Ketika Firman Tuhan Turun di Negeri Para Penyair

76 views

Di tengah padang pasir yang gersang, dalam kehidupan suku-suku Arab pra-Islam, syair adalah segalanya. Ia bukan hanya sebagai alat ekspresi seni, tetapi juga menjadi medium kekuasaan, kebanggaan, bahkan diplomasi. Para penyair dihormati seperti nabi, dan bait-bait syair mereka bisa membakar semangat perang atau mengobarkan perdamaian. Masyarakat Arab kala itu hidup dalam budaya lisan yang kuat, dan syair menjadi mahkota dalam percakapan sehari-hari.

Di negeri semacam inilah, Al-Qur’an diturunkan, bukan dalam bentuk traktat hukum atau filsafat logis, melainkan dalam keindahan bahasa yang luar biasa memesona.

Advertisements

Namun, kedatangan Al-Qur’an justru menimbulkan kegelisahan di kalangan para penyair dan pembesar Quraisy. Mereka yang terbiasa menjadi pusat perhatian dengan bait-bait syairnya kini merasa tersaingi oleh kalam yang dibawa Nabi Muhammad. Bukan karena Al-Qur’an mengikuti pola syair mereka, tapi karena justru berbeda dan jauh lebih dalam. Maka tak heran jika sebagian mereka menuduh Nabi sebagai penyair, penyihir, atau bahkan orang yang kerasukan jin, karena tak mampu menjelaskan mengapa kata-kata itu begitu menggugah jiwa dan menggetarkan hati pendengar.

Tuduhan tersebut terekam dalam berbagai ayat, di antaranya QS ath-Thur ayat 30,
أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَّتَرَبَّصُ بِهِۦ رَيْبَ ٱلْمَنُونِ
“Mereka berkata: ‘Sesungguhnya dia hanyalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya.’” (QS. Ath-Thur: 30)

Allah pun menolak tuduhan itu secara tegas dalam Surat Yasin ayat 69
وَمَا عَلَّمْنَٰهُ ٱلشِّعْرَ وَمَا يَنۢبَغِى لَهُۥٓ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْءَانٌ مُّبِينٌ
“Kami tidak mengajarkan syair kepadanya, dan bersyair itu tidak layak baginya. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.”

Penolakan tersebut penting, sebab jika Al-Qur’an dianggap sebagai syair, maka ia bisa disetarakan dengan kreasi manusia lain. Padahal, yang disampaikan oleh Nabi adalah wahyu dari Tuhan semesta alam, bukan hasil daya cipta sastra biasa. Maka, walau Al-Qur’an mengandung keindahan linguistik, ia tak tunduk pada aturan syair Arab manapun.

Yang menarik, keindahan Al-Qur’an justru membuat para penyair besar Arab terdiam. Labid bin Rabi’ah, salah satu penyair termasyhur zaman Jahiliyah, menghentikan kariernya sebagai penyair setelah mendengar ayat Al-Qur’an. Ia mengakui bahwa tak ada kata-kata yang bisa menandingi firman Tuhan itu. Bahkan, para tokoh Quraisy seperti Abu Sufyan yang saat itu masih memusuhi Islam diam-diam menyelinap malam-malam hanya untuk mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari Nabi.

Fenomena ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an tidak hanya memenangkan argumentasi rasional, tetapi juga menundukkan keindahan rasa dan seni yang tertinggi.

Sementara itu, Al-Qur’an tidak diam dalam menghadapi tuduhan tersebut. Ia justru menantang, seperti termaktub dalam QS al Isra ayat 88

قُل لَّئِنِ ٱجْتَمَعَتِ ٱلْإِنسُ وَٱلْجِنُّ عَلَىٰٓ أَن يَأْتُوا۟ بِمِثْلِ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِۦ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa, sekalipun mereka saling membantu.” (QS. Al-Isra’: 88).

Bahkan dalam ayat lain, Allah memperkecil tantangan itu menjadi hanya satu surat saja, tetapi tetap tidak ada yang mampu menandinginya. Inilah yang membuat Al-Qur’an menempati posisi yang tak tergoyahkan, baik dari sisi teologis, retoris, maupun historis.

Kini, meski kita hidup di zaman yang berbeda, tantangan terhadap firman Tuhan tetap ada. Di tengah badai informasi, Al-Qur’an tetap hadir sebagai penuntun. Ia bukan sekadar kitab yang indah dibaca, tetapi juga mengandung petunjuk hidup yang tak lekang oleh waktu. Keindahan dalam Al-Qur’an bukan untuk memukau semata, tetapi untuk menggerakkan hati menuju kebenaran dan keadilan.

Ketika firman Tuhan turun di negeri para penyair, dunia Arab tak lagi sama. Syair-syair kehilangan tempatnya, dan kata-kata digantikan oleh wahyu. Bukan karena Al-Qur’an bersaing dengan syair, tetapi karena ia melampaui syair. Ia datang untuk membawa cahaya yang tak mampu dijangkau oleh bait dan rima. Dan hingga hari ini, ia tetap menjadi cahaya terang yang tak pernah padam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan