Di Madura, tanah bukan hanya sebagai sumber kehidupan dan penghidupan. Jauh menyelam pada substansinya, tanah juga merupakan simbol kekerabatan atau simbol sosial. Selain itu, eksistensinya juga menjadi simbol kehormatan bagi orang Madura.
Dalam bingkai kebudayaan Madura, ada salah satu istilah mengenai relasi horizontal masyarakat dengan alamnya (tanah). Istilah yang sangat pekat dalam kehidupan orang Madura pada umumnya, yakni tana sangkolan atau tana sangkol. Sebagaimana orang Madura pahami, tana sangkol tidak hanya sebatas tanah, ada karakteristik di dalamnya, yaitu ihwal sakralitas yang melingkupinya.
Dikatakan sakral, karena sebagaimana ditulis KA Dardiri Zubairi dalam bukunya Wajah Islam Madura, masyarakat Madura menganggap tana sangkol sebagai media untuk mempertautkan masyarakat dengan leluhurnya. Hal itu disebabkan karena tana sangkol merupakan tanah warisan leluhur dan menjaganya adalah suatu keharusan.
Tana sangkol menjadi salah satu cara orang Madura menjalin kerekatan dengan para kerabat yang sudah wafat. Khairul Umam dalam tulisannya yang bertajuk “Makna Tanah, Makam, dan Manusia Madura” (dalam buku Rebutan Tanah di Pesisir Pantai Sumenep) menggambarkan bagaimana orang Madura bisa berdialog dan menjalin hubungan batin dengan para leluhur.
Menurut Umam, untuk menambah sakralitas tanah tersebut, biasanya masyarakat mengubur jasad nenek moyang di tanahnya sendiri. Hal itu dilakukan agar mereka bisa senantiasa merasa dekat dengan para leluhur, sekalipun telah tiada. Sehingga, mereka tidak punya alasan untuk menjual tanah yang telah menyatukan batin mereka dengan para leluhurnya itu. Sebab, mengutip perkataan Umam, tanah bukan hanya sekadar bagian dari ekonomi, melainkan juga tersirat sosial-religius.
Namun, itu dulu, sekarang sakralitas yang konon menjadi nyawa dari tana sangkol hilang secara perlahan, dihilangkan lebih tepatnya. Hal ini dibuktikan dengan banyak realitas yang masif dijumpai. Tana sangkol tidak lagi diamini sebagai tanah sakral yang—meminjam bahasanya Kiai Dardiri Zubairi—laknat jika dijual sembarangan. Saat ini, tana sangkol tak lebih sebagai barang dagangan pada umumnya. Sifatnya sudah transaksional dan lucut dari substansi asalnya.
Indikasinya, saat ini, bahkan jauh pada tahun sebelum-sebelumnya, akuisisi tanah marak terjadi di Madura, utamanya di pesisir pantai Sumenep. Naifnya, sekarang diisukan akan menjamah ke pegunungan dengan agenda penambangan fosfat.
Tercatat, pada tahun 2016 sebagaimana dikatakan oleh KA Dardiri Zubairi dalam buku Rebutan Lahan di Pesisir Pantai Sumenep dengan mengutip majalah al-Fikr, perampasan tanah atau yang sering disebut sebagai land grabbing terus mengalami peningkatan. Bagaimana tidak, dalam jangka waktu satu tahun—2015 sampai 2016—akuisisi tanah meluas menjadi sekitar 500 hektare.
Sebelum membahas lebih jauh bagaimana agama dimanfaatkan dalam praksis kapitalis akhir-akhir ini, agak menarik kiranya jika kita mengulas kembali teori atau perspektif Huub de Jonge, peneliti dari Belanda, yang sempat mendefinisikan Madura dalam salah satu kajiannya.
Masyarakat Madura, yang dalam teori klise digambarkan sebagai masyarakat terbelakang, kolot, dan jauh dari peradaban juga sengaja dibingkai oleh Huub dalam tulisannya tersebut. Hanya saja, Huub menarasikannya dalam bentuk yang lebih halus, lebih jauh dari narasi pengundangan sensitivitas.
