Kuseduh secangkir kopi sebentar setelah anak-anak pulang dari mengaji di masjid. Sengaja kubuat kopiku dengan sedikit gula agar pahitnya lebih terasa; biar aku ikut merasakan pahitnya kehidupan yang dirasa para petani di desa ini.
Aku berbaring sembari mengintip bintang- gemintang di langit yang redup. Di gelapnya langit itu tergambar wajah ibuku yang mulai berkeriput. Nun jauh di Jawa sana, dia merinduiku siang dan malam.
Selepas tiga tahun nyantri sembari sekolah di Malang aku lantas pulang karena ayahku meninggal dan tiada lagi yang membiayai sekolahku. Setahun berikutnya aku menjadi guru ngaji di Kalimantan ini; mengadu nasib sembari mencari bekal akhirat di tanah perantauan. “Aku akan segera pulang Bu,” ucapku beberapa hari yang lalu melalui sambungan telepon.
“Assalamualaikum, sudah tidur Pak Ustaz?”
Aku tergeragap bangun. Kujawab salam itu dengan suara terkejut. Rupanya Pak Anto, pejabat tambang yang tinggal di perumahan ini. Kuminta masuk ke dalam rumah, tapi dia bersikukuh duduk di lincak teras. Kubuatkan kopi dan kupaksa dia menunggu.
Beberapa jurus kemudian kami duduk bersama.
“Amplop apa ini Pak?” tanyaku penuh curiga. Aku masih ingat apa yang dikatakannya tempo hari.
“Saya hanya diminta atasan, Pak Mus,” tukasnya.
“Saya juga paham, Pak Anto. Tapi maaf, amplop ini tak mampu mengenyangkan perut para petani untuk tahun-tahun ke depan. Dan mereka tak akan berhenti berteriak sebelum reklamasi itu terealisasi,” ucapku kemudian.
“Pak Mus-lah yang mampu meredam teriakan mereka. Toh mereka selama ini telah menerima ganti rugi. Selain itu, reklamasi itu pasti akan terealisasi, tinggal tunggu waktu saja.”
“Maaf Pak, mereka bukan lagi orang bodoh. Begitu para penambang pergi, tiada lagi yang akan peduli. Dan janji tinggallah janji.”
“Jernihkanlah pikiranmu, Pak Mus. Di dalam amplop ini isinya tidak sedikit, Pak Mus. Cukuplah untuk memberangkatkan umroh ibumu, juga untuk menikahi calon istrimu yang cantik nan salehah itu. Siapa Pak namanya? Ustazah Siti?”
Pak Anto kembali menyodorkan amplop itu. Aku mengamatinya. Sebenarnya ucapan orang tambang ini tidak salah. Beberapa detik aku sempat bimbang. Tumpukan uang berwarna merah dalam amplop yang tebal itu bisa digunakan untuk banyak hal termasuk yang dikatannya. Bisa juga dibuat untuk membiayai sekolah dan pesantren adikku.
Tapi ratapan para petani yang lahannya berubah menjadi jurang-jurang tandus itu mengganjal di pelupuk mata. Apalagi sikap anak-anak pegawai tambang yang sombong itu saat mem-bully Sadil; anak seorang petani asli desa ini yang sarungnya jarang ganti dan berbadan agak bau itu. Aku tak tega melihat mereka menerima kegetiran ini. Aku yang bertahun-tahun menikmati kehidupan dunia tambang, tak pantas membiarkan para penduduk lokal menangis karena tambang itu menghilangkan lahan penghidupan mereka.
“Maaf Pak Anto, aku tidak akan pernah mengubah keputusanku,” ucapku penuh keyakinan.
Pejabat tambang itu menatapku. Ada amukan amarah di bola matanya.
“Baiklah, aku terima keputusanmu, Mas Ustaz. Tapi ingatlah, ada risiko dari setiap keputusan melawan perusahaan. Kau lupa bahwa perusahaan-lah yang selama ini menghidupimu?”
Lelaki tambun itu beringsut pergi setelah kembali menyimpan amplop ke dalam tas kecil berwarna hitam yang kini ditentengnya. Seberkas cahaya putih motor varionya hilang bersama deru motor yang ditelan suara serangga malam. Messku berada paling jauh di antara mess para pekerja tambang lainnya, dan lebih dekat dengan rumah penduduk lokal. Alasannya karena tanah ini dulu diizinkan oleh warga setempat untuk dijadikan mess penambang dengan syarat dibuatkan masjid di mana saat ini aku menjadi marbotnya.
Keesokan harinya apa yang kurencanakan bersama para pemuda benar-benar terlaksana. Para petani dan penduduk lokal berdatangan ke kantor perusahaan. Puluhan warga itu menuntut reklamasi jurang sisa pertambangan batu bara.
