April selalu identik dengan Hari Kartini. Tidak di mana-mana, nuansa April dan semangat kemanusiaan selalu bertemakan perempuan dan perjuangan. Keperkasaan dan kegigihan perempuan dalam memberikan kontribusi sosial diabadikan dalam sosok perempuan yang bernama Raden Ajeng Kartini (RA Kartini).
Sampai saat ini kita masih menyaksikan secara berkala bangsa Indonesia merayakan tanggal 21 April sebagai hari emansipasi perempuan. Sebagian dari kita memiliki caranya masing-masing dalam merayakan Hari Nasional itu, seperti diskusi nasional, kenang kisah seremonial, hingga flayer ucapan selamat yang menyesaki media sosial.
Dari sekian pernak pernik perayaan, terdapat rajutan historikal dalam afiliasinya dengan Islam yang unik untuk diperbincangkan. Sosok Kartini dan keislaman adalah awal dari semangat emansipasi yang terus digaungkan sekarang. Dari surat-suratnya yang dikenal dengan Habis Gelap Terbitlah Terang adalah curahan panjang seorang Kartini dalam kekagumannya kepada Al-Quran.
Curahan yang sampai ke pengetahuan kita saat ini, baik melalui tulisan maupun wacana oral, menceritakan tentang spirit keislaman yang tumbuh dalam ekologi sosial yang terpuruk (konservatisme Islam Jepara waktu dulu). Ruang masa lalu pun diperlihatkan, bagaimana keinginan Kartini dalam mereguk kalam quraniyah dibenturkan dengan konstruksi lingkungan yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai kedaerahan. Dari sini, semangat emansipasi itu lahir.
Dalam banyak literatur disebutkan, Kartini (1879-1904) lahir dan tumbuh dalam keluarga ningrat yang kental dengan adat istiadat. Sang Ayah, RM Sosroningrat adalah seorang Bupati Jepara. Permasalahan Islam waktu itu adalah sifatnya yang otoritatif dan dipaksakan menjadi suatu kehendak bersama, seperti tafsir tunggal dan larangan penerjemahan Al-Quran, ruang keislaman yang sempit, hingga dialektika agama yang terbatas pada orang muslim saja.
Permasalahan yang ditemuinya itu mendorong Kartini banyak mencurah kegundahan kepada sahabat penanya, Stella Zeehandelaar (06 Nopember 1899) atau Ny Abendanon (15 Agustus 1902). Ada banyak curahan jika kita jabarkan, tapi curhan Kartini itu tidak terlepas curahan ‘keberislaman yang tertahan dalam kungkungan sosial’. Dalam Api Sejarah (2009), Prof Ahmad Mansyur Suryanegara mengatakan bahwa Kartini menilai Al-Quran sebagai gunung kekayaan yang terpendam.