Kasus-kasus yang Meruntuhkan Reputasi Pesantren

212 kali dibaca

Belakangan ini banyak diberitakan di siaran televisi atau juga beredar di banyak media sosial seperti Instagram, Twitter, TikTok, dan medsos lain perihal kasus pencabulan dan kekerasan yang dilakukan oleh oknum yang menjabat sebagai pengasuh pondok pesantren.

Saking ramainya, hampir setiap hari ada saja pembahasan yang membincangkan kasus ini. Dan itu semakin dikuatkan oleh kejadian yang tidak terjadi di satu tempat dan dilakukan oleh seorang saja, namun banyak oknum yang sama-sama menjabat gelar pengasuh, kiai, atau uastaz terjerumus dalam perilaku niradab ini.

Advertisements

Pesantren yang merupakan salah satu lembaga pendidikan agama yang ada di Indonesia telah mendapatkan kesan atau citra positif dari masyarakat sejak dulu. Pesantren yang diasuh oleh seorang kiai,  di dalamnya ditempati ratusan bahkan ribuan santr. Mereka sedang dalam proses menjadi ulama dan cendekiawan (paham agama dan tokoh masyarakat). Karena itulah pesantren memiliki citra yang bagus dan positif dalam persepsi masyarakat.

Para kiai dan pendakwah yang merupakan jebolan dari pesantren menjadikan pesantren memiliki reputasi cemerlang dalam mendidik dan menempa seseorang. Orang tua rela memondokkan anak pada usia dini dengan landasan bercermin pada para ulama yang dibesarkan di pesantren.

Namun, dengan pertimbangan kasus yang sedang viral, yang mencoreng reputasi pesantren, beberapa orang tua mulai gamang dalam memutuskan putra atau putrinya untuk melanjutkan pendidikan di dunia pesantren.

Lantas apa yang menjadi sebab banyaknya kasus tersebut?

Abuse of Power

Dalam hierarki pesantren, kiai merupakan pemimpin yang absolut. Semua kebijakan dan regulasi harus mendapat persetujuan dan restu dari kiai. Bukan tanpa alasan. Sebagai seseorang yang membangun peradaban pesantren atau mewarisi jiwa ayahandanya serta didukung oleh ilmu agama yang memcapai tingkat tinggi, kiai layak mendapat posisi dalam puncak hierarki pesantren.

Pesantren adalah miniatur dari dunia kemasyarakatan. Hal pertama yang akan menjadi standarisasi baik atau buruk, berhasil atau gagal, adalah pimpinannya. Kiai yang bijaksana mampu menciptakan culture yang baik, karena kiai adalah teladan bagi santri yang merupakan masyarakatnya.

Namun, kendati kepemimpinannya bersifat absolut, kiai yang bijak akan selalu mau mendengar dan menampung segala kritik dan saran dari para pengurus dan santrinya. Dengan begitu, terciptalah sebuah lingkungan pesantren yang baik dan kondusif, bukan seperti model kepemimpinan monarki absolut yang otoriter.

Yang menjadi titik permasalahan adalah beberapa (oknum) kiai tidak memiliki kapabilitas dalam menakhodai pesantren. Bahkan ada yang menyalahgunakan wewenang kepemimpinan yang ia miliki.

Sudah banyak beredar di sosial media tentang abuse of power yang dilakukan oleh oknum kiai, pengasuh, atau ustaz. Tindaknya macam-macam, seperti pelecehan seksual terhadap santri putrinya, menggelapkan dana pesantren, hingga yang terbaru menikahi santriwati tanpa persetujuan dari walinya.Tentu terdapat tanda tanya besar, mengapa seorang yang memiliki konotasi baik seperti kiai tega melakukan perbuatan niradab itu?

Kelemahan Korban

Abuse of power, misalnya, terjadi dalam kasus yang dilakukan salah satu oknum kiai yang berasal dari Nusa Tenggara Barat dengan inisial KH (3/6/2023). Kiai KH ini melakukan abuse of power dengan cara mengatasnamakan berkat dan kemanfaatan ilmu yang akan diperoleh jika menaati perintah guru. Korbannya diiming-imingi keberkatan agar mau melakukan apa yang diperintahkan oleh si KH.

Tentunya di sini terdapat “blunder” yang dilakukan korban dengan mengiyakan saja ajakan pelaku. Sejatinya santri harus mengerti bahwa memang menaati perintah guru dan kedua orangtua adalah hal yang baik sesuai tuntunan adab. Namun, terdapat batasan. Batasan itu selama perintah tidak melanggar syariat yang Islam. Dan dalam kasus ini, perintah KH sudah jauh dari syariat namun korban tetap mengiyakan.

