KEPADA GURU SEKUMPUL
Yang hidup
di luar jendela doa hanyut
adalah wangi kata-kata,
tuntunan hidup,
dan jejak langkahmu yang abadi.
Namamu
wangi sejuk melati:
pada setiap gema itu
terembus angin,
terbawa lapang
di sela daun-daun doa.
Ilmu setajam
tajam sabda-Mu,
terbenam di hulu
setiap keluk
dan lekuk
hati yang terbelah.
Tetapi apa
yang kembali
setelah kami kehilangan jejak?
Di bibir para pengingat:
pohon beringin tumbuh
di atas sebutir harapan;
sejuta kata
terperangkap di antara rotasi dunia;
matahari meredup, padam,
tak pernah menyala kembali;
dan mereka yang datang
dalam bayang-bayangmu
ditempa lagi dengan pelajaran
dari tiap larik yang kau ajarkan.
Aku menamaimu
Guru Sekumpul: yang jauh
sekaligus dekat,
tetapi kebajikanmu
menemani kami sedia.
Paras kelembutan,
merdu membasuh jiwa.
Aku menamaimu
Guru Sekumpul: kata-kata
sepanjang waktu,
perihal amal;
perihal yang tak terhitung
dalam bilangan;
Sebab telah sampai cintamu
lebih dulu, jauh sebelum
kami mengenal kata cinta
“Terangkai mata rantai,
sampai kepada Sang Nabi”
Yang tetap hidup
setelah kau pergi
adalah wangi doa, harapan,
dan ilmu yang tak pernah hilang,
meski kita kerap lupa
apa yang telah kau beri
di setiap helaan napas kita.
— damparalit, 2025.
SETELAH ZIARAH KE MAKAM SYEKH YAHUDA
Misalkan kita di puncak bukit;
angin membawa nama-nama
yang pecah sebelum sampai,
di atas batu yang tak pernah bicara.
Misalkan benar inilah makamnya:
tanah yang retak,
bunga merekah lebih sunyi
dari doa yang dilupakan.
Syekh Yahuda, siapa yang datang padamu
selain mereka yang kalah?
Lalu apa yang mereka bawa:
butiran tasbih,
atau dosa yang tak bisa mereka titipkan?
Tapi kau tahu ziarah,
adalah musim panjang,
adalah sebuah perjalanan
tanpa pintu keluar.
Dan kami di sini,
di bawah bayang pohon tua,
bertanya pada sunyi:
apakah hikmah masih bersarang
di ranting patah?
Apakah yang kami cari sebenarnya,
di makam ini?
Jejak rahasia,
atau sekadar tempat
untuk merasa pulang?
Keyakinan dipasak
di atas batu dingin,
sementara angin melarikan doa-doa,
ke arah yang tak lagi kita kenal
– Pacitan, 2024.
*Syaikh Yahuda adalah leluhur dari Masyayikh PP. Al-Falah Ploso, Kediri.
MENYUSURI JEJAK LANGKAHMU
“Kutulis namamu
pada jejak yang tak tampak.”
Langkah pertama
setelah doa-doa
adalah gerak rindu yang tak henti
di getar dada.
Kubawa namamu,
dan basahlah
peluh kerinduan
di tiap ujung jari yang menunggu.
Lisan-lisan kami
yang lirih,
bergetar dan resaplah
ke dalam bisikan
hati yang diam.
Pada malam pengajaran yang tak usai,
kami bentangkan tapak jalan panjang
di tanah yang kau ajarkan,
di bawah terang cahaya malam:
setelah doa-doa
berulang kali gagal
menyentuh langit,
“Kau kembali datang
mewujud mantra, dan
cinta yang senantiasa
hangat dalam dada”
— damparalit, 2025.
DI SEPERTIGA MALAM, SEORANG SALIK BERTEMU MURSYIDNYA
Tiada kulihat sesuatu
Waktu aku menelusuri jejak langkahmu
Langit meredup, sepi mengunci
Mengimpit dadaku:
Ia seolah bayang yang menanti
Ia seolah suara yang hilang
Sebab aku tak bisa berpura-pura
Maka kubisikkan padamu:
Ia hanyalah malam yang memeluk sunyi
(Wah. Aku sudah takut
Jika aku bilang itu rindu
Padahal sekadar gerimis tanpa suara).
Namun daripada kita terus membisu
Ayo kita nyanyikan bukan kesepian kita
Tuntunan dari hati yang merindu
Tuntunan dari hati yang merindu
Tentu bukan kesepian
Sebab kata mereka:
Itulah suara kita yang hilang
Yang ditempa oleh waktu
— ketekunan jiwa.
Tiada kudengar sesuatu
Waktu aku menundukkan wajahku kepadamu
Mentari menyusup perlahan di celah jendela
Membawa bayangmu sekejap:
Seolah berbisik
Seolah datang kembali
Namun
Sebab aku tak bisa berpaling
Maka kubisikkan padamu:
Mereka tentu tak mencari cahaya
Dari kegelapan yang membungkam
(Wah. Cinta
Wah. Kekasih sejati)
Sungguh
Tiada kudengar
Tiada kulihat
Riuh dari dunia yang tak tampak
(Namun toh terasa
getar merobek
cahaya yang mengisi…)
Hai!
Siapa yang paling sunyi
Carilah gurumu!
Buka jalanmu!
Dan tiba-tiba:
Wah!
Allah merangkul kerinduan kita
Tapi
Siapakah Dia?
– damparalit, 2025.