Dalam kajiannya ketika meneliti ke-Madura-an, Huub mengatakan bahwa orang Madura sebagai pekerja yang baik, rapi, dan buruh yang bisa dibanggakan. Tentu, jika kita lebih peka memandang setiap interpretasi kalimat atau tulisan Huub tersebut, kita akan melihat sisi gelap dari bahasa yang seolah dibingkai seakan-akan terlihat manis. Masyarakat Madura itu memiliki bakat yang mengesankan, begitu kira-kira.
Namun nyatanya, pada sisi paling substansial, Huub hendak menyampaikan bahwa masyarakat Madura hanyalah kaum buruh yang sangat pantas dipekerjakan. Meskipun hal itu lebih baik dari teori orientalis yang mengatakan Madura hanyalah lahan tandus dengan penduduk yang urakan, namun jangan pernah dialpakan dari keyakinan bahwa narasi Huub sebenarnya juga menggambarkan keterbelakangan Madura dengan bahasa yang lebih sopan.
Sederhananya begini, Huub De Jonge ingin membingkai kenyataan bahwa masyarakat Madura berada pada kalangan masyarakat proletar, kaum terbelakang, dan kaum yang mudah dimanfaatkan. Lebih dari itu, dia juga ingin menarasikan bahwa masyarakat Madura memiliki stratifikasi sosial kelas bawah. Namun, pesan tersirat itu seolah sengaja dia bingkai dengan sangat elegan.
Pernyataan-pernyataan tersebut—sejak teori orientalis sampai pernyataan Huub—memberikan proposisi pada orang luar bahwa masyarakat Madura adalah kalangan yang sangat mudah dimanfaatkan, tidak paham apa-apa kecuali hanya bisa menjadi buruh.
Narasi-narasi demikian juga diduga kuat menjadi keyakinan dan senjata halus kaum kapital ketika akan menduduki tanah-tanah subur di Madura. Kaum kapitalis menemukan sebuah celah yang memberikan peluang besar dalam masyarakat Madura sendiri. Salah satu yang paling kontras terjadi adalah melalui media agama.
Para kaum kapitalis tidak akan kehabisan cara dalam menyasak tanah-tanah yang menjadi target mereka. Perpindahan kepemilikan adalah hal yang mereka harapkan. Maka, salah satu yang dijadikan alat pembantu adalah melalui agama.
Kemasan yang dihadirkan beragam. Beberapa kapitalis atau investor sengaja mengundang tokoh masyarakat untuk berdialog dengan masyarakat agar tanah mereka bisa dilepas. Hal ini menjadi alat kuat, terlebih tokoh masyarakat dalam masyarakat Madura menjadi orang yang berpengaruh dan paling disegani.
Mereka (para tokoh masyarakat itu) akan mendatangi si pemilik tanah yang menjadi target dan membujuk mereka untuk melepaskan tanahnya. Cara membujuknya pun indah, yakni dengan kedok menjalankan rukun islam yang kelima, naik haji. Tak bisa dibantahkan, harga yang ditawarkan pemilik modal memang relatif besar, cukup untuk berangkat haji sekeluarga.
Ini membuktikan bahwa bumbu agama akhir-akhir ini kian diminati untuk beragam kepentingan. Masyarakat agamis—yang biasanya suka pada taqlid—adalah sasaran empuknya. Mereka akan dimanfaatkan dengan sajian agama yang disajikan. Tindakan profan jelas terlihat dalam kasus demikian.
Hal ini biasa juga digunakan dalam kontestasi politik atau dalam rangka meraih kekuasaan, termasuk bughat. Mereka yang memiliki kecenderungan kuat pada agama dan buta pada aspek lainnya adalah mereka yang pertama kali dipastikan terjerambab pada lubang jebakan. Naifnya, beberapa dari mereka malah tidak sadar sama sekali meski telah disadarkan beberapa kali.