Jurang-jurang menganga itu tak akan bisa dimanfaatkan lagi oleh petani jika tidak dilakukan penutupan. Untuk sampai berani bergerak dan berteriak ini, aku harus menyelundup ke rumah-rumah warga agar pergerakanku tak diendus oleh perusahaan. Dan di detik-detik akhir masa kontrak penambangan ini ternyata ada yang mengetahui ulahku. Ini bukan perkara mudah, tapi aku harus siap menghadapi risikonya.
Walaupun aku menjadi penyulut demonstrasi ini tapi warga melarangku ikut serta. Mereka mengkhawatirkan nasibku sebagai orang kecil yang juga hidup dari perusahaan tambang. Sesuai usulanku, kegiatan ini akan diunggah ke media sosial agar viral dan suaranya didengar netizen se-Indonesia raya yang kekuasaannya melebihi wakil mereka di kursi dewan itu. Sialnya, sinyal internet terputus. Belum ada informasi demo ini yang terunggah ke media sosial. Sepertinya ada kong-kalikong antara perusahaan dengan pengelola jaringan internet. Duh, jadi suuzon.
Sorenya aku berkumpul di rumah salah satu pemuda yang aktif bersuara.
“Mereka menjanjikan akan mereklamasi, Pak,” ujar Cokro.
Asap mengepul bersamaan dengan bau tembakau yang menguar. Harum aroma kopi turut menghangatkan suasana.
“Beginilah kalau perusahaan zalim yang diberi kuasa,” tukas seseorang.
“Segar disayang, layu dibuang,” sahut yang lain.
“Harapan Pak Haerus untuk bisa kembali menanami lahannya tidak akan pernah terwujud. Ketiga anaknya terancam putus sekolah.”
“Jangan putus asa terlebih dahulu. Barangkali janji itu akan ditepati.”
Para pemuda yang dulu merupakan muridku mengaji di masjid itu saling sahut. Berbeda dengan mereka yang sedang diamuk emosi; aku mulai memikirkan nasibku sendiri. Kata-kata Pak Anto semalam menghantuiku. Tidak hanya memikirkan lahan pertanian yang kini menjadi jurang tandus dan menyeramkan, meletusnya demo hari ini membuat gajiku bulan ini kemungkinan besar tak terbayarkan. Sebuah keadilan memang selalu membutuhkan perjuangan, tak cukup hanya di angan-angan. Aku bergelut dengan pikiranku sendiri di tengah riuh suara para pemuda.
“Harusnya Pak Mus yang memimpin tambang, biar lingkungan dan nasib kita diperhatikan.”
“Yang penting kita sudah berusaha. Betul kan Pak Mus?” Seorang pemuda dengan tahi lalat di pipi itu memancingku berbicara.
“Usaha kita belum selesai. Nanti, begitu ada sinyal internet, kalian segera unggah kejadian hari ini. Atau besok pergilah ke kota untuk mencari sinyal. Jangan lupa buat narasi yang bagus. Sampaikan keluhan yang benar-benar terjadi, tentang nasib petani, tentang lingkungan yang rusak, janji-janji perusahaan, dan sertakan bukti-bukti yang ada,” aku ikut bersuara. Mereka pun menyetujui usulanku.
Cahaya bulan yang redup tampak dari celah pepohonan dan tampak di atas atap rumah warga. Aku berjalan sendirian menuju mess dengan langkah pelan. Tempat ini akan segera menjadi kenangan dalam perjalanan hidupku. Kutengok HP-ku dan sinyal internet masih belum juga kembali pulih. Rasa kantuk mendera tubuh yang terasa letih. Aku ingin segera mengempaskan tubuh ini ke atas ranjang.
Bayang-bayang hari yang sulit dan melelahkannya kehidupan di perantauan akan segera kuobati dengan perjumpaan dengan ibuku tercinta. Begitu sampai di rumah nanti akan kusegerakan pernikahanku. Besok aku akan berkemas dan lusa akan terbang menuju kampung halaman di Donomulyo, ujung selatan pulau Jawa sana.
Langkahku terhenti beberapa meter di depan pintu rumah. Pintu itu dipalang dan terkunci dengan gembok yang cukup besar. “Anda Dipecat” tulisan pemecatanku mengadang langkah. Benar apa yang kutakutkan. Tak akan ada pesangon. Mimpi-mimpiku untuk segera membangun rumah tangga meredup. Bahkan untuk sekadar tidur malam ini saja aku tak tahu bagaimana. Ada rasa cemas yang menggelora di dalam dada.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat ke arahku.
“Tidurlah di rumah kami Pak,” ucap Sadil dan Husni, adiknya. Aku berjalan menghampiri dan merangkul mereka.
Mentaraman, 27 Juli 2024.
*Satu dari Tiga Cerpen Pilihan Lomba Karya Tulis Ekologi Kaum Santri 2024.
Ilustrasi gambar: Syahrizal Pahlevi, Pameran Seni “Tarik Tambang”.