Pada kasus pencabulan dan pemerkosaan terhadap santriwati pada 2021 yang dilakukan oleh HW dari Jawa Barat (10/12/2021), para korban dijanjikan kuliah gratis dengan syarat mematuhi hasrat bejatnya. Tidak jauh beda dengan kasus sebelumnya, di sini juga terdapat “blunder” dari korban yang terayu oleh janji kuliah gratis dari pelaku.

Dan pada kasus serupa yang dilakukan oleh oknum dengan inisial M dari Jawa timur (19/3/24), para korban diiming-imingi sejumlah uang setelah melakukan pencabulan itu.

Dari sekian banyak kasus yang terjadi, kasus tidak hanya bermula dari kejahatan pelaku karena abuseofpower, namun sering juga dibarengi dengan “kebodohan” atau ketidaktahuan atau kelemahan korban. Dengan posisinya yang lemah, korban mudah sekali untuk dibujuk rayu.

Social Proof

Dalam buku Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika, Profesor Fahruddin Faiz mengategorikan social proof sebagai salah satu bias dalam berpikir (bias cognitive). Ia juga mendefinisikan social proof sebagai pikiran yang membuat orang merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kebenaran jika orang lain juga melakukan itu. Gaya pikiran seperti ini bersifat absurd (tidak jelas) dan dapat menimbulkan histeria massa dan chaos.

Teori social proof ini sangat sering terjadi dalam dunia pesantren yang menjadi tempat berkumpulnya banyak orang.Teori ini juga menjadi salah satu penyebab maraknya pelecehan yang dilakukan oknum kiai terhadap santrinya. Dengan artian, saking banyaknya peristiwa memilukan ini, para oknum seolah mendapat referensi atas perbuatan buruknya dari perbuatan sama yang dilakukan orang lain. Konsekuensinya pelaku tidak takut atau segan melakukan perbuatan keji karena sudah ada pendahulu atau contohnya.

Senada dengan hal tersebut, Dr Abdul Ghofur di acara pelantikan pengurus Ormawa STAI Al-Anwar Sarang pada 8 Juli 2024 menyampaikan bahwa terkadang seseorang tidak bisa melakukan kemaksiatan atau perbuatan keji karena tidak mendapatkan contoh. Begitu pula sebaliknya, sehingga culture atau lingkungan menciptakan dirimu.

Citra Pesantren

Di dunia yang sudah mengalami modernisasi dan internetisasi ini, semua orang tidak akan menemui kesulitan dalam mencari sebuah kabar atau informasi. Sebab, media sosial telah mengabarkan itu semua.

Berita tentang tindakan kriminal yang dilakukan pagi hari di ujung barat, sebelum siang hari ujung timur sudah bisa mendengarnya. Apapun bisa dengan mudah diakses, dan apapun bisa dengan mudah dijangkau berkat teknologi yang mutakhir. Dalam hal ini, bukan hanya hal positif yang dapat dengan mudah menyebar dan beredar. Hal negatif pun setali tiga uang.

Konsekuensi logis dari berita atau kabar tentang pelecehan seksual atau kriminal lainnya yang dilakukan oleh oknum kiai di pesantren adalah kasus yang akan dengan mudah ditangkap oleh ruang publik. Karena itu, setiap individu yang mengkonsumsinya bisa membuat interpretasi atas kejadian dan memiliki perspektif dalam menyikapinya.

Dan pada akhirnya yang terjadi adalah jatuhnya martabat seorang kiai dan turunnya reputasi pesantren yang diasuhnya. Hal ini akan berujung pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pesantren secara umum.

Diakui atau tidak, kasus-kasus tersebut memang terjadi dalam dunia pesantren. Namun, pesantren tetap menjadi solusi remaja akhir zaman yang sangat mengkhawatirkan. Selain itu, kita tidak bisa memukul rata pesantren, dengan artian satu pesantren melakukan kasus itu bukan berarti pesantren lainnya juga demikian atau istilahnya framing. Hanya oknumlah yang tega mencederai reputasi baik pesantren.

Dan sebagai statemen penutup, kita sebagai seorang santri memiliki kewajiban untuk senantiasa membawa kesantriannya di mana pun dan kapan pun, dan selalu memiliki pemikiran yang kuat nan tidak mudah goyah serta berusaha untuk memulihkan stigma buruk pesantren di mata publik.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan