Buku ini merupakan hasil kurasi yang dilakukan oleh panitia Jambore Sastra Asia Tenggara Banyuwangi 2024. Beberapa naskah yang dikirimkan oleh penyair kemudian dinilai oleh kurator (Wayan Jengki Sunarta, Mutia Sukma, Mahwi Air Tawar) yang memiliki kapasitas di bidang sastra. Dari hasil kurasi tersebut kemudian lahirlah buku antologi bersama dengan judul Ijen Purba: Tanah, Air, dan Batu.
Antologi puisi dalam buku ini berkelindan dalam intuisi kawah Ijen. Kawah Ijen bukan sekadar salah satu destinasi wisata yang ada di kabupaten ujung timur di Jawa Timur ini. Lebih dari itu, kawah yang juga akrab dengan produksi belerang ini melahirkan sisi-sisi sosial yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Orang-orang yang berlalu lalang, baik dari domestik maupun manca negara, saling mengakrabi suasana kawah lahir dan batin. Bersinergi dengan masyarakat sekitar Ijen untuk saling memberikan kemanfaatan.
Jadi tidak heran jika panitia JSAT (Jambore Sastra Asia Tenggara) megangkat tema Ijen dalam beberapa kali perkemahan akbar terkait dengan kesastraan. Batu, air, dan tanah merupakan diksi puisi yang dijadikan tema sentral dalam membangun nuansa sajak-sajak Ijen.
Bukan Sekadar Ijen
Dalam pengantarnya di buku ini, Taufik Rohman, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, menjelaskan, “Lebih dari sekadar kumpulan puisi, buku ini adalah sebuah undangan bagi Anda untuk mengenal Ijen lebih dalam. Di antara kata-kata, Anda akan menemukan gambaran tentang gunung dan kawahnya, aroma belerang yang menyengat, serta semagat para penambang yang terus berjuang di tangguhan alam.”
Kawah Ijen sebagai destinasi wisata merupakan suatu keniscayaan. Realitas yang tidak dapat diabaikan. Karena di ceruk Ijen terdapat banyak hal yang dapat diungkapkan melalui puisi. Bagi penyair yang akrab dengan diksi sajak dan puisi akan menjadi ilham untuk melahirkan bait-bait sajak dengan syarat makna.
Namun, Ijen bukan sekadar wisata. Lebih dari itu, aktivitas sosial, nilai-nilai peradaban, pertumbuhan ekonomi, juga menjadi bagian penting dari pemilik api biru ini. Karena, dengan adanya Kawah Ijen tidak sedikit masyarakat sekitar yang mencari kehidupan darinya.
Pada Kemah Sastra sebelumnya, penulis menjadi peserta yang hadir di tengah-tengah kegiatan. Dari sana, penulis bisa melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana geliat masyarakat sekitar dalam mengambil kesempatan untuk menjalani hidup dan kehidupan. Dari mendirikan kios-kios jualan hingga menjadi ojek dorong untuk mengangkut orang-orang yang tidak mampu mencapai puncak.
Lebih dari itu, pemandu wisata berseleweran dan akrab dalam pandangan. Sungguh Ijen telah berkontribusi dalam membangun nilai-nilai hidup yang bermanfaat. Melahirkan aktivitas kehidupan, bukan hanya bagi para wisatawan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat di sekitarnya. Bahkan juga para pendatang dari luar daerah untuk berjuang hidup demi keluarga tercinta.
Kawah Berapi Biru
Kawah Ijen lekat dengan sebutan pemilik api biru. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa api biru ini menjadi satu-satunya di dunia. Entahlah! Setidaknya, menjadi fokus materi wisata di Jawa Timur, khususnya di Kabupatan Banyuwangi. Api biru merupakan kekhasan Ijen yang menjadi roh dalam tujuan wisata. Tentu saja, di samping belerang dan kepul asap yang tidak berkesudahan.
Datang ke Kawah Ijen, berarti bersiap untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Geliat aktivitas sosial di sekitar kawah termasuk lerengnya, menjadi pemandangan keseharian. Dalam 24 jam keseharian masyarakat Kawah Ijen terus berdenyut. Hidup dalam suasana nilai-nilai sosial yang harus tetap dijaga. Keberadaan Kawah Ijen menjadi faktor utama untuk membangun interaksi yang indah. Membangun kehidupan yang damai; kekeluargaan; keakraban.
