Kecuali keluarga dan teman nakalku di pondok, tak ada yang tahu, bahkan tetanggaku, jika aku adalah alumni salah satu pesantren di Jawa Timur. Menghabiskan dua belas tahun di pondok bersama-sama santri lainnya. Ah! Bukan! Tak pantas aku menyebut diri sebagai alumni. Santri pecatan lebih cocok.
Aku malu jika orang-orang tahu dengan latar belakang yang seram itu. Sebab, dulu kedatanganku ke pondok hanya karena paksaan orang tua. Mereka menginginkan supaya kelak aku jadi orang, orang yang bermanfaat. Pikirku, bermanfaat bagi orang yang bermanfaat, juga merupakan wujud kemanfaatan.
Mugkin gara-gara niatku yang salah, rasanya tak cukup diriku menerima ilmu-ilmu pemberian Kiai. Benar, mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Aku harus tetap menjalani hidup. Paling tidak aku sudah membuat hati ibu dan bapak lega hingga mereka lebih dulu ke alam keabadian tepat setelah tiga hari aku pulang dari pondok.
“Cung, kapan wae, nendi wae, lan kondisi sing piye wae usahakno ojo sampek lali sembayang e diterusno moco istighfar lan sholawat.”
Itulah pesan Kiai yang selalu kuingat. Sepertinya, seluruh isi pelajaran dalam kitab-kitab kuning yang ruwet, pokok muaranya diringkas oleh Kiai dalam pesannya tersebut. Karena itu sampai titik darah penghabisan aku bertekad akan menjaganya.
“Hei, Njot, mari ikut saya kerja,” teriakan Kijo membubarkan lamunanku. Kijo merupakan sahabat dekatku dari kecil. Ia salah satu di antara teman-temanku lainnya yang tahu, jika aku meneruskan pendidikan ke pondok pesantren. Kijo adalah anak ibu Tri, salah satu keluarga kaya raya di desa. Rumahnya berada di selatan rumahku. Memang Kijo besar dengan kondisi yang serba cukup, hingga sekarang.
Sudah lama aku tak berjumpa dengannya sejak lulus sekolah dasar. Kabarnya, sekarang ia melanjutkan usaha pabrik kerupuk yang dirintis oleh bapaknya. Meskipun hanya pabrik kerupuk, namun hasil penjualannya hingga kirim ke luar kota dan provinsi. Kijo hidup dengan gelimang harta. Jika uangnya surut, ia tinggal menggesek di ATM, lalu dibuat melayani apa pun keinginannya baik yang wajar maupun tidak.
“Hai Jo, bagaimana kabarmu, sehat?” jawabku merespons ajakannya.
“Sudah nanti saja basa-basinya ayo ikut aku sekarang,” Kijo memaksa. Sedikit tak berubah dari dirinya yang sangat pekerja keras dan disiplin waktu. Tak kaget jika ia jadi pebisnis kelas atas mewarisi watak bapaknya. Ya, memang jika dilihat sekilas ia juga sangat rupawan. Berbeda denganku yang apa adanya.
Memakai baju dan celana seadaanya, aku bergegas menutup pintu rumah, dan meloncat ke bangku belakang motor Kijo.
“Mau ke mana kita, Jo?” tanyaku lagi.
“Mengawasi pabrikku yang di kota S. Nanti, rencanaku kamu yang akan memegangnya. Anggap ini sebagai balas budiku kau selamatkan nyawaku saat hendak tenggelam di sungai dulu.” Ia menjawab serius tapi sambil terkekeh. Aku pun ikut serta terbahak-bahak.
“Kau masih ingat kejadian itu, Jo? Kukira kau sudah lupa, ha-ha-ha…” kataku sambil menepuk-nepuk pundaknya.
Kami berdua akhirnya sampai di pabrik kerupuknya, pabrik yang bakal kupegang. Benar-benar besar, pekerjanya ratusan.
“Mulia sekali kau, Jo, dapat mempekerjakan banyak orang,” pujiku padanya. Kijo hanya tersenyum dan diam. Kami lalu berjalan-jalan, mengawasi. Sesekali pegawai menyapa kami berdua. Bukan, maksudku menyapa Kijo.
Setengah jam berlalu, kami pamitan dengan Kang Ncep, mandor yang akan kugantikan posisinya.
“Mau ke mana lagi kita, Jo?” di antara jerit azan dhuhur aku melepas tanya pada Kijo. Ingin kukatakan, “Antar aku ke mushollah atau masjid dulu Jo,” namun aku malu. Bagaimana lagi hanya bisa berkata dalam batin.
“Sudah ikut saja, Njot,” tukasnya.
Kulihat pada arloji Kijo yang menempel pada pergelangan tangan kirinya, jarum jam menunjukkan pukul dua kurang seperempat. Aku tak tahu ke mana ia akan membawaku. Perjalanan agaknya masih jauh, sedang waktu dhuhur akan lepas landas sebentar lagi. Batinku mulai tak tenang. Terpaksa aku bohong pada Kijo.
“Jo, Jo, berhenti di pom bensin depan ya, aku kebelet.”
Cepat ia menjawab, “Siap, siap. Sekalian aku mau ambil uang dulu.”
