KONTAK orang Nusantara dengan bagian dunia Islam memang dapat dikatakan lebih tua ketimbang dengan dunia Barat. Pakaian-pakaian yang mengambil tajuk Islam-Arab banyak melewati jalur dagang orang-orang India dan Timur Tengah, jauh sebelum orang Barat datang ke Nusantara. Walau tak dapat disangkal pula, budaya yang dibawa oleh orang Barat juga memberikan pengaruh besar terhadap persepsi masyarakat Nusantara tentang apa itu berpakaian. Cara berpakaian Barat dilihat lebih modern dan menyiratkan kemajuan ketimbang pakaian pribumi ataupun pakaian Arab. Pakaian jubah putih atau turban ala Turki (pakaian Islami) lebih dilihat sebagai simbol semangat agama ketimbang tradisionalisme pribumi.
Hingga tahun 1980-an, tren jilbab tidak semerta-merta langsung terkonstruksi menjadi pakaian yang menutupi seluruh tubuh seorang perempuan kecuali wajah dan telapak tangan. Kebanyakan hanya memakai kerudung yang setidaknya masih menyisakan rambut dan leher. Pun untuk kalangan nyai (istri kiai) di era sekitar 1930-an hanya memakai kerudung longgar yang juga masih menampakkan leher dan rambut mereka. Faktanya, jilbab adalah khazanah berpakaian yang terbilang baru di negeri ini.
Bahkan kritik berpakaian seperti itu, yang salah satunya dilontarkan oleh A. Hassan dari Persis menuai penolakan dari kaum tradisional dan reformis. Terdapat penolakan terhadap aturan bagi guru perempuan untuk memakai kerudung di Muhammadiyah, dan para guru tersebut tetap mengajar tanpa mengenakan kerudung. Ditambah pula kala itu, dilansir dari satu catatan yang dikemukakan Van Dijk, perempuan di zaman yang sama menganggap Jawa bukanlah Arab, tidak perlu terlihat selayaknya orang Arab untuk menjadi Islam. Barulah sekitar dua dekade terakhir pemakaian jilbab dan pemaknaannya menjadi begitu luas.
Praktik Jilbab dari Masa ke Masa
Nusantara tidak memiliki konsep pemakaian jilbab seperti halnya negara-negara Timur Tengah lainnya. Tidak seperti Turki yang akhirnya dapat menutup kepala dan aurat mereka setelah mengalami sekularisasi termasuk pelarangan jilbab, di Indonesia pemakaian jilbab merupakan sesuatu yang baru dan bukan sebuah penemuan kembali cara berpakaian nenek moyang di negeri ini.
Jilbab baru menjadi ikonografi religiusitas Islam di awal tahun 1980-an. Munculnya gairah baru ini didorong oleh banyak faktor dari berbagai negara yang tentunya berbeda-beda. Namun, salah satu yang menghubungkannya adalah perasaan terasing dari sistem sekular dan modernisasi, serta rasa frustrasi atas dominasi ekonomi di dunia Barat. Kebangkitan Islam ini juga ditandai oleh krisis identitas umat Islam. Contoh yang dapat diambil adalah peningkatan jumlah pengikut Islam dibandingkan dengan umat Kristen pasca-G30S, ditambah gencarnya upaya rezim Orde Baru untuk mengukuhkan Pancasila menjadi semacam “agama sipil” nasional. Krisis identitas ini mengarahkan ke impian masa lalu yang indah dan kepada nilai-nilai tradisional.
Di zaman Orde Baru, dibangun stigma dari pemerintahan ke masyarakatnya akan pandangan jilbab sebagai sesuatu yang mencurigakan, serta kerap dikaitkan dengan gerakan ekstremis Islam. Sehingga mengundang represi pemakaian jilbab.
Pada tahun 1983, menteri pendidikan nasional mengeluarkan larangan pemakaian jilbab di sekolah-sekolah negeri. Siswa perempuan yang berkerudung dianggap “aneh”, dan menyalahi aturan seragam sekolah. Larangan pemakaian jilbab seperti itu tidak hanya terjadi di sekolah, namun juga di institusi-institusi resmi lainnya. Pegawai negeri sipil perempuan dilarang mengenakan tutup kepala rapat-rapat.
Di bawah Orde Baru, ekspresi keagamaan diawasi dengan sangat ketat. Negara melakukan represi terhadap garis Islam politik dan berupaya memberangus ideologi politik Islam. Hal tersebut ditandai dengan pemaksaan asas tunggal Pancasila, Islam tidak diperkenankan mejadi basis ideologi politik.
Dalam konteks seperti ini, pemakaian jilbab adalah sebuah simbol perlawanan. Sejak dipakai di Indonesia, jilbab menjadi lambang melawan pemerintah, dalam artian mengekspresikan pilihan individu, dan cara menunjukkan identitas sendiri. Jadi tak heran apa yang didapat dari era ini menunjukkan bahwa jilbab adalah bagian dari kontruksi bahkan emansipasi terhadap perempuan.
Popularitas jilbab baru mulai naik pada dekade 1990-an ketika pendulum politik Orde Baru mulai berayun ke arah kekuatan politik Islam. Jika sebelumnya jilbab mengandung makna kekolotan, kemunduran, bahkan radikalisme maka pada masa-masa ini jilbab punya makna baru sebagai bentuk kemordernan sekaligus kesalehan. Simbolisasi paling gamblang dalam hal ini adalah Tutut, anak perempuan Soeharto, mengenakan kerudung, mode yang kemudian sangat popular dan digemari kalangan istri dan anak pejabat Orde Baru kala itu.
