“Undzur ilaa maa qola wala tandzur ilaa manqola”— lihatlah apa yang dibicarakan, bukan siapa yang berbicara.[1] Pepatah Arab ini mengingatkan kita bahwa kebenaran tak mengenal hierarki. Tapi di pesantren, pepatah ini seringkali mati sebelum sampai ke telinga. Di sini, adab dan adat berkelindan sedemikian tipisnya, hingga kritik dianggap pengkhianatan, sementara kepatuhan buta dianggap bukti ketakwaan.
Bahkan Lord Acton, sejarawan Inggris, pernah memperingatkan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”[2] Persis di titik inilah oknum kiai—sebagai absolut power yang titahnya tak terbantah—menjadi sasaran empuk bisikan setan.

Sejarah Islam sebenarnya meriwayatkan gemuruh perbedaan pendapat. Imam Syafi’i, murid Imam Malik, tak ragu mengkritik metode qiyas gurunya. Ibnu Malik menulis Alfiyyah, meski gurunya, Ibnu Mu’ti, sudah lebih dulu menulis kitab nahu. Tapi mereka tak dianggap “durhaka.” Justru, inilah adab sejati: menghormati guru bukan dengan menundukkan kepala, tetapi dengan menjaga kemurnian ilmu, bahkan jika harus mengoreksi kesalahannya[3].
Sayangnya, hari ini, banyak pesantren mengubur semangat ini di bawah tumpukan adat. Adat ‘patuh tanpa reserve’ disulap menjadi adab “wajib taat,” seolah-olah mengkritik guru adalah dosa. Padahal, Al-Qur’an tegas: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui…” (QS. Al-Isra: 36)[4].
Di sinilah setan menemukan celah. Ketika seorang kiai diposisikan sebagai “absolut power”— figur terakhir yang titahnya tak boleh digugat—otoritasnya berubah jadi tirani.
Lord Acton benar: keabsolutan adalah ladang subur korupsi moral. Sejarah gereja abad pertengahan mengajarkan hal serupa: otoritas absolut pendeta melahirkan skandal Inquisition. Di pesantren, tragedi pencabulan terjadi ketika oknum kiai menggunakan dalih “ujian ketakwaan” untuk memaksa santri memijatnya, atau “perintah guru” untuk membuka hijab. Santri yang terpojok antara tunduk atau dianggap “durhaka” akhirnya memilih diam. Mereka lupa bahwa dalam kitab Adab al-‘Alim, Imam Nawawi menegaskan: “Seorang murid wajib menolak perintah guru yang jelas melanggar syariat.”[5]