Jaringan yang terlupakan. Begitu istilah yang Azyumardi Azra gunakan dalam kata pengantar bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Istilah yang ia pinjam dari Oman Fathurrahman dalam “Aceh, Banten, dan Mindanao,” untuk menggambarkan jaringan-jaringan ulama yang masih sering terabaikan dalam kajian ini.
Jaringan ulama lokal termasuk kajian yang sering kali terabaikan. Kita banyak memotret para ulama terkemuka yang punya jejak meng-global, dan agak abai melihat ulama-ulama yang kiprahnya sebatas di suatu daerah. Padahal para ulama itu tidak kecil jasa mereka dalam hal perkembangan Islam di daerahnya. Sehingga, jaringan yang terlupakan ini adalah sesuatu yang penting untuk kita kaji, jika ingin membaca lebih utuh sejarah Islam di Nusantara.
Tradisi Ulama di Nusantara
Bicara jaringan ulama lokal Nusantara, ini merupakan suatu kajian yang luas. Betapa tidak demikian, ada banyak tradisi keulamaan yang berkembang dalam berbagai masyarakat Muslim Nusantara.
Tradisi ulama Nusantara yang sudah sangat dikenal adalah tradisi kiai di Jawa. Saat ini, penggunaan istilah kiai bahkan tidak hanya di Jawa, namun hampir semua daerah di Nusantara menggunakan term ini. Tradisi kiai adalah satu dari sekian banyak tradisi ulama di Nusantara. Ada tradisi ulama berupa ajengan di Sunda, abuya di Aceh, buya di Minangkabau, annangguru di Mandar, tuan guru di Nusa Tenggara, jiou di Bolaang Mongondow, dan lainnya. Kekayaan tradisi ulama ini menandakan perkembangan Islam di Nusantara tidak kering dari aspek intelektualitas.
Dalam tulisan ini, saya akan banyak bicara terkait jaringan ulama lokal di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Yaitu, seputar jiou abad ke-20 M di pesisir selatan wilayah ini.
Jaringan Jiou
Di Bolaang Mongondow, sebagaimana temuan saya ketika menelusuri jejak ulama lokal abad ke-20 M di pesisir selatan, para jiou mengajarkan agama kepada murid mereka di sabuah. Dalam hal ini, kalau transmisi jaringan kiai di Jawa melalui pesantren, abuya di Aceh melalui dayah, dan kekhasan jaringan tradisi ulama di daerah lainnya, maka transmisi jaringan jiou (tidak semua) pada masa ini melalui sabuah.
Jiou mengajarkan agama di sabuah. Di sini terbentuk jaringan ulama antara jiou dan murid mereka. Di antara alumni sabuah, ada yang menjadi jiou melanjutkan jaringan ulama guru mereka. Beberapa jiou abad ke-20 M di pesisir selatan yang mengajarkan agama di sabuah, ada Imam Udeng Paputungan dan Imam Aju Abug di Desa Pinolosian, Imam Patorong Makalalag di Desa Onggunoi, dan Imam Duli Mamonto di Desa Mataindo.
Peran jiou sebagai pemimpin agama di desa, secara tidak langsung juga memunculkan hubungan ulama dalam jaringan. Para jiou pada dasarnya adalah ulama-ulama lokal yang terhubung melalui kesepahaman pengamalan tradisi Islam. Satu karakteristik jiou adalah mereka harus menguasai dan menjalankan tradisi Islam lokal Bolaang Mongondow. Hal ini tidak lepas dari peran mereka sebagai orang yang memimpin jalannya tradisi Islam setempat.
Beberapa jiou yang menjadi imam desa di pesisir selatan pada abad ke-20 M, selain para imam pemilik sabuah yang sudah saya sebutkan, ada Imam Husin Utiah (Imam Tua) di Desa Mataindo, Imam Atan Olii di Desa Pinolosian, Imam Saman Paputungan di Desa Motandoi, dan lainnya.
Para imam memiliki jaringan ulama lokal mereka masing-masing. Ada yang jaringan ulamanya saling terhubung antara imam dan jiou lain di desa setempat. Ada yang jaringan ulamanya terhubung hingga ke luar desa bahkan luar Bolaang Mongondow. Banyak hal yang membentuk jaringan ulama jiou itu, di antaranya adalah hubungan guru-murid dan kesepahaman pengamalan tradisi Islam.
Peran Jiou
Sebagai pemimpin agama di desa, para jiou abad ke-20 M memainkan peran penting dalam perkembangan Islam pada masanya. Dalam hal pendidikan Islam, mereka mengembangkan sistem pendidikan Islam tradisional di sabuah. Melalui sabuah, jiou mengajarkan agama kepada masyarakat setempat.
Namun karena berbagai pengaruh perubahan sosial-budaya masyarakat, sabuah sebagai madrasah pendidikan Islam tradisional setempat tidak berkembang. Sehingga, saat ini, kita sudah tidak lagi menemukan ada jiou abad 21 M yang mengajar di sabuah. Meski begitu tidak menghapus jejak sejarah bahwa, pada masanya, sabuah jiou abad 20 M mewarnai tradisi pendidikan Islam tradisional di Bolaang Mongondow.
Jiou juga memainkan peran penting dalam eksisnya berbagai tradisi Islam Bolaang Mongondow. Masih adanya tradisi seperti Monginbalu Konbulan (mandi bulan puasa), Mintahang (tahlilan versi Bolaang Mongondow), dan tradisi Islam lain yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat, itu tidak lepas dari peran jiou abad 20 M. Peran mereka sebagai pemimpin agama yang menjalankan dan menjaga wajah Islam lokal pada masanya, membuat tradisi-tradisi itu terus terwariskan hingga saat ini.
Keberadaan jiou abad ke-20 M ini menjadi bagian dalam sejarah Islam Nusantara. Jaringan dan peran keulamaan mereka mewarnai sejarah perkembangan Islam khususnya di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.