Egoisme adalah hal yang paling lumrah ketika kita membahasa ihwal agama. Namun, bukan berarti egoisme tersebut dapat dibenarkan dengan nalar yang sehat. Sama sekali tidak ada hal yang bisa dijadikan pembenaran ketika egoisme mulai merasuki kepala para pemeluk agama. Hal itu mungkin dipengaruhi karena agama memang menyentuh titik terdalam diri pemeluknya. Sebagaimana yang disampaikan oleh teolog Lutheren Paul Tillich —saya mengutip ini langsung dari tulisan Ulil Abshar Abdalla— yang menyebut agama sebagai ‘the ultimate concern’. Hal demikian yang terlalu dalam memengaruhi emosi manusia.
Juga merupakan hal yang lumrah ketika gesekan-gesekan terjadi, baik sesama muslim maupun lintas iman. Lagi-lagi di sini tidak hendak membenarkan bahwa hal itu adalah benar, sama sekali tidak. Namun, bagaimana sejatinya hal tersebut dapat diminimalisasi dan memahami ihwal kerentanan. Tidak lain agar agama dengan label rahmat bagi seluruh alam tidak hanya slogan belaka. Semua butuh hal konkret dari itu, butuh implementasi yang nyata. Persoalan banyak paham yang berseliweran, itu tidaklah menjadi pembahasan di sini. Dengan catatan, kita tetap menjalin hubungan yang baik dengan lapisan pemahaman tadi.
Pemaksaan atas nama agama, kekerasan atas nama agama, sudah bukan barang asing lagi. Kiranya tidak perlu diperpanjang ketika membahas masalah kekerasan dengan topeng agama. Beberapa tahun belakangan, fokus negara kita memang sedang mengurusi hal-hal semacam itu. Tentu sedikit menggembirakan, setidaknya sebagai sebuah usaha untuk tidak memecah belah antargolongan dan aliran kepercayaan. Meski, sejauh ini masih sangat naif untuk dikatakan berhasil, masih jauh. Tentu, kerja-kerjanya juga makin banyak dan melelahkan.
Di sini yang hendak menjadi fokus adalah soal teks ayat suci yang sering digunakan alat legitimasi. Secara leksikal memang akan sangat mungkin untuk menjadi bahan legitimasi bagi kekerasan dan sikap tidak patut kepada agama lain. Namun benarkah pengguanaan teks ayat suci semacam itu dapat dibenarkan? Jelas tidak, tidak mungkin. Beberapa pemerhati kekerasan atas nama agama kemungkinan besar akan bilang bahwa itu jelas-jelas bertentangan dengan konsep agama rahmat. Saya tidak hendak menguatkan argumen-argumen yang demikian. Saya akan menggunakan pisau analisis dari kacamata maslahat Najmuddin at-Thufi.