Seringkali kita kesulitan membuat judul tulisan. Seringkali hingga demikian lama kita tak pernah menemu judul yang pas dan bernas. Seringkali kita menemu buku-buku atau artikel yang bagus tapi dijuduli dengan judul yang buruk. Dan seringkali kita terbuai sesering kita tertipu oleh sebuah judul.
Hal-hal itu terjadi karena, pada derajat tertentu, sebagai dirinya sendiri sebuah judul adalah karya seni. Atau, dalam bahasa yang praktis, membuat judul diperlukan seni tersendiri. Atau, seperti tercermin dalam satu ungkapan: seni membuat judul.
Tentu, yang dimaksud judul sebagai sebuah karya seni terutama, tapi tidak sebatas itu, terjadi pada bidang penulisan kreatif seperti esai, puisi, cerita (bisa berupa cerpen, novel, naskah drama, dan lainnya). Juga penulisan jurnalistik. Judul-judul itu kemudian menjadi satu kesatuan dengan yang dijuduli dan saling mengikat dalam satu karya. Seringkali, jika keduanya dipisahkan, akan kehilangan relevansi dan makna atau mengalami perubahan arti.
Ada beberapa contoh proses pembuatan judul sehingga melahirkan sebuah judul yang bisa disebut sebagai karya seni atau setidaknya diperlukan sentuhan seni dalam prosesnya. Yang pertama dimulai dari bagaimana proses HB Jassin menentukan judul terhadap buku karya Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam. Oleh HB Jassin, buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Semula ada beberapa pilihan judul, antara “Spirit Islam”, “Jiwa Islam”, atau “Semangat Islam”. Namun, dari ketiga pilihan tersebut, belum ada yang membuat sang Paus Sastra Indonesia tersebut merasa puas. Saat dalam galau itulah HB Jassin terbayang “gelora bara api”. Akhirnya, buku karya Syed Ameer Ali tersebut terbit dalam bahasa Indonesia di bawah judul “Api Islam”.
Kemudian ada karya masyhur novelis kontroversial Salman Rushdie. Ada masa-masa bimbang bagi pengarang Ayat-ayat Setan itu untuk memberi judul novel barunya. Ia harus banyak berdiskusi dengan dirinya sendiri dan tim editornya. Akhirnya ada dua pilihan judul, Children of Midnight dan Midnight’s Children. Di tengah kebimbangan itu, seperti ada kekuatan yang menuntunnya, dan akhirnya novel tersebut terbit di bawah judul “Midnight’s Children” dan meraih sukses.
Yang paling menarik dan pernah menjadi perbincangan di dunia sastra adalah judul dan teks puisi Sitor Situmorang. Judulnya hanya sebaris frasa pendek, terdiri dari dua kata. Begitu juga dengan teks puisinya, yang terdiri dari tiga kata. Bahkan, keduanya bisa saja disebut, an sich, sebagai judul atau teks puisi sekaligus. Judulnya: Malam Lebaran. Teks puisinya: Bulan di atas kuburan. Bayangkanlah jika keduanya dipisahkan: ia akan kehilangan relevansi dan maknanya dan logika puitisnya.
Dalam pembuatan atau pemilihan sebuah judul memang telah tersedia, per teori, unsur dan kaidahnya. Misalnya harus ringkas, padat, menarik, eye cathing, tidak bertele-tele, tidak menjelas-jelaskan, dan sebagainya. Tapi sebuah judul sesungguhnya lebih dari sekadar persoalan-persoalan teknisnya. Yang sering alpa kita sadari bahwa judul adalah sebuah karya tersendiri, karya seni, yang dengannya bisa tersuguh imajinasi, misalnya. Karena itu, ketika membuat judul, kita harus memposisikannya sebagai karya (seni) tersendiri. Atau, kita menjalaninya sebagai bagian dari proses kreatif itu sendiri. Ia sama pentingnya dengan apa yang dijuduli.