Ketika Santri Berkemah Bersama Insan Lintas Iman

206 views

Umumnya, perkemahan atau kamping diikuti oleh orang yang circle pertemanannya dekat, seperti teman satu sekolah, rekan kerja, atau malah keluarga. Tapi selama tiga hari lalu, Jumat hingga Minggu, 25-27 Oktober 2024, saya merasakan sensasi yang luar biasa. Saat itu, saya mewakili Pondok Pesantren Aksara Pinggir Bekasi, Jawa Barat, dalam event Youth Interfaith Camp (YIC) angkatan ke-13.

Kegiatan sosial ini digagas Sinode Gereja