Beberapa hari yang lalu, sejumlah media memberitakan tentang seorang guru yang setiap berangkat mengajar harus melalui berbagai medan yang sulit. Seorang guru hononer tersebut bernama Andi Santoso. Ia mengajar di Sekolah Dasar Negeri Jipurapah 2, Kedung Dendeng, Kecamatan Plandaan, Jombang, Jawa Timur. Sementara, dirinya tinggal di Lamongan, Jawa Timur yang berjarak 13 KM atau sekira 90 menit dari lokasi mengajarnya.
Andik harus menyeberangi tiga sungai tanpa jembatan terlebih dahulu untuk sampai di SDN Jipurapah. Tak hanya itu, dirinya harus dapat melewati jalanan berlumpur yang dapat menjebak ban motornya. Meski dengan perjuangan sulit yang melelahkan, ia ikhlas mengajar di SDN Jipurapah. Selama 17 tahun mengajar, Andik telah bergonta-ganti motor sebanyak sembilan kali akibat mengalami kerusakan.

Dalam paradigma Islam, ilmu pengetahuan kedudukannya sangat dimuliakan. Hal itu dinyatakan dalam sebuah hadis yang menyatakan bahwa setiap muslim wajib menuntut ilmu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasalam,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya: “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no. 224).
Semua ilmu yang bermanfaat wajib untuk dipelajari. Hal tersebut juga dijelaskan dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Gazali. Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Gazali secara khusus mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi tiga.
Yang pertama ilmu pengetahuan menurut tingkat kewajibannya. Berdasarkan kewajibannya ada dua kategori, yaitu kategori fardlu ain dan fardlu kifayah. Yang termasuk fardlu ain segala macam ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk bertauhid (pengabdian, peribadatan kepada Allah secara benar, untuk mengetahui Zat serta sifat-sifat-Nya).
Adapun, yang termasuk fardu kifayah menurutnya adalah setiap ilmu pengetahuan yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan kesejahteraan dunia. Al-Gazali menyebutkan ilmu-ilmu yang termasuk fardu kifayah adalah ilmu kedokteran, berhitung, ilmu bekam, politik, dan lain sebagainya.
Yang kedua klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan sumbernya. Dalam klasifikasi ini, Al-Gazali membagi ilmu pengetahuan kepada dua sumber, yaitu yang bersumber dari syariah dan yang bukan syariah (ghairu syariah).
Menurut Al-Gazali, yang bersumber dari syariah adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari para Nabi, bukan dari penggunaan ilmu akal seperti berhitung atau dari eksperimen seperti ilmu kedokteran atau dari pendengaran seperti ilmu bahasa.
Kemudian, dari ilmu pengetahuan bersumber syariah ini dikelompokkan lagi menjadi empat bagian yaitu, (1) Ushul yang terdiri dari Alquran, as-Sunnah, Ijma, dan Asar sahabat; (2) Furu yang terdiri dari ilmu fikih, ilmu akhlak, atau etika Islam; (3) Muqaddimah, yakni ilmu yang merupakan alat seperti ilmu bahasa dan nahu; dan (4) Mutammimah (penyempurnaan), yakni ilmu Al-Quran dan hadis dan ilmu asar sahabat dan lainnya.
Sementara itu, ilmu pengetahuan ghairu syariah atau yang juga disebut aqliyah adalah ilmu yang bersumber dari akal pikiran, eksperimen, dan akulturasi. Jadi, ilmu pengetahuan ghairu syariah adalah sesuatu yang dapat diganti (dicari) dan tercapai oleh persepsi. Dan, ilmu pengetahuan ini ada yang terpuji dan ada yang tercela serta mubah.
Yang ketiga adalah klasifikasi ilmu pengetahuan menurut fungsinya sosialnya. Berdasarkan fungsi sosialnya, Al-Gazali membaginya kepada dua macam, yaitu (1) ilmu pengetahuan yang terpuji, yakni pengetahuan yang bermanfaat dan tidak dapat dikesampingkan. Contohnya ilmu kedokteran dan berhitung; dan (2) ilmu pengetahuan yang terkutuk, yaitu pengetahuan yang merugikan dan merusak manusia. Contohnya ilmu magis (sihir), azimat-azimat(tsulasamat), ilmu tenung (syaabizah), dan astrologi (talbisat).
