Jelajah Pondok di Sumatra (5): “Sopo-sopo” dan Kemandirian Santri

47 views

Setelah asyik masyuk di wilayah Paluta, sekarang kita mulai penjelajahan di Sumatra Utara bagian Selatan, yaitu Kabupaten Mandailing Natal. Bayangkanlah kalau kita naik taksi (minibus sejenis elf) dari Kota Padangsidimpuan, Anda akan diajak berkejar-kejaran dengan ladang-persawahan dan hutan-hutan rakyat yang memanjakan mata. Sekitar dua setengah jam kemudian kita akan sampai di Desa Purba Baru.

Pemandangan pertaaa yang kita saksikan ketika memasuki kawasan pesantren adalah jajaran pondok-pondok kecil yang terbuat dari papam sempengan yang memuat satu orang penghuni. Itulah pondok atau dalam istilah setempat dikenal sebagai sopo untuk para santri. Saya sendiri jika menyaksikan jajaran sopo tersebut akan masygul; betapa bersahajanya para pencari ilmu diniyah yang datang ke desa tersebut.

Advertisements

Sebutannya Sikola Arab Purba Baru. Dibangun oleh Tuan Guru paling kharismatik di Sumatra, yaitu Syekh Mustafa Hussein Nasution Almadaily. Sejatinya, Sikola Arab, demikian orang Tapanuli Selatan menjuluki lembaga pendidikan berbasis agama sejak masa penjajahan Belanda hingga kini, ini sudah berdiri sejak tahun 1912 di sebuah masjid di sekitar rumah orang tua Syekh Mustafa Nasution di Pasar Tanobato Madina.

Sopo sebagai Identitas Sikola Purba

Menurut beberapa catatan peneliti, bangunan-bangunan sederhana yang dinamakan sopo atau pondok tadi dibangun secara mandiri oleh santri yang tidak lagi dapat ditampung di masjid tempat Syekh Mustafa meneruskan ilmunya secara halaqoh atau duduk bersila di pelataran masjid.

Sebelum pindah ke Purba Baru, Syekh sendiri sudah memiliki dua puluh orang santri yang secara rutin menyimak pengajian dan pengkajian yang ia sampaikan. Setelah musibah banjir menyapu Desa Tano Bato dan memaksa Syekh Mustafa Hussein Nastion pindah ke Purba Baru, kedua puluh santri tersebut ikut pindah dan berhalaqoh di tempat yang baru tersebut.

Pondok Pesantren Al-Mustafawiyah, demikian pondok pesantren tersebut secara resmi dinamakan, mulai menampakkan perkembangannya yang pesat sejak 1916. Jika sebelumnya para santri masih dapat ditampung di dalam masjid karena jumlah baru sekitar 20-an orang, maka sejak 1916 itu santri bertambah menjadi 60-an orang.

Ali Sati, seorang dosen di IAIN Padangsidimpuan, mencatat bahwa pembangunan sopo-sopo tersebut pada awalnya adalah inisiatif para santri. Proses pengajaran pada waktu itu persis meniru halaqoh yang dilaksanakan di Darul Ulum Makkah, terutama pada kemandirian santri untuk mencari dan mendatangi sendiri syekh yang diinginkan. Begitu juga di Purba, para santri datang sendiri, mencari tempat untuk tidur sendiri dan mengatur waktu belajar sendiri di luar halaqoh yang sudah dijadwalkan oleh Syekh Mustafa, yaitu bakda maghrib dan isya.

Sopo-sopo atau gubuk-gubuk atau pondok-pondok sederhana tersebut makin lama-makin banyak sejalan dengan jumlah santri yang datang. Keberadaan pondokan-pondokan kecil inilah yang menjadi “identitas” bagi Pondok Pesantren Purba. Oleh karena itu, tammatan “Sikola Purba” dapat disimpulkan termasuk pribadi-pribadi yang sederhana, zuhud, dan tekun dalam menjalani hidup.

Perlu dicatat bahwa hingga 1959, Pondok Pesantren Mustafawiyah hanya menerima santriwan saja. Kondisi sebelumnya belum memungkinkan bagi santriwati untuk belajar di halaqoh yang berlangsung pada malam hari tersebut. Pondok yang terus mengajarkan kitab-kitab klasik tersebut baru dapat menerima santriwati setelah mampu membangunkan asrama santriwati lengkap dengan peralatan memasak yang diperlukan. Ingat, meskipun ada asrama, santriwan tetapi tinggal di sopo-sopo sederhana yang mereka bangun sendiri.

Setelah seabad lebih berjalan pondok-pondok berukuran 3×2 meter persegi itu masih bertahan dan menjadi identitas lembaga pendidikan yang sudah berlangsung 108 tahun tersebut. Selanjutnya, pondok pesantren ini menjadi identitas Desa Purba Baru bahkan lebih besar lagi menjadi identitas Kecamatan Lembah Sorik Marapi. Pondok dan masyarakat desa adalah dualitas yang saling mewarnai. Sekarang ini, kegiatan pesantren adalah juga kegiatan desa. Keduanya bagai dua sisi mata uang.

Tempat Magang Para Guru

Syekh Mustafa Husein Nasution merupakan pionir pendidikan kepesantrenan di Tapanuli Selatan. Memang, sebelumnya sudah ada pendidikan prapesantren. Misalnya saja, sebelum berangkat ke Makkah, Syekh Mustafa Hussein Nasution lebih dulu ke Huta Pungkut Madina Tapsel untuk belajar pada ulama terkemuka di sana, yaitu Syekh Abdul Hamid. Syekh Abdul Hamid diduga adalah seorang alim lulusan halaqoh Masjidil Haram di Makkah.

Syekh Mustafa Hussein Al-Mandaily sendiri berangkat ke Makkah sekitar 1899. Ia berada di sana selama dua belas tahun. Ia sempat memimpin satu halaqoh sendiri di sana sampai ia pulang ke Desa Tano Bato karena ayahnya meninggal dunia pada 1911.

Setahun kemudian, Syekh Mustafa membuka halaqoh di masjid di samping rumah orang tuanya. Pada awal pendirian halaqoh tersebut, muridnya sejak di Makkah ikut serta menjadi santri dan sekaligus memabantunya mengajar. Selain itu, ikut pula Abdul Halim Khatib yang kemudian berangkat ke Makkah. Sepulang dari Makkah, Syekh Halim Katib kembali ke Madina dan magang mengajar di Al-Mustafawiyah.

Memang, Pondok Pesantren Almustafawiyah menjadi patokan tertinggi mutu pembelajaran kepesantrenan di Tapanuli Selatan. Tidak heran pula setelah itu banyak pembelajar yang pulang dari Makkah memilih untuk magang mengajar dulu di Purba Baru. Sebut saja Dja’far Abdul Wahhab, pengajar terbaik di Tapsel lulusan Kairo Mesir. Ia mengajar di Mustafawiyah sebelum mandiri dan membuka pondok sendiri.

Salah satu yang tidak dilupakan adalah Syekh Ali Hasan Addary. Tak pelak, ia adalah salah satu tokoh NU yang paling berpengaruh di Sumatra Utara. Syekh Ali Hasan Addary merupakan tokoh pendiri IAIN Sumatra Utara. Sosok yang banyak mengembangkan studi hadits dan perbandingan agama di Sumatra Utara ini belajar banyak dari Syekh Mustafa Husein Nasution.

Menarik juga jika setelah ini kita menelusuri penyebaran dan persebaran parsikola Puba yang kemungkinan juga membuka pondok-pondok pesantren di seantero Sumatra Utara. Semoga kita punya kesempatan untuk itu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan