Dalam sejarahnya, pesantren adalah lembaga pendidikan agama yang mandiri, karena keberadaan pessantren, mulai berdiri sampai pengelolaannya, ditopang oleh masyarakat dan kiai yang merintis dan mendirikan pesantren, bukan tergantung pada pemerintah atau lembaga donor.
Kemandirian ini dicerminkan dalam proses pengelolaan dan penentuan sistem dan materi pendidikan. Kiai, sebagai figur sentral dalam pesantren, memiliki otoritas penuh untuk mementukan sistem pengelolaan dan pendidikan yang ada di pesantren (Jamakhsari Dhofir, 1982). Ini artinya kemandirian merupakan habitus (karakter dasar) dari pesantren. Dengan demikian, secara historis dan sosiologis, tidak ada masalah dengan kemandirian pesantren. Bisa ditakan budaya santri dan pesantren adalah budaya mandiri.
Selain tercermin dalam praktik kehidupan, kemandirian pesantren ini juga dapat terlihat pada nilai-nilai yang ada di pesantren yang menjadi dasar terbentuknya budaya pesantren. Nilai-nilai tersebut di antaranya sabar, ikhlas, tawakal, sederhana, dan peduli/tenggang rasa (Bachtiar Effendy dalam Dawam Rajhardjo, 1985). Nilai-nilai inilah yang membentuk pribadi santri memiliki pengendalian diri dan sikap mental yang kuat yang menjadi fondasi kemandirian pesantren.
Habitus kemandirian pesantren ini terebentuk karena sejarah berdirinya pesantren yang sejak awal memang diorientasikan sebagai lembaga mandiri. Jejak ini bisa dilihat pada pesantren Ampeldento yang didirikan oleh Sunan Ampel, sebagai cikal bakal pesantren Nusantara (Agus Sunyoto; 2011).
Selanjutnya pada masa kolonial, pesantren mengalami tekanan dan peminggiran yang dilakukan oleh pemerintah kolonial (Anzar Abdullah, 2013). Pengalaman ini tidak melemahkan apalagi menghancurkan pesantren, sebaliknya berbagai tekanan yang dilakukan pemerintah kolonial justru memperkuat kemandirian pesantren, bahkan pesantren mampu menjadi basis pertahanan (kultural dan ideologis) menghadapi berbagai tekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.
Ada dua dua hal yang membuat pesantren mampu mempertahankan kemandirian di era kolonial. Pertama, kekuatan spiritual para kiai. Menjadi rahasia umum, para kiai pengasuh pondok pesantren sering melakukan laku spiritual melalui berbagai ritual batin (riyadlah); puasa, wirid, salat dan doa agar mendapatkan kekuatan dan jalan keluar dalam menghadapi berbagai tekanan dan cobaan. Laku spiritual ini secara faktual telah melahirkan suatu kekuatan mental, spiritual, dan fisik yang membuat pesantren mampu bertahan menghadapi tekanan degan tetap menjaga kemandirian.