dirimu meninggalkan desa atas perbuatan yang tidak kau sengaja.”

Rahman terdiam mematung sembari menelan ludah. Ia masih bingung, apa yang sebenarnya terjadi.

“Semua kejadian di desa ini, itu semua kehendak Tuhan, Nak. Kau tidak salah apa-apa?”

***

Sudah 20 tahun lamanya ia menanggung beban itu. Suaminya seorang dukun yang meninggalkan dirinya dengan meninggalkan wasiat pembawa celaka.

“Setiap hari kurban parang penyembelih harus dimandikan dengan kembang tujuh rupa. Dan pada malam takbir parang-parang harus didoakan oleh istriku. Hanya dia yang tahu doanya,” begitu kata lelaki tua yang juga seorang dukun desa pada kala itu.

Mak Tini masih ingat dengan kalimat terakhir yang terucap suaminya sebelum meninggal. Dalam untaian kata-kata pada saat itu, lelaki tua itu yang sudah menahan sakit selama bertahun-tahun itu harus terjemput ajal mengerikan. Mulutnya komat-kamit berdoa kepada leluhur dan roh-roh halus yang menjadi khodamnya dan tak ada kata lain yang ia minta kecuali setelah ia meninggal agar doa-doa selalu terpanjat pada parang-parang jagal penyembelih hewan kurban sebelum arena persembelihan dimulai. Aneh. Tapi itu pesan-pesan yang selalu ia sampaikan kepada istrinya, Mak Tini.

Mak Tini sebenarnya menolak permintaan terakhir suaminya tersebut. Tapi entah kenapa pada saat satu tahun setelah kematian suaminya itu, ia tak melakukan apa yang diperintahkan. Alhasil, tiba-tiba desa terkena bencana beruntun. Mbah Darmo yang saat itu masih muda sekaligus murid tunggal suami Mak Tini langsung mencari akal, bagaiaman cara menghentikan bencana tersebut. Dengan bantuan roh-roh makhluk halus, ia menerima wangsit berupa harus mengorbankan 10 ekor ayam jantan jago dan satu ekor kambing sebagai tumbal atas kesalahan warga desa yang menghiraukan wasiat suami Mak Tini.

Setelah upacara sembelih hewan tumbal selesai, bencana desa berangsur-angsur membaik.

“Mak Tini …” sahut Mbah Darmo saat itu kepada Mak Tini.

Mak Tini melihat ke arah Mbah Darmo dengan wajah sesal.

“Kita harus menuruti kata-kata tetua leluhur kita, Mak. Doa-doa warisan suami, Mak, harus selalu ada pada parang-parang kurban yang akan disembelih pada hari raya kurban. Dan acara pembacaan doa tersebut harus dilakukan pada malam sebelumnya atau malam takbir.”

“Apa maksudmu, Darmo, aku sebenarnya tak mau melakukan hal itu. Syirik. Aku sudah tak mau berurusan dengan perkara pergoiban. Semenjak suamiku meninggal karena sakit yang entah berantah tak tahu datangnya dari mana, aku sudah bersumpah pada diriku sendiri untuk tidak melakukan ritual-ritual apa pun.”

“Tapi …”

“Tapi apa? Kejadian bencana-bencana itu semua sudah diatur oleh Sang Maha Kuasa. Kau sudah tidak boleh menghubung-hubungkan suamiku yang sudah tiada itu dengan kejadian ini.”

“Mak, mau apa lagi? Aku juga tak ingin kejadian ini terjadi. Apa kau lupa, Mak, suamimu itu penganut aliran hitam. Sudah berapa jin, setan, dedemit yang ia pelihara! Kita juga tidak bisa memungkiri kenyataan itu, Mak.”

Mak Tini terdiam menahan tangis saat itu. Ia hanya ingin kembali seperti muda kala sebelum menikah dengan suaminya. Tak tahu apa-apa tentang ilmu perdukunan.

***

“Sudahlah, Nak. Kau jangan pergi.” Mak Tini terlihat meraut muka bersalah. Rahman menatap muka Mak Tini yang sudah berkeriput. Rambut uban putih Mak Tini terlihat sebagai tanda bagaimana orang tua itu sudah menelan pahit manis kehidupan. Mak Tini sangat berharap agar kematian menghampirinya setiap malam pada mimpi-mimpinya. Tapi sayangnya ajalnya belum juga menghampirinya.

“Mak, aku mau pergi saja dari desa ini! Aku sudah tak kerasan.”

“Dengar, Nak, bencana ini akan segera berakhir. Ini adalah takdir Tuhan, bukan salahmu. Sebenarnya ini salahku. Aku yang harus menanggung beban ini. Dulu kala hal seperti ini sudah terjadi sebelumnya.”

“Lalu apa yang harus aku lakukan untuk mengakhiri bencana di desa ini?”

Perbincangan mereka tiba-tiba terhenti sebelum  Mak Tini bisa menjawab, dan Rahman yang sudah tak tahan lagi  akhirnya pergi menghilang. Solusi atas kejadian ini belum juga dijawab oleh Mak Tini.

Tapi sehari setelah kepergian Rahman, desa tiba-tiba saja tentram. Bencana berhenti seketika. Warga kembali bersuka cita. Mereka merayakan pesta tasyakuran di balai desa agar tidak terjadi bencana lagi. Namun ada yang janggal. Tak terlihat seorang Mak Tini pada perayaan tersebut. Kepala Desa Heru sampai mencari ke rumah Mak Tini. Heru kaget saat melihat Mak Tini  sudah terbrujur dan tak bernyawa lagi. Terllihat sosok itu terbaring pada tikar kasurnya sembari mukanya berseri cerah tersenyum.

Heru termangu menahan sesak. Sekarang ia harus mengurus jenazah Mak Tini. Ia juga harus memikirkan cara untuk hari kurban besok bila parang-parang kurban tidak diberi jampi-jampi oleh Mak Tini, karena hanya dia satu-satunya orang yang tahu mantra-mantra doa agar tidak terjadi bencana yang sama di kemudian hari.

Surabaya, 19 Juni 2022.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan