Kartini Masih Menulis: Dari Surat hingga Suara Perempuan

34 views

Setiap tanggal 21 April, kita kembali merayakan sosok yang tak pernah selesai dibicarakan: Raden Ajeng Kartini. Di sekolah-sekolah, anak-anak perempuan mengenakan kebaya, menyematkan melati di rambut, dan membacakan puisi tentang emansipasi.

Di balik parade itu, pernahkah kita berhenti sejenak, menyimak kembali isi surat-surat Kartini, dan bertanya: apakah semua yang ia perjuangkan benar-benar sudah kita capai?

Advertisements

Kartini lahir di Jepara, 1879, dari keluarga bangsawan Jawa. Sebagai anak bupati, ia diberi kesempatan belajar di ELS, sekolah khusus anak Eropa dan priyayi.

Ketika usianya menginjak 12 tahun, ia harus berhenti sekolah karena dipingit—sebuah tradisi yang mengasingkan perempuan dari dunia luar atas nama kehormatan.

Dalam ruang sepi yang sempit, Kartini menyalakan cahaya. Ia menulis surat kepada sahabat-sahabatnya di Belanda, dengan bahasa yang jernih dan gagasan yang melampaui zamannya. Ia tidak sekadar mengeluh, ia merumuskan perlawanan: bahwa perempuan layak berpikir, layak belajar, dan layak memilih jalan hidupnya sendiri.

Dari surat-surat itu, lahirlah buku Door Duisternis tot Licht—Habis Gelap Terbitlah Terang. Judul yang indah, tapi juga menyimpan ironi. Sebab meskipun terang sudah datang, gelap belum sepenuhnya pergi.

Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah untuk anak perempuan usia 16–18 tahun masih berada di angka 65,49%. Artinya, satu dari tiga remaja perempuan Indonesia masih tidak menyelesaikan pendidikan menengah atas.

Di sisi lain, UNICEF melaporkan bahwa sekitar 11% anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, dan Indonesia menjadi negara dengan angka perkawinan anak tertinggi kedua di ASEAN.

Dalam dunia kerja, kesenjangan masih nyata: rata-rata upah perempuan 22% lebih rendah dibanding laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama. Di politik, keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia hanya sekitar 21%, jauh dari ambang ideal partisipasi demokratis yang inklusif.

Semua ini membuat kita bertanya: sudah sejauh apa kita berjalan dari langkah kecil Kartini dulu?

Kartini wafat dalam usia yang sangat muda—25 tahun, empat hari setelah melahirkan anak pertamanya.

Ia tak sempat menyaksikan buah dari benih yang ia tanam. Tapi sejarah membuktikan bahwa benih itu tumbuh: dalam perempuan yang memimpin ruang-ruang pendidikan, dalam suara-suara yang menuntut kesetaraan di jalanan, dalam undang-undang yang sedikit demi sedikit mencoba berpihak.

Kartini bukan sekadar tentang perempuan. Kartini adalah tentang siapa pun yang ingin hidup dengan hak yang setara: untuk berpikir, untuk memilih, untuk bermimpi. Emansipasi bukan hanya hak perempuan, tapi tanggung jawab bersama.

Kini, Kartini tak lagi menulis di atas kertas, melainkan dalam bentuk lain: dalam esai-esai aktivis muda, dalam orasi mahasiswa, dalam film, dalam puisi yang lahir dari luka dan harapan. Ia menulis melalui mereka yang tak pernah letih memperjuangkan keadilan.

21 April bukan hari untuk sekadar mengenang. Ia adalah hari untuk bertanya: apa yang masih harus kita lakukan agar terang itu benar-benar menyala, bukan hanya di kota, tapi juga di kampung-kampung; bukan hanya di layar televisi, tapi juga di ruang-ruang keluarga?

Selama pertanyaan itu masih relevan, maka Kartini belum selesai menulis. Dan tugas kita adalah melanjutkan kalimat-kalimatnya, dengan kerja nyata yang berakar pada keadilan. Selamat hari Kartini.

Purbalingga, 2025.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan