Jika Al-Qur’an Sudah Sempurna, Kenapa Butuh Qiyas?

213 kali dibaca

Qiyas atau analogi merupakan salah satu dalil yang bisa digunakan untuk mengambil hukum. Definisi qiyas adalah menganalogikan sebuah peristiwa yang belum ada teks hukumnya dengan peristiwa yang sudah ada teks hukumnya karena memiliki kesamaan dalam illat (ratio legis).

Sebagai contoh, misalkan hukum dimakruhkan-nya berjualan ketika azan salat Jumat sudah berkumandang karena bisa -atau minimal berpotensi- melalaikan kewajiban sallat Jumat.

Advertisements

Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shlat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. al-Jumu’ah 62:9)

Dengan demikian, disamakan juga dengan hukum jual beli ketika azan salat Jumat berkumandang akad sewa menyewa, akad gadai dan sejenisnya, karena akad-akad tersebut mempunyai ratio legis yang sama, yaitu berpotensi melalaikan salat Jumat.

Qiyas sebagai dalil syar’i sudah diterima oleh mayoritas ulama. Namun, ada beberapa ulama yang enggan menerima qiyas sebagai dalil, seperti Ibnu Hazm ad-Dzohiri.

Salah satu argumen Ibnu Hazm adalah bahwa Allah sudah menurunkan Al-Qur’an yang di dalamnya terdapat semua solusi problematika umat Islam. Bahkan, Allah sendiri sudah mengikrarkan bahwa Al-Qur’an sudah sempurna dan tidak ada satupun yang terlewat.

Allah berfirman:
مَّا فَرَّطْنَا فِى ٱلْكِتَٰبِ مِن شَىْءٍ ۚ
Artinya: “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam al-Kitab.” (Q.S. al-An’am 6:38)

Pertanyaannya, “Jika Al-Qur’an sudah sedemikian sempurna, kenapa masih butuh qiyas, bukankah itu justru melawan hukum Allah?”

Jawaban para ulama atas bantahan tersebut adalah memang mayoritas ulama juga mengakui Al-Qur’an sudah sudah sempurna. Akan tetapi, yang perlu ditanyakan adalah “kesempurnaan bagi siapa?”

Tentu kita sebagai manusia biasa, yang tidak diberi wahyu langsung dari Allah, akan kesulitan ketika memahami Al-Qur’an tanpa melihat hadis, qiyas, dan kaidah-kaidah umum lainnya.

Maka dari itu, al-Imam Ibnu Qoyyim mengatakan dalam kitabnya I’lamul Muwaqi’in, bahwa pemahaman terhadap teks Al-Qur’an dibagi menjadi dua.

Pertama,  Haqiqiyyah: Pemahaman yang sesuai dengan kehendak pihak pembicara (Mutakallim), dalam konteks ini adalah Allah azza wa jalla.

Kedua, Idlofiyyah: Pemahaman yang tergantung dengan pengetahuan manusia, kecerdasan, serta kebersihan hatinya.

Dalam kerangka pemahaman haqiqiyyah mungkin ayat-ayat Al-Qur’an sudah sempurna dan final, sehingga tidak membutuhkan selainnya. Sedangkan, dalam kerangka kedua, idhofiyyah, pemahaman terhadap Al-Qur’an tergantung seberapa cerdas dan seberapa banyak pengetahuan manusia.

Sehingga, dalam pemahaman idhofiyyah ini pengetahuan manusia berbeda-beda, sebab pemahaman dan kecerdasan manusia juga demikian. Maka dari itu, untuk mencapai kesempurnaan Al-Qur’an dirumuskanlah kerangka berpikir yang disebut dengan qiyas ini.

Dari tulisan di atas, kita bisa simpulkan bahwa Al-Qur’an memang sudah sempurna. Akan tetapi, manusia yang mempunyai kemampuan terbatas dalam memahaminya membutuhkan kerangka atau kaidah untuk menuju pemahaman Al-Qur’an yang sempurna, maka dari itu muncullah qiyas. Allahu a’lam bi showab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan