Penulis buku ini, Sastrawan Santri: Etnografi Sastra Pesantren, adalah seorang penyair yang lahir dari Pulau Garam, Madura. Raedu Basha merupakan sastrawan sekaligus santri yang sangat produktif menulis, terutama dalam genre sastra. Penulis dengan nama asli Badrus Shaleh ini menulis buku ini yang semula merupakan tesis Program Pascasarjana S-2 Departemen Antropologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Sebagimana yang Beliau ungkapkan di dalam prakatanya yang sangat fenomenal ini.
“Buku yang di tangan Anda ini, Sastrawan Santri: Etnografi Sastra Pesantren, pada mulanya merupakan tugas akhir pada Progran Pascasarjana S-2 Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan judul Sastrawan Santri: Studi Etnografis Sastra di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk, Sumenep, Madura, yang mana belum saya bayangkan menjadi sebuah buku… (hal. xiv),” demikian menurut penulis yang saat ini menjadi pimpinan di Pondok Pesantren Darus Salam Billapora, Ganding, Sumenep, Madura.
Santri menjadi sastrawan atau sastrawan yang dari kalangan santri adalah sebuah realita. Tidak sedikit sastrawan yang berasal dari pondok pesantren. Tentu saja melalui sebuah penelitian, observasi yang lebih intens, akan menjadi jejak sejarah bahwa dari pesantren lahir para sastrawan yang akan menghiasi kancah kesusastraan, baik regional, nasional, bahkan internasional (dunia).
Sesuai dengan hasil observasi dalam buku ini, bahwa sastarawan santri banyak lahir dari Madura, utamanya dari berbagai pesantren di Madura, khususnya Pesantren Annuqayah yang menjadi basis penelitian. Salah satu alasan, sebagaimana dituturkan oleh penulis yang punya penerbit Ganding Pustaka ini, bahwa dari Madura lahir bejibun sastrawan yang menghiasi literasi sastra di berbagai media kepenulisan.
Mengapa harus Madura? Ketika ditanya oleh penulis terhadap Nana Ernawati, ketua Lembaga Seni Sastra Reboeng, sebagai bagian dari teknis penelitian.
“Karena Madura saat ini merupakan daerah sastra. Banyak sastrawan-sastrawan Madura saat ini sangat fenomenal di dunia sastra, utamanya para penyair-penyair muda yang begitu subur lahir dari Tanah Garam itu. Karya mereka tampak unik sekali, lain daripada yang lain. Artinya, memiliki kekhasan yang menjadikan sastra Indonesia memiliki warna baru (hal. 3).”
Sastrawan Annuqayah
Sebagai basis penelitian, Pesantren Annuqayah, Sumenep, dalam catatan etnografi buku ini mencatat begitu banyak sastrawan yang berpendidikan dari pesantren yang lahir lebih dari satu abad yang lalu. Dari generasi awal seperti KH Moh Ilyas Syarqawi, KH Abdullah Sajjad Syarqawi, KH Moh Ashiem Ilyas, KH Moh Mahfudz Husaini, KH Ishomuddin Abdullah Sajjad, KH Abdul Basith Abdullah Sajjad, KH Moh Sa’di Amir, Prof Dr KH Abd A’la, MAg, Dr KH AAfif Hasan MPd, Drs KH A Hanif Hasan, KH A Hamidi Hasan, KH A Farid Hasan, KH Moh Abbadi Ishom MA, KH Muhammad Muhsin Amir, K M Zamiel El-Muttaqien, K M Faizi, K Muhammad Affan, K Muhammad Irfan AW, K Muhammad Shalahuddin, M Hum, dan lain-lain (hal. 34). Mereka adalah keluarga besar Annuqayah yang telah menorehkan karya sastra dengan beragam materi.
Kenyataan di atas telah menghasilkan berbagai karya sastra sebagai bagian dari “dalil” bahwa dari pesantren lahir banyak sastrawan. Tentu saja jika dari pengasuh saja sudah melahirkan berbagai karya sastra, maka para santri menjadi lebih termotivasi untuk melakukan hal yang sama. Maka lahirlah santri-santri sastrawan yang kemudian karyanya menghiasi berbagai media massa. Hingga saat ini, sastrawan dari kalangan santri menjadi pengisi utama di berbagai platform media, baik cetak, maupun digital.
Hal tersebut menjadi sebuah bukti bahwa keberadaan pesantren di kancah sastra adalah sebuah realita. Kenyataan yang tidak dapat diabaikan, karena mengabaikannya adalah sesuatu yang cacat logika. Buku ini menjadi bukti sejarah dan sebuah jejak catatan abadi yang akan semakin memperkuat eksistensi sastra pesantren.
Sastra dan Pendidikan Formal
Sastra dengan segala ragam jenisnya merupakan sebuah pendidikan yang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren. Dalam catatan buku ini (dibahas dalam bagain ke-3 dengan subjudul “Sastra sebagai Media Pendidikan Formal”, (hal. 65-108). Ternyata, di pesantren secara umum dan khususnya di Pesantren Annuqayah, sastra dipelajari di dalam kelas formal. Karena pada hakikatnya, segala bentuk naskah, baik yang klasik maupun yang modern, adalah bagian dari naskah sastra.
Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta shastra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Teks Sastra juga tidak hanya teks yang berisikan tentang intruksi ajaran, lebih dari itu dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu (wikipedia). Sastra dengan ragam jenis yang menyertainya diajarkan secara intensif dan komprehensif di sebuah pondok pesantren, khususnya di Annuqayah.
Kitab-kitab klasik seperti teks yang berbentuk nazam merupakan salah satu bentuk karya sastra. Dan di dalam pesantren kenyataan ini tidak terbantahkan karena sudah menjadi keseharian. Bagitupun dengan kegiatan pesantren berupa dibaan (pembacaan selawat dari kitab Dhiba’i atau Barzanji) telah menjadi ciri khas pondok pesantren. Lebih dari itu, sastra kontemporer semisal puisi, cerita pendek, novel, dan lain sebagainya telah menjadi kebiasaan bagi kebanyakan santri. Dari kenyataan ini semakin jelas bahwa sastrawan santri atau santri yang menjadi sastrawan adalah sebuah kebenaran.
Tentu saja akan afdal, utama, jika kita membaca langsung buku dengan ketebalan 218 + xx ini. Sebab masih banyak khazanah keilmuan yang akan kita dapatkan yang tidak mungkin dijelaskan dalam resensi yang sangat terbatas ini. Oleh karena itu, buku yang diterbitkan Lembaga Studi Silosial dan Agama (eLSA) Press ini patut dan sangat recommended untuk menghiasi rak buku pribadi pembaca.
Meski terdapat retyping yang tidak seharusnya, secara keseluruhan tampilan buku pemenang Nusantara Academic Award 2019 ini sangat membantu kita untuk memahami eksistensi santri sebagai sastrawan dan sastrawan dari kalangan santri. Karena ini merupakan buku penelitian ilmiah, maka pemaparannya tentu saja sangat “kaku” sesuai dengan kaidah observasi ilmiah. Wallahu A’lam!