Setelah asyik masyuk di wilayah Paluta, sekarang kita mulai penjelajahan di Sumatra Utara bagian Selatan, yaitu Kabupaten Mandailing Natal. Bayangkanlah kalau kita naik taksi (minibus sejenis elf) dari Kota Padangsidimpuan, Anda akan diajak berkejar-kejaran dengan ladang-persawahan dan hutan-hutan rakyat yang memanjakan mata. Sekitar dua setengah jam kemudian kita akan sampai di Desa Purba Baru.
Pemandangan pertaaa yang kita saksikan ketika memasuki kawasan pesantren adalah jajaran pondok-pondok kecil yang terbuat dari papam sempengan yang memuat satu orang penghuni. Itulah pondok atau dalam istilah setempat dikenal sebagai sopo untuk para santri. Saya sendiri jika menyaksikan jajaran sopo tersebut akan masygul; betapa bersahajanya para pencari ilmu diniyah yang datang ke desa tersebut.
Sebutannya Sikola Arab Purba Baru. Dibangun oleh Tuan Guru paling kharismatik di Sumatra, yaitu Syekh Mustafa Hussein Nasution Almadaily. Sejatinya, Sikola Arab, demikian orang Tapanuli Selatan menjuluki lembaga pendidikan berbasis agama sejak masa penjajahan Belanda hingga kini, ini sudah berdiri sejak tahun 1912 di sebuah masjid di sekitar rumah orang tua Syekh Mustafa Nasution di Pasar Tanobato Madina.
Sopo sebagai Identitas Sikola Purba
Menurut beberapa catatan peneliti, bangunan-bangunan sederhana yang dinamakan sopo atau pondok tadi dibangun secara mandiri oleh santri yang tidak lagi dapat ditampung di masjid tempat Syekh Mustafa meneruskan ilmunya secara halaqoh atau duduk bersila di pelataran masjid.
Sebelum pindah ke Purba Baru, Syekh sendiri sudah memiliki dua puluh orang santri yang secara rutin menyimak pengajian dan pengkajian yang ia sampaikan. Setelah musibah banjir menyapu Desa Tano Bato dan memaksa Syekh Mustafa Hussein Nastion pindah ke Purba Baru, kedua puluh santri tersebut ikut pindah dan berhalaqoh di tempat yang baru tersebut.