Kerja Sama Antar-Agama dalam Sejarah Islam

506 kali dibaca

Pada saat ini, masih banyak umat Islam yang lebih menekankan semangat ghazawah (berperang) dalam membangun hubungan dengan agama lain. Mereka memulai dengan melihat non-Muslim sebagai musuh yang harus diwaspadai, menimbulkan rasa takut terhadap keberadaan mereka di masa lalu, sekarang, dan masa depan, serta menciptakan ketidakpercayaan dan kekhawatiran yang mendalam.

Selanjutnya, mereka cenderung membuat tuduhan yang berlebihan dan menciptakan stereotip negatif, menempatkan semua kesalahan dan kejahatan pada pihak yang bukan beragama Islam, dan bahkan bersedia atau sudah melakukannya menggunakan kekerasan dalam berbagai bentuknya.

Advertisements

Meskipun semangat hubungan seperti ini memiliki dasar teologis, dengan ayat-ayat Al-Qur’an, hadis, dan sejarah Nabi Muhammad Saw sebagai pendukungnya, namun terkadang dipengaruhi oleh kepentingan politik dari generasi berikutnya.

Bahkan di dalam satu umat Islam sendiri, yang memiliki satu Al-Qur’an dan satu nabi sebagai acuan, sejarah politik umat Islam selama berabad-abad telah dipenuhi dengan konflik. Baik Dinasti Umayyah, Abbasiyah, maupun Utsmaniyah, memiliki dasar teologis yang memisahkan dan memecah belah, sering kali terlibat dalam perang satu sama lain dengan semangat untuk saling menghancurkan, seperti permainan zero sum.

Namun, semangat ini tidak sepenuhnya mencerminkan semua ajaran Al-Qur’an dan hadis. Selain itu, semangat ini juga tidak sesuai dengan gambaran yang komprehensif tentang sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw.

Seperti yang telah dijelaskan, dakwah Nabi Muhammad Saw banyak didukung oleh individu non-Muslim, bahkan pada saat-saat krusial. Ini termasuk dukungan dari tokoh seperti Pendeta Waraqah bin Naufal, serta paman Khadijah Ra. Terutama, peran penting dimainkan oleh paman beliau, Abu Thalib, yang menurut pandangan Sunni tidak menjadi Muslim hingga akhir hayatnya. Namun, meskipun tidak memeluk Islam, Abu Thalib menggunakan semua kekuatannya untuk mendukung dan melindungi dakwah Nabi Muhammad Saw.

Kontribusi Non-Muslim

Raja Najasyi dari Habasyah atau Etiopia memberikan suaka penuh dengan dukungan politik, tempat tinggal, dan bantuan finansial kepada lebih dari 70 Muslim yang tidak bisa tinggal di Kota Mekkah.

Sebagian dari mereka tinggal di sana selama lebih dari 14 tahun, menjauh dari komunitas Muslim di Madinah, hidup di bawah hukum dan aturan Kristen yang berlaku di Etiopia pada saat itu.

Nabi Muhammad Saw menghargai dan memuji hubungan ini, yang dibangun atas dasar kepercayaan, kerja sama, dan saling membantu. Melalui bantuan Raja Kristen ini, Nabi Muhammad Saw mengatur pernikahannya dengan Ramlah binti Abu Sufyan Ra yang menetap di Etiopia setelah suaminya meninggal.

Ketika Nabi Muhammad Saw diusir dari Kota Tha’if dan merasa ragu untuk kembali ke Kota Mekkah, suaka diberikan oleh seorang non-Muslim, yaitu Muth’im bin Adi. Kontribusinya juga dihargai oleh Nabi Muhammad Saw:

“Andai saja Muth’im masih hidup dan meminta saya untuk membebaskan seluruh tawanan Perang Badar, saya akan membebaskannya semua untuknya,” kata Nabi Muhammad Saw.

Konstitusi Madinah menjadi preseden kuat tentang kesepakatan antara Muslim dan non-Muslim untuk bekerja sama dalam membangun peradaban yang didasarkan pada nilai-nilai kehidupan, keadilan, dan kesejahteraan bersama.

Perjanjian Gencatan Senjata

Demikian pula dengan Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi Muhammad Saw. dan kaum Quraisy, di mana kelompok-kelompok yang belum memeluk Islam saat itu, termasuk kabilah Khuza’ah, bergabung dalam barisan Nabi Muhammad Saw.

Pembebasan Kota Mekkah juga dipicu oleh pembunuhan kejam terhadap koalisi non-Muslim Nabi, terutama kabilah Khuza’ah. Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw bertindak untuk melindungi orang-orang non-Muslim yang terzalimi, yang bergabung dalam koalisi dengan umat Islam.

Selain itu, ada kisah-kisah individu dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw dengan orang-orang non-Muslim di sekitar Madinah. Mereka saling berkunjung, memberi dan menerima hadiah, menerima undangan makan, dan menjalani hubungan sosial sehari-hari yang harmonis.

Potret lengkap tentang sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw seharusnya dapat mengubah cara kita memahami seluruh ayat Al-Qur’an dan teks hadis. Sehingga, dapat mendorong peradaban Islam menuju visinya sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alamin) dan mempromosikan perilaku yang baik dalam hubungan sosial (akhlaqul karimah).

Esensi dari peradaban Islam yang diwahyukan Allah kepada Nabi adalah untuk membangun kehidupan, bukan menghancurkannya (QS. Al-Anfal (8): 24). Tujuannya adalah untuk mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan hidup, bukan sebaliknya (QS. Al-Baqarah (2): 201).

Jadi, memahami dan membangun hubungan antara umat Islam dan non-Muslim, penting untuk menekankan kerja sama, saling penghormatan, dan persaudaraan yang diilhami oleh ajaran Islam. Meskipun ada semangat ghazawah (berperang) dalam sejarah Islam, itu tidak mencerminkan sepenuhnya semua ajaran Al-Qur’an dan hadis.

Sejarah hidup Nabi Muhammad Saw menunjukkan bahwa dakwah beliau banyak didukung oleh individu non-Muslim, dan hubungan harmonis antara umat beragama harus menjadi landasan dalam membangun peradaban Islam yang sejati. Dengan pemahaman yang lebih mendalam terhadap sejarah dan ajaran Islam, diharapkan umat Islam dapat mendorong peradaban Islam menuju visinya sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta dan mempromosikan perilaku yang baik dalam hubungan sosial.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan