Di tengah padang pasir yang gersang, dalam kehidupan suku-suku Arab pra-Islam, syair adalah segalanya. Ia bukan hanya sebagai alat ekspresi seni, tetapi juga menjadi medium kekuasaan, kebanggaan, bahkan diplomasi. Para penyair dihormati seperti nabi, dan bait-bait syair mereka bisa membakar semangat perang atau mengobarkan perdamaian. Masyarakat Arab kala itu hidup dalam budaya lisan yang kuat, dan syair menjadi mahkota dalam percakapan sehari-hari.
Di negeri semacam inilah, Al-Qur’an diturunkan, bukan dalam bentuk traktat hukum atau filsafat logis, melainkan dalam keindahan bahasa yang luar biasa memesona.

Namun, kedatangan Al-Qur’an justru menimbulkan kegelisahan di kalangan para penyair dan pembesar Quraisy. Mereka yang terbiasa menjadi pusat perhatian dengan bait-bait syairnya kini merasa tersaingi oleh kalam yang dibawa Nabi Muhammad. Bukan karena Al-Qur’an mengikuti pola syair mereka, tapi karena justru berbeda dan jauh lebih dalam. Maka tak heran jika sebagian mereka menuduh Nabi sebagai penyair, penyihir, atau bahkan orang yang kerasukan jin, karena tak mampu menjelaskan mengapa kata-kata itu begitu menggugah jiwa dan menggetarkan hati pendengar.
Tuduhan tersebut terekam dalam berbagai ayat, di antaranya QS ath-Thur ayat 30,
أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَّتَرَبَّصُ بِهِۦ رَيْبَ ٱلْمَنُونِ
“Mereka berkata: ‘Sesungguhnya dia hanyalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya.’” (QS. Ath-Thur: 30)
Allah pun menolak tuduhan itu secara tegas dalam Surat Yasin ayat 69
وَمَا عَلَّمْنَٰهُ ٱلشِّعْرَ وَمَا يَنۢبَغِى لَهُۥٓ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْءَانٌ مُّبِينٌ
“Kami tidak mengajarkan syair kepadanya, dan bersyair itu tidak layak baginya. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.”
Penolakan tersebut penting, sebab jika Al-Qur’an dianggap sebagai syair, maka ia bisa disetarakan dengan kreasi manusia lain. Padahal, yang disampaikan oleh Nabi adalah wahyu dari Tuhan semesta alam, bukan hasil daya cipta sastra biasa. Maka, walau Al-Qur’an mengandung keindahan linguistik, ia tak tunduk pada aturan syair Arab manapun.
Yang menarik, keindahan Al-Qur’an justru membuat para penyair besar Arab terdiam. Labid bin Rabi’ah, salah satu penyair termasyhur zaman Jahiliyah, menghentikan kariernya sebagai penyair setelah mendengar ayat Al-Qur’an. Ia mengakui bahwa tak ada kata-kata yang bisa menandingi firman Tuhan itu. Bahkan, para tokoh Quraisy seperti Abu Sufyan yang saat itu masih memusuhi Islam diam-diam menyelinap malam-malam hanya untuk mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari Nabi.