Kekerasan Beragama dalam Tilikan Maslahat at-Thufi

24 views

Egoisme adalah hal yang paling lumrah ketika kita membahasa ihwal agama. Namun, bukan berarti egoisme tersebut dapat dibenarkan dengan nalar yang sehat. Sama sekali tidak ada hal yang bisa dijadikan pembenaran ketika egoisme mulai merasuki kepala para pemeluk agama. Hal itu mungkin dipengaruhi karena agama memang menyentuh titik terdalam diri pemeluknya. Sebagaimana yang disampaikan oleh teolog Lutheren Paul Tillich —saya mengutip ini langsung dari tulisan Ulil Abshar Abdalla— yang menyebut agama sebagai ‘the ultimate concern’. Hal demikian yang terlalu dalam memengaruhi emosi manusia.

Juga merupakan hal yang lumrah ketika gesekan-gesekan terjadi, baik sesama muslim maupun lintas iman. Lagi-lagi di sini tidak hendak membenarkan bahwa hal itu adalah benar, sama sekali tidak. Namun, bagaimana sejatinya hal tersebut dapat diminimalisasi dan memahami ihwal kerentanan. Tidak lain agar agama dengan label rahmat bagi seluruh alam tidak hanya slogan belaka. Semua butuh hal konkret dari itu, butuh implementasi yang nyata. Persoalan banyak paham yang berseliweran, itu tidaklah menjadi pembahasan di sini. Dengan catatan, kita tetap menjalin hubungan yang baik dengan lapisan pemahaman tadi.

Advertisements

Pemaksaan atas nama agama, kekerasan atas nama agama, sudah bukan barang asing lagi. Kiranya tidak perlu diperpanjang ketika membahas masalah kekerasan dengan topeng agama. Beberapa tahun belakangan, fokus negara kita memang sedang mengurusi hal-hal semacam itu. Tentu sedikit menggembirakan, setidaknya sebagai sebuah usaha untuk tidak memecah belah antargolongan dan aliran kepercayaan. Meski, sejauh ini masih sangat naif untuk dikatakan berhasil, masih jauh. Tentu, kerja-kerjanya juga makin banyak dan melelahkan.

Di sini yang hendak menjadi fokus adalah soal teks ayat suci yang sering digunakan alat legitimasi. Secara leksikal memang akan sangat mungkin untuk menjadi bahan legitimasi bagi kekerasan dan sikap tidak patut kepada agama lain. Namun benarkah pengguanaan teks ayat suci semacam itu dapat dibenarkan? Jelas tidak, tidak mungkin. Beberapa pemerhati kekerasan atas nama agama kemungkinan besar akan bilang bahwa itu jelas-jelas bertentangan dengan konsep agama rahmat. Saya tidak hendak menguatkan argumen-argumen yang demikian. Saya akan menggunakan pisau analisis dari kacamata maslahat Najmuddin at-Thufi.

Najmuddin at-Thufi adalah salah seorang ulama yang dianggap liberal karena gagasannya perihal maslahat. Ia mendudukan maslahat di atas teks (al-Quran dan sunnah). Namun, catatan penting poin ini, ia meletakkan maslahat di atas teks dalam ranah muamalah, bukan ibadah. Karena, dalam kacamata at-Thufi, hal ibadah semua adalah hak prerogatif Tuhan. Di titik inilah ia sering disalahpahami —namun kita tidak akan panjang lebar memabahas ihwal kesalahpahaman. Yang pasti, ia memberikan ruang yang sangat lebar bagi akal untuk menentukan kemaslahatan.

Selanjutnya, mari kita uji sama-sama apakah relevan penggunaan kacamata maslahat at-Thufi untuk menangani kekerasan atas nama agama. Pertama, kita asumsikan saja, ada teks yang memang menganjurkan untuk berbuat keras kepada nonmuslim. Namun, meski ada teks dengan sangat nyata telah memerintahkan berbuat keras kepada orang yang tidak seiman, itu tidaklah bisa dipertahankan. Sebab, maslahat gagasan at-Thufi di sini kedudukannya jelas di atas teks. Dengan kata lain —secara kasar dan vulgar— teks dibuang dulu dan dinafikan. Apalagi, hal ini dalam ranah interaksi sosial antarumat beragama (baca:muamalah). Hal itu jika ada teks yang memang jelas memerintahkan berbuat keras, kalau tidak urusannya lebih gampang lagi.

Kalau tidak ada teks yang secara eksplisit memerintahkan, maka atas landasan apa kekerasan agama? Artinya, ketika ada teks tidak ramah terhadap kemaslahatan maka ia —dalam kacamata at-Thufi— dikesampingkan terlebih dahulu. Perspektif semacam ini sangat rawan untuk ditentang, karena seolah-olah meniscayakan kekalahan teks atas akal (maslahat). Apalagi bagi orang-orang yang sama sekali tidak memberikan akal porsi yang layak untuk bermain dengan teks.

Namun yang jelas maslahat gagasan at-Thufi sangatlah membantu dalam bertahan dari serangan kelompok yang menggunakan kekerasan atas nama agama. Kalau tidak demikian kita akan dihantam oleh teks-teks yang biasanya digunakan untuk legitimasi kekerasan itu sendiri. Menjadi sangat penting mendudukkan kemaslahatan di sini, memberikan akal porsi yang lebih untuk menentukan entitas bernama maslahat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan