Status perempuan dalam hal menjadi pemimpin sampai saat ini masih menjadi isu yang jadi polemik di berbagai kalangan, mulai dari ulama, musafir, dan akademisi muslim didunia. Karena fakta sosial membuktikan bahwa hampir sepanjang zaman kaum laki laki berada pada posisi superior, sementara perempuan selalu ditempatkan pada posisi inferior; perempuan diletakkan di posisi kedua setelah laki laki.
Dalam kontestasi politik, polemik soal kepemipinan perempuan juga sering kali menjadi bahan perdebatan. Biasanya isu gender menjadi “jualan” terutama dalam perhelatan pemilu di mana ada calon perempuan yang terlibat. Isu tentang kepemimpinan perempuan selalu dimunculkan kembali oleh pihak-pihak lawan politik untuk menghalangi kontestan perempuan.
Karena itu, wacana bahwa perempuan tak layak menyandang sebagai pemimpin diamini sebagian masyarakat dalam ajang perebutan kekuasaan publik. Apa yang disebut sebagai pemimpin di sini sangatlah luas; mulai dari jabatan pemerintah atau kedinasan, komunitas agama, dan organisasi kemasyarakatan.
Adapun yang disinggung dalam konteks ajaran Islam, ayat yang menjadi dalil dalam menjustifikasi dan mensubordinasikan peran perempuan untuk menjadi pemimpin biasanya adalah QS An Nisa’ ayat 34 :
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
Artinya: “Laki laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar.”
Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat tersebut mengharuskan perempuan untuk selalu tunduk dan patuh terhadap laki laki (secara mutlak), termasuk dalam hal kelayakan menjadi pemimpin rumah tangga maupun di sektor publik, seperti di pemerintahan dan organisasi masyarakat.
Ketika dilihat dari tinjuan tafsir Al-Qur’an, sebagaimana dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka mengungkapkan terkait interpretasi ayat tersebut. Demikian penafsiran Hamka, “Di dalam ayat ini tidak langsung datang perintah yang mengatakan ‘wahai laki-laki wajiblah kamu jadi pemimpin, atau wahai perempuan kamu menerima pimpinan’.
Yang diterangkan, menurut Hamka, terlebih dahulu adalah kenyataan; tidak ada perintah, namun kenyataannya memang laki-lakilah yang memimpin perempuan. Dengan demikian, kalau datang, misalnya, perintah perempuan memimpin laki-laki, tidaklah bisa perintah itu berjalan, sebab tidak sesuai dengan kenyataan hidup manusia; perempuan memimpin laki- laki. Bukan saja pada manusia, bahkan pada binatang pun rombongan itik, itik jantan jugalah yang memimpin berpuluh-puluh itik betina yang mengiringinya.
Begitu pula dalam isi Tafsir Al-Misbah, Prof Quraish Shihab mengatakan bahwa maksud dari ayat 34 surat An Nisa adalah kepemimpinan laki-laki (suami) terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini pun tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk dalam hal kepemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan suami.
Jadi, maksud kata pemimpin yang terdapat dalam QS an-Nisa ayat 34 tersebut mengorientasikan kepemimpinan terhadap pengayoman, saling menghargai, saling menghormati, terutama sikap bahu membahu dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam konteks ini, kepemimpinan tidak diperbolehkan dijalankan dengan sikap sewenang-wenang. Sebab, di saat yang sama, banyak ayat Al-Qur’an yang secara gamblang memerintahkan untuk saling tolong-menolong, saling bermusyawarah, saling berdiskusi antara laki laki dan perempuan tanpa membandingkan jenis kelamin.
Selain ayat Al-Qur’an Qur’an, hadis juga sering kali digunakan sebagai dalil terkait kepemimpinan perempuan, salah satunya yang diriwayatkan Imam Bukhari yang berbunyi:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ أَبِى بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِى اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَيَّامَ الْجَمَلِ ، بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
Artinya: “Dari Utsman bin Haitsam dari Auf dari Hasan dari Bakrah berkata, Allah memberikan manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat yang kudengar dari Rasulullah SAW pada hari menjelang Perang Jamal, setelah aku hampir membenarkan mereka (Ashabul Jamal) dan berperang bersama mereka. Ketika sampai kabar kepada Rasulullah bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, beliau bersabda, ‘Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.’” (HR Al Bukhari).
Ditinjau dari kualitas, para ulama menyepakati bahwa hadis tersebut termasuk sahih, karena telah memenuhi standar Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi menyebutnya sebagai hadis hasan sahih. Namun di beberapa kalangan ulama memiliki interpretasi yang berbeda, terutama oleh ulama klasik dan kontemporer.
Secara syariat, dengan merujuk Kitab Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari mengenai istinbath hadis tersebut, dijelaskan bahwa perempuan tidak dapat menjadi kadi atau hakim. Meskipun, ada beberapa ulama kalangan mazhab Maliki yang memperbolehkannya.
Sementara itu, di dalam kitab Fathul Bari karya Iman Ibnu Hajar Al Asqalani, dikatakan bahwa perempuan tidak hanya boleh menjadi kadi ataupun urusan imamah (kepemimpinan). Alasan jumhur ulama berpendapat demikian karena faktor lemahnya pemikiran perempuan dan diri perempuan adalah aurat.
Sedangkan, ulama kontemporer meninjau interpretasi hadis tersebut hanya berlaku khusus dalam konteks sejarah raja Kisra ketika itu. Dengan demikian, perempuan tetap bisa menjadi pemimpin dengan prasyarat tidak melakukan hal-hal yang menjadi penyebab kemunduran negeri Kisra, yaitu tidak adanya kompetensi dan kecakapan putri raja sebagai pemimpin. Penafsiran ini juga disesuaikan dengan kaidah al-‘ibrah bi khushusis sabab, la bi umumil lafzhi.
Di sini penulis tidak bisa mengklaim kebenaran dengan bergantung pada salah satu pihak. Akan tetapi ada jalan tengah yang bisa ditawarkan. Kepemimpinan dapat dilakukan oleh siapapun tanpa memandang jenis kelamin, entah itu laki-laki atau perempuan. Sebab, kelayakan menjadi pemimpin diukur dari kompetensi dan kecakapan.
Hal tersebut juga seturut pandangan Imam Al-Ghazali yang menegaskan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin asalkan sesuai dengan kapasitasnya serta mampu menjalankan amanah dengan adil dan bijaksana. Selain itu, kepemimpinan perempuan harus tetap mempertimbangkan kebutuhan dan tantangan zaman yang sesuai dengan nilai agama tanpa harus melanggarnya.