Menemukan hal-hal baru yang lucu dan menarik hampir setiap hari penulis temui di lingkungan pendidikan, khususnya pendidikan pesantren yang penulis geluti. Di antaranya adalah cerita-cerita berikut ini.
Sebulan sekali, biasanya kepala MD (Madrasah Diniyah) Tarbiyatul Banat Sumenep melakukan evaluasi kegiatan belajar mengajar (KBM) di aula madrasah bersama para ustaz dan ustazah, seperti yang baru-baru ini dilaksanakan. Di sana, mereka akan berbagi cerita tentang hal-hal yang dialami di dalam kelas bersama murid-muridnya.
Gajah Duduk
Dalam evaluasi bulan ini (Kamis, 24/03/2022), ustaz Arik (Muhammad Syarifuddin), guru Bahasa Arab memulai ceritanya dengan kasus lempar-lemparan surat yang biasa dilakukan oleh murid-muridnya di kelas. Surat-surat itu berupa lembaran-lembaran kertas kecil yang digulung sedemikian rupa, lalu dilemparkan kepada temannya yang dituju. Hal itu mereka lakukan tentu ketika melihat sang ustaz tertunduk atau sedang tidak memperhatikan keadaan murid-muridnya.
Bagi ustaz Arik, itu merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh para muridnya untuk berkomunikasi dengan teman-temannya. Misalnya meminjam tipe x, penggaris, dan alat tulis lainnya. Atau sekadar bercanda untuk menghilangkan rasa jenuh di kelas. Ustaz Arik tidak jarang memakluminya, daripada ribut dengan mengeluarkan suara-suara berisik di kelas. Akan tetapi, dia terkadang dibuat kesal apabila hal itu dilakukan terus menerus oleh muridnya, dan balas-balasan surat tersebut tidak kunjung selesai.
Pernah suatu ketika, ustaz Arik mendapat kejadian naas karena mukanya terkena lemparan kertas-kertas kecil yang mungkin tidak sengaja dilakukan oleh salah satu muridnya yang duduk di bagian belakang. Sebenarnya surat kecil tersebut hendak dilemparkan kepada temannya yang duduk di bagian depan. Namun karena terlalu kencang melempar, maka muka sang ustazlah yang menjadi sasaran. Melihat kelakuan muridnya yang dinilai sudah melewati batas tersebut, dia pun menyuruh dua murid diniyahnya itu untuk maju ke depan dan membacakan isi suratnya satu per satu.
Hal itu belum pernah dia lakukan sebelumnya. “Huuuuu…..” sontak saja kelas menjadi ramai, dan wajah dua murid kelas 3 wustha itu pun merah padam menanggung malu bercampur takut karena mungkin akan dimarahi atau “ditakzir”. Atau hal yang paling menakutkan menurut mereka adalah melaporkannya kepada kepala madrasah atau pihak pengasuh.
Setelah maju ke depan kelas, dua murid itu hanya terdiam untuk beberapa lama dan tidak kunjung membacanya. Ustaz Arik pun mendesak mereka berdua untuk segera membacakan isi suratnya. Putri (Putri Ayu Nur Shalihah) dan Seli (Siti Auliya Zahidah), dua murid yang lumayan gesrek itu pun membacanya dengan suara bergetar, “Sel, aku paling gak suka kalo ustaz Arik ngajar”, ucap Putri dalam suratnya, memulai pembicaraannya kepada Seli. “Kenapa Put?”, balas Seli. “Kamu tau kan, biasanya beliau seringkali memotong-motong kalimatnya, dan nyuruh kita meneruskannya. Aku kan kesel, males menjawabnya terus,” ucap Putri. “Iya, aku juga sih, Put,” balas Seli.
Mendengar isi surat tersebut, ustaz Arik masih berusaha tenang. Lalu dia pun menyuruh mereka berdua untuk melanjutkan membaca surat-surat kecilnya itu. “Sel, kamu lihat gak, ada gajah duduk di depan? hi hiii…takuuut!” ucap Putri lagi. “Astaghfirullah, dasar kamu Put, masa ngatain ustaz Arik gajah duduk,” jawab Seli.