Jadi, kawah berapi biru menjelma menjadi wadah kehidupan. Membangun keakraban dan mutualisme personal. Tidak menjadikan jarak yang saling menjauh, tetapi terus saling mendekat, mendakap harmonisasi kehidupan. Harapan yang tidak terlalu muluk, karena sampai saat ini Kawah Ijen ini tetap menjadi distinasi wisata yang digandrungi para wisatawan.
Ijen dalam Puisi
Dalam sebuah kesempatan, D Zawawi Imron, salah satu pemateri dalam JSAT, selain Riri Satria dan Sofyan RH Zaid, mengatakan, “Puisi bukan segala-galanya. Puisi hanya salah satu jendela untuk melihat kehidupan dan mengakrabi semangat hidup.” Artinya, salah satu sarana untuk membagun peradaban, puisi mampu menjadi media yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Para penyair mampu melahirkan sajak-sajak (puisi) yang dapat mengguncang dunia.
Ada banyak tema yang dijadikan “roh” dalam buku antologi puisi ini. Dalam makalahnya, Sofyan RH Zaid, menjelaskan dengan cukup terperinci. Setidaknya ada 14 tema yang diusung dalam antologi ini. Di antaranya fenomina ekologis, fenomina geologis, bencana dan tragedi, aktivitas sosial dan ekonomi, budaya dan spiritualitas, dan lain sebagainya. Tema-tema ini menjadi isi (roh) dari puisi-puisi yang menghiasi buku dengan jumlah 400 halaman ini.
Ada cinta, rindu, realitas sosial, dan aktifitas masyarakat yang tidak lepas dari intuisi puisi. Tema-tema sentral yang selalu hidup dalam diksi sajak-sajak Ijen. Api biru, belerang, dan dekap sejuk suasana Ijen juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
Beberapa penggalan puisi yang saya “comot” begitu saja, di antaranya ditulis oleh Muhammad Lutfi. Dalam judul “Wajah Ijen”, penyair ini mendeskripsikan keindahan Ijen:
Matahari terbit dari wajahmu
Tambah percik merah dari kepala kasihku
Rinduku yang tergerai bagai bertabur jamrud
Terkubur kekasihku padamu
Malam dini hari lewat gelap malam
……..
Sementara, Nani Asiyany MS, dalam pusinya “Batu dan Para Nestapa” memonitor orang-orang yang berjuang untuk hidup:
…….
Batu belerang,
Engkau sahabat para nestapa
Ketika tubuh lunglai tak berhasrat
Tiada sesuap untuk dicerna
……
Penyair lainnya, Wahyu Rizki Kirnaini, “Kemuning Berpijar Biru”, menggambarkan geliat kawah dengan pijar biru:
Di kejauhan terlihat asap mengepul
Banyak orang bercerita di sana adalah Ijen
Gunung berkawah keindahan tiada tanding
…….
Dan masih banyak lagi puisi-puisi di buku yang diterbitkan oleh Taresia (Gerbang Literasi Nusantara) ini. Bekerja sama dengan Dewan Kesenian Blambangan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Semoga catatan kecil ini menjadi inspirasi bagi pembaca, sekaligus semakin berhasrat untuk tertarik membaca buku ini lebih mendalam.
Resensi ini tidak mewakili secara keseluruhan isi buku. Hanya menyuguhkan sekilas gambaran bahwa di buku ini terdapat Kawah Ijen yang menjadi tema pokok bangunan puisi. Sementara, buku antologi ini tetaplah menjadi bacaan utuh bila dinikmati dengan membaca secara keseluruhan. Merenungkan, tadabbur sajak, serta menterjemahkan dalam nilai-nilai hidup kesastraan. Wallahu A’lam!
***
Indentitas Buku:
Judul: Ijen Purba: Tanah, Air, dan Batu
Penulis: Abd. Sarno Arbara, Abdillah Danny, Abdul Halim, dkk
Editor: Nurul Ludfia
Kurator: Wayan Jengki Sunarta, Mutia Sukma, Mahwi Air Tawar
Profreader: Muttafaqur Rohmah
Supervisor Penerbitan: Samsudin Adlawi, M. Iqbal Baraas, Hasan Basri
Tim Penyusun: Azzahratulkhalifah Hasni, Indana Iftitania Salsabila
Penerbit: Taresia (Gerbang Literasi Nusantara)
Cetakan Pertama: Oktober 2024
Jumlah Halaman: 400 h (14 x 21 cm)