Perubahan orientasi politik itu adalah cara Soeharto mencari dukungan baru dari meningkatnya komunitas Islam yang saleh. Ketika kelas menengah Islam muncul sebagai kekuatan ekonomi baru, sementara ada keretakan dukungan dari militer, Soeharto mulai menunjuk orang-orang dari kalangan “santri” untuk menjadi pembantunya. Soeharto juga mulai menampilkan citra publiknya sebagai seorang muslim yang saleh, ia berangkat haji ke Makkah, menggemakan takbir pada hari raya, dan Golkar mulai membangun masjid di mana-mana.
Di Indonesia pasca Soeharto, atau lazim disebut era reformasi itu, jilbab sudah diterima sebagai bagian dari ekspresi identitas perempuan muslim. Pada masa ini jilbab juga tidak bisa diperlakukan sebagai simbol politis yang melawan negara.
Lebih dari sepuluh daerah menerbitkan peraturan daerah maupun instruksi bupati berkenaan dengan apa yang disebut dengan busana muslimah. Ini terjadi misalnya di Bulukumba, Enrekang, Cianjur, Solok, Padang, Maros, Garut, Gowa, Talakar, dan Indramayu. Implementasi hukum Syariat Islam di Aceh pada tahun 2001 juga melapangkan jalan bagi penerapan kewajiban berjilbab bagi perempuan Aceh.
Kelas Menengah Islam dan Gaya Hidup Berjilbab
Lahirnya kelas menengah Muslim ini membuka ruang pasar yang baru. Kalangan ini adalah kelompok sosial yang siap mengonsumsi budaya pasar sekaligus menciptakan pola konsumsi yang baru, yakni konsumsi leisure time seperti pariwisata dan fesyen. Perdebatannya adalah bagaimana untuk tetap menjadi Islam yang saleh tanpa harus kehilangan kemordernan dan gaya hidup. Pariwisata yang dikehendaki adalah pariwisata yang berkenaan dengan Islam, dan seterusnya.
Tidak aneh jika di dunia sosial kontemporer ini dijejali dengan berbagai produk Islami, dari hotel Islami, rumah makan Islami, bank Islami, sinetron Islami, sastra Islami, sampai busana Islami seperti baju koko untuk muslim dan jilbab muslimah. Semua merupakan barang-barang konsumsi yang diproduksi demi tujuan komersialisasi. Pada saat yang sama, sebuah lapisan kelas menengah Islam telah siap mengonsumsi itu semua. Simbol-simbol keagamaan beredar sebagai barang konsumi, termasuk jilbab.
Popularitas jilbab semakin jelas terlihat dengan meningkatnya industri fesyen pakaian muslim serta munculnya jilbab di ruang-ruang hiburan pop. Para artis dan penyanyi terkenal mulai mengenakan jilbab. Majalah dan gerai-gerai pakaian muslim bermunculan bagai cendawan di musim hujan.
Jilbab juga sudah menjadi bagian dari tren budaya global. Jilbab tidak hanya popular di negeri berpenduduk mayoritas muslim, di Eropa dan Amerika, jilbab juga sudah mulai popular seiring dengan globalisasi. Larangan atas jilbab di Prancis, pagelaran jilbab di Paris, adalah contoh dari betapa jilbab bukan lagi bersifat lokal, tetapi juga menembus batas kultural.
Jika bagi sebagian besar perempuan muslim, jilbab adalah kewajiban agama; bagi para penjaja busana, jilbab adalah tambang emas. Sebuah kerajaan bisnis busana muslimah di Turki, menurut laporan abcnews November 2008, omset penjualannya di seluruh dunia mencapai 15 juta dollar AS.
Di Indonesia, hampir tak terhitung jumlah gerai busana muslim yang terhampar di kota-kota besar dan kecil. Tren busana ini juga ditopang dengan munculnya majalah-majalah fesyen muslimah yang menampilkan gadis-gadis model berjilbab. Suatu jilbab yang menawarkan sebuah gaya dan penampilan yang cantik namun tetap taat beragama. Tentu saja produksi jenis pakaian seperti ini menyasar kalangan kelas menengah perkotaan yang punya cukup uang untuk mengonsumsinya.
Demikianlah praktik mengenakan jilbab di negeri ini tak pernah memiliki makna tunggal. Setiap situasi melahirkan makna sosial baru pada jilbab. Demikian pula bagi para pemakainya. Studi Jesica Champagne yang dimuat di majalah Latitude volume 46, November 2004, menujukkan bahwa pemakai jilbab memaknai jilbab dengan cara yang sangat beragam, tergantung pada sejarah dan lingkungan yang mengitari mereka. Perubahan situasi sosial politik juga mengubah cara pandang orang terhadap pakaian, atau bahkan mengubah cara orang berpakaian.
Sejarah, kebijakan pemerintah, situasi ekonomi, dan pergeseran budaya memainkan peranan pada proses pemaknaan jilbab sebagai busana perempuan Islam. Melalui proses itu makna sosial jilbab pun berubah-ubah, dari secarik kain yang dianggap asing menjadi pakaian yang dianggap paling sahih, juga paling modis untuk mengekspresikan ke-Islam-an seorang perempuan.