Sambil menahan tawa, Putri kembali melanjutkan membaca suratnya, termasuk isi kertas yang tadi mengenai wajah sang ustaz. “Bukan Sel, maksudku merek sarungnya Gajah Duduk, ha haaaa…dasar lu, gak peka!”
Dengan wajah tertunduk, Putri dan Seli akhirnya meminta maaf kepada ustaz Arik, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. “Insyaallah!” ucap Putri, murid yang super duper hiperaktif namun otaknya lumayan encer itu.
Sebagai peringatan, ustaz Arik menyuruh mereka menempelkan surat-suratnya tersebut di dinding kelas menggunakan kertas karton, kemudian ditandatangani oleh mereka berdua. Dan sebagai hukumannya juga, mereka disuruh menghafalkan mufradᾱt bahasa Arab sebanyak 100 kata saat itu juga.
Lauk Paud
Yulaika (ustazah Ika), salah satu guru Akhlak, sambil terpingkal-pingkal juga menceritakan salah satu muridnya yang salah dalam meneruskan potongan kalimat yang dilontarkan olehnya. Pada saat itu, Ika menjelaskan tentang klasifikasi akhlak. “Akhlak itu ada tiga; yang pertama, akhlak kepada Allah SWT. Kedua, akhlak kepada sesama manusia. Sedangkan yang ketiga, akhlak kepada alam atau lingkungan, termasuk juga hewan”.
Setelah menjelaskan panjang lebar tentang klasifikasi akhlak, lalu salah satu muridnya bernama Najahatin, bertanya; “Ustazah, bagaimana contoh berakhlak kepada alam?” Lalu ustazah Ika menjawab, “Banyak sekali contohnya. Misalnya kalian tidak menebang pohon sembarangan, tidak mengurung binatang piaraan tanpa memberinya makan, dan menanami tanah dengan pepohonan atau sayuran. Pepohonan yang rindang akan menjadikan suasana sejuk. Selain itu, pepohonan akan menjaga lingkungan kita dari bencana longsor dan banjir. Sedangkan sayuran bisa kita jadikan sebagai pelengkap lauk paaa…”, “Paud ustazah!” lanjut salah satu muridnya yang bertanya tadi.
“Gerrr…” seisi kelas tertawa, termasuk dirinya yang sedari tadi berusaha bersikap jaim (jaga imej). Sambil menahan tawa, lalu ustazah Ika memperbaiki kesalahan muridnya itu; bahwa yang benar adalah lauk pauk, bukan lauk paud (pendidikan anak usia dini).
Bacaan Iqlab
Cerita berbeda tapi hampir sama, juga disampaikan oleh ustazah Rosyidah, guru Al-Quran/tajwid tingkat Ula. Saat itu, ustazah Rose, begitu ia disapa, menerangkan tentang contoh bacaan iqlab. “Mim ba’di/من بعد adalah contoh dari bacaan iq…?” ucap ustazah Rose, berusaha memancing perhatian murid-muridnya agar mau menjawab atau melanjutkan kalimatnya. “Iqbal”, “iqmal”, “iqlima”, “iqoh”, “iqro”’, lanjut murid-muridnya dengan jawaban yang seolah-olah main-main, atau memang tidak tahu. Meski ada sebagian yang menjawab benar, iqlab.
Contoh kesalahan para ustaz/ustazah dalam melaksanakan metode pembelajaran, yang juga berimbas pada kesalahan para muridnya di atas, sebenarnya pernah ditegur oleh pihak PPAI (Pengawas Pendidikan Agama Islam) dan juga pengawas PD Pontren (Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren) dibawah naungan Kementrian Agama (kemenag) Sumenep. Hal itu mereka lakukan saat turba (turun ke bawah) untuk mengawasi dan memberi pembinaan kepada asᾱtiz-asᾱtizah.
Mereka mengimbau para guru madrasah diniyah tersebut agar ketika mengajar tidak memotong suatu kalimat, lalu menyuruh muridnya melanjutkan potongan kalimatnya. Karena hal itu menjadikan guru seringkali mendapatkan jawaban yang berbeda-beda seperti kasus di atas. Meski entah sengaja diplesetkan oleh murid, atau memang murid tidak tahu. Yang jelas, itu merupakan kesalahan si guru yang harus dibenahi, agar murid juga tidak salah melanjutkan kalimatnya.