Tak genap sepuluh menit aku sudah selesai. Kijo menunggu di depan ATM. Kami berdua melanjutkan perjalanan. Tiga jam berlalu, belum juga sampai tujuan. Kukira dekat, ternyata motor masih melaju kencang. Kali ini kami melewati batas kota, “Selamat Datang di Wisma Pasar Daging.” Aku membacanya dengan jelas. Pikiranku masih bingung, sebuah banner di samping kanan-kiri kami.
“Ayo turun Njot, kita sudah sampai,” kata Kijo. Tanpa kujawab aku pun turun dan melepas helm. Memperhatikan sekitar, kondisinya sangat sepi. Namun banyak sepeda motor dan mobil memenuhi parkiran. Matahari sudah mulai sembunyi. Aku masih mengawasi sekitar, mencari musala atau masjid. Sayang, hanya terlihat kompleks perumahan yang tercium aroma wangi parfum.
Kami berjalan masuk ke salah satu rumah. Betapa kagetnya aku, Kijo mengajakku ke rumah bordil. Dalam gemetar yang berguncang, aku berusaha bersikap biasa. Jangan sampai Kijo tahu aku sedang ketakutan dan gemetar.
“Kau tak apa-apa Njot? Kenapa wajahmu pucat,” ini kedua kali Kijo bertanya padaku.
Tak kuhiraukan pertanyaannya. “Di mana kamar mandinya? Di mana kamar mandinya?” tanyaku sambil pura-pura kebelet. Seorang penerima tamu yang cantik menghela napas dan menunjukkanku letak kamar mandi. Cepat-cepat aku lari bergegas mengambil wudhu dan salat ashar.
Setelah selesai, kulihat Kijo sedang duduk di tengah dua wanita yang bagiku sangat menawan dan bisa merusak iman. Sebab, kecantikan paras dan tubuhnya, ditambah dengan pakaian yang serba mini, sangat menggoda. Mereka asyik berbincang sambil minum yang dituangkan khusus oleh wanita itu pada Kijo.
Di antara pembicaraan mereka, Kijo melihatku dan mengundangku untuk menghampirinya. “Mbak, mbak, satu kamar ya, plus isinya!” teriak Kijo pada mbak cantik penerima tamu.
Melihat polah Kijo, tiba-tiba, lamat-lamat, wejangan Kiai meramaikan hatiku:
“Cung, iling-ilingen yo, Barseso sing sakti mondroguno tur tho’at sampek digadang-gadang bakal mlebu suwargo isih iso njlungup maksiat mergo kepincut godane syetan ngombe khamr, jebul kabeh-kabeh larangan limo dilakoni babarpisan, akhire dewek e mati su’ul khotimah.”
“Kenapa kamu ngelamun Njot? Kita akan menginap di sini, kamu tidur di kamar sana,” kata Kijo sambil menunjuk ke arah kamar khusus untukku. “Bersenang-senanglah Njot, barang sekali sebelum kau kerja.” Ia tertawa sambil memncium wanita di sampingnya bergantian.
“Kacau, benar-benar kacau,” batinku teriak. Aku ingin tidur saja daripada melihat mereka hanya membangunkan nafsu berahiku. Masuklah aku ke kamar, kumatikan lampu, dan berusaha memejamkan mata agar tenang dan tak kepikiran Kijo. Kebiasaan lamaku di pondok tak pernah memakai baju jika hendak tidur, begitulah hingga sekarang, kuletakkan bajuku di dekat pintu dan merebahkan diri.
Belum sempat aku terpejam, seseorang masuk dan mengunci pintu dari dalam.
“Kamu siapa?” teriakku spontan.
“Kamu siapa?” tanyaku mengulang.
Tak ada jawaban. Hanya senyuman manis yang kulihat ketika ia menyalakan lampu dan berjalan menghampiriku. Gadis berpakaian seksi dan wangi. Tiba-tiba tubuhku gemataran, ia semakin mendekat.
“Jangan mendekat, keluarlah!” pintaku.
Keringat dingin tiba-tiba deras mengucur dari langit-langit ubun-ubunku. Diraihlah tanganku olehnya. Kutarik tanganku, seketika aku ketakutan dahsyat. Kalut, aku bangun, dalam tatapan remang, aku melihat seseorang bertubuh gagah memakai jubah lusuh dan kotor berdiri di depan pintu yang terkunci, memperhatikanku telanjang dada bersama wanita.
“Cung, sak olo-olone wong kuwi matine suul khotimah, mulo aku pesen, jogonen sak kuatmu wejangan-wejangan iki gae sangu muleh ngomah, yo!” suara Kiai terdengar lantang, menggaung dan seisi ruangan bergetar. Tiba-tiba dadaku sesak, mataku tak bisa melihat. Semua menghitam dan gelap.
***
Pagi hari, pembaca berita di televisi mengabarkan, polisi menemukan mayat seorang lelaki muda tanpa identitas di dalam salah satu kamar Wisma Pasar Daging. “Pihak kepolisian sampai sekarang masih belum mengetahui penyebab kematian korban secara jelas, dan terus melakukan penyelidikan,” ujar penyiar salah satu stasiun televisi.