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan, dalam ajaran Islam, muslim diwajibkan menguasai ilmu syariat agar amal ibadah seorang muslim diterima oleh Allah. Begitu juga untuk bekal hidup di dunia, seorang muslim juga harus menguasai ilmu ekonomi, matematika, teknologi, dan ilmu pengetahuan lainnya.
Seorang muslim tidak hanya diwajibkan mencari ilmu, tetapi juga mengajarkan ilmu. Hal tersebut dijelaskan dalam hadis Rasulullah sebagai berikut,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ رَجُلٍ يَحْفَظُ عِلْمًا فَيَكْتُمُهُ إِلَّا أُتِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلْجَمًا بِلِجَامٍ مِنْ النَّارِ
Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasalam bersabda: “Tidak ada seseorang yang hafal suatu ilmu, namun dia menyembunyikannya, kecuali dia akan didatangkan pada hari kiamat dengan keadaan dikekang dengan tali kekang dari neraka.” (HR. Ibnu Majah, no. 261).
Dengan demikian, menjadi seorang pengajar hakikatnya melanjutkan tugas Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasalam untuk mengajari orang yang tidak tahu, memperbaiki akhlak, memotivasi, dan sebagainya.
Orang berilmu yang dengan ikhlas mengajarkan ilmunya dapat dianalogikan dengan orang yang memiliki banyak lampu di kegelapan malam. Walaupun gelap, ia mampu menuju ke tempat tujuan tanpa mengalami kesulitan. Dengan lampu yang dimiliki, ia pun bisa menerangi orang lain yang tersesat karena gelapnya malam. Karena itu, wajar bila semua makhluk di langit dan di bumi memintakan ampunan.
Keutamaan para pengajar dan yang belajar dinyatakan dalam hadis Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasalam berikut ini,
مَن دخَل مسجِدَنا هذا لِيتعلَّمَ خيرًا أو يُعلِّمَه كان كالمُجاهِدِ في سبيلِ اللهِ ومَن دخَله لغيرِ ذلكَ كان كالنَّاظرِ إلى ما ليس له
Artinya: “Barangsiapa yang memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi) untuk mempelajari kebaikan atau untuk mengajarinya, maka ia seperti mujahid fi sabilillah. Dan barangsiapa yang memasukinya bukan dengan tujuan tersebut, maka ia seperti orang yang sedang melihat sesuatu yang bukan miliknya.” (HR. Ibnu Hibban no. 87, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Mawarid, 69).
Berkaitan dengan masalah upah atau imbalan, Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa seorang guru harus mengikuti jejak Rasulullah. Ia tidak mencari upah, balasan, dan juga ucapan terima kasih dengan mengajar itu. Tetapi, seorang guru mengajar karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Seorang guru diperbolehkan untuk memandang bahwa dirinya telah berbuat suatu perbuatan yang baik, dengan menanamkan ilmu pengetahuan dan mendidik jiwa para muridnya. Hal ini bertujuan agar hatinya senantiasa dekat dengan Allah.
Al-Ghazali mengatakan betapa kotornya orang berilmu yang rela menukarkan harga dirinya dengan kedudukan duniawi. Sementara ia berbohong dan menipu diri sendiri dengan tidak malu mengatakan: “Maksudku dengan mengajar ialah menyiarkan ilmu pengetahuan, untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menolong agama-Nya.” Al-Ghazali juga menyatakan, bahwa: “Orang yang mencari harta dengan ilmu, sama dengan orang yang menyapu bawah sepatunya dengan mukanya supaya bersih.”
Demi kemanfaatan ilmu yang diperoleh murid dan amal ibadah seorang guru. Seorang guru sangat perlu untuk mengikhlaskan niatnya semata-mata karena Allah. Rasulullah juga mengatakan bahwa keberhasilan seseorang tergantung pada niatnya, seorang guru akan berhasil dalam mengajar dan mendidik muridnya apabila dilandasi dengan niat yang ikhlas. Maka dari itu, seorang guru harus senantiasa berniat ikhlas mendapatkan rida Allah, mengajarkan ilmu, menghilangkan kebatilan, menghidupkan agama, serta demi kemaslahatan umat manusia.