Kenapa Santri Harus Melek Politik

26 views

Kehidupan masyarakat dalam sebuah negara tidak dapat lepas dari politik. Politik yang dalam makna asalnya ialah pengelolaan polis (negara/kota), yang dimaksudkan sebagai ikhtiar untuk menghasilkan peraturan-peraturan yang menuntun masyarakat secara bersama-sama mencapai kualitas terbaiknya.

Dengan demikian, implikasi politik tidaklah dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat, sebab politik yang memberikan batasan dan kewenangan dalam interaksi antar-manusia dalam suatu negara. Dan sekali lagi, politik sebagai keniscayaan guna mencapai tujuan bersama, yaitu menjadi versi terbaiknya.

Advertisements

Beberapa waktu yang lalu, rakyat Indonesia sempat dihebohkan dengan demo penolakan Revisi Undang-Undang TNI/POLRI yang dianggap akan mengembalikan luka lama, serta mengembalikan dwifungsi ABRI. Demo ini banyak diikuti oleh kalangan mahasiswa, dan para pemerhati politik lainnya. Namun salah satu hal yang disoroti ialah ke mana larinya para santri, kyai dan warga pesantren lainnya pada saat demo berlangsung? Pada saat para wakil rakyat, para pemangku pemerintahan sedang ingin meresmikan peraturan yang hanya menguntungkan segelintir pihak dan merugikan banyak orang, khususnya masyarakat sipil?

Maka dengan penuh kesadaran, tulisan ini ingin ikut berdiskusi pada topik ini. Bukan pada mencari pembenaran atau alasan yang logis atas ketiadaan para santri saat situasi politik tak stabil berlangsung, melainkan menyajikan argumen-argumen dari kitab-kitab salaf yang mengajak pada kesadaran berpolitik, sebagaimana diskusi Bahtsul Masa’il pada umumnya.

Tentang Pemimpin yang Adil

Syaikh Ibrahim al-Laqani dalam Jawharah al-Tawhid menegaskan tentang kewajiban mengangkat seorang pemimpin yang adil berdasarkan nas syariat.

و واجب نصب إمام عدل # بالشرع فاعلم لا بحكم العقل

Dalam pembahasan fikih, kata adil ialah lawan dari kata fasik. Artinya, pemimpin yang diangkat secara kepribadian harus orang yang belum pernah melakukan dosa besar walau sekali atau dosa kecil secara terus-menerus. Dengan demikian, secara kepribadian, pemimpin bukanlah orang yang pernah melakukan tindak kriminal. Maka tidak mungkin bisa diketahui latar belakang seorang pemimpin yang akan diangkat bila kemudian kita tidak peduli terhadap politik.

Bila melihat pada sosok Nabi Muhammad SAW, beliau terkenal sebagai orang yang jujur dan amanah, jauh sebelum mendapatkan risalah di umur 40 tahun. Sehingga rekam jejak kepribadian ini menjadi salah satu faktor pendukung beliau dipercaya sebagai seorang pemimpin.

Tentang Tasharuf dan Maslahat

Salah satu kewajiban seorang pemimpin ialah mengambil kebijakan (keputusan) berdasarkan apa yang lebih maslahat bagi rakyatnya. Dalam salah satu kaidah fikih disebutkan:

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة

Yang dimaksud maslahat ialah apa yang lebih bermanfaat, serta yang dampak manfaatnya lebih luas dan menyeluruh.

Sehingga sebagai rakyat, tentunya perlu untuk ikut memahami keadaan politik beserta isu-isunya. Ini diperlukan guna mengawal pemerintah agar tetap berada dalam keputusan yang lebih mengutamakan dampak positif bagi rakyatnya. Terlebih lagi, disebutkan dalam al-Faraidl al-Bahiyyah:

فيلزم الإمام في التصرف # على الأنام منهج الشرع الوفي

Dalam membuat kebijakan atau keputusan, seorang imam haruslah menggunakan metode yang ditentukan oleh syariat. Artinya, dengan mempertimbangkan apa yang maslahat (berdampak baik) dan apa yang madharrat (berdampak buruk) bagi para rakyat, serta mana yang maslahatnya menyeluruh (mashlahah ‘ammah) dan mana yang maslahatnya hanya dirasakan sebagian (mashlahah khassah). Kesemuanya itu perlu untuk ditimbang.

Maka sebagai rakyat, perlu untuk membantu pemimpin dalam menentukan kebijakan dan keputusan yang akan diambil, sebagai bentuk pengawalan agar tidak terjerumus pada pemerintahan yang zalim.

Dengan begitu, santri juga perlu untuk mempelajari dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan politik, misal ideologi politik, filsafat politik, geopolitik, strategi politik, peluang dan ancaman politik.

Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani dalam Muhammad SAW al-Insan al-Kamil menjelaskan tentang bagaimana kepiawaian Rasulullah SAW dalam berpolitik, mulai dari pengambilan keputusan seperti Piagam Madinah yang menjadikan kaum muslim dan Yahudi bisa hidup berdampingan secara damai dan tenteram, serta kepiawaian dalam menyusun strategi perang dan geopolitik hingga Islam dapat menyebar sampai ke Byzantium dan Persia.

Tentang Pemimpin Zalim

Seseorang akan sempurna imannya bila ia mencintai saudaranya sama seperti ia mencintai dirinya sendiri. Artinya, bila kita tidak ingin memiliki pemerintah yang zalim, yang inkompeten, tidak adil, maka sekali lagi, kita perlu memahami politik agar rakyat tidak melulu menjadi korban penindasan dan eksploitasi.

Dengan demikian, kiranya tiga alasan ini cukup untuk menjadi dasar agar kita tidak lagi acuh kepada politik, melainkan peduli, sebab berkaitan dengan keberlangsungan hidup masyarakat luas khususnya umat Islam. Melek politik tidak identik dan harus turut serta dalam unjuk rasa. Santri bisa menunjukkan kepedulian dan pandangan politiknya melalui berbagai cara, salah satunya melalui tulisan, misalnya. Dengan demikian, sekecil apapun, santri akan ikut menentukan masa depan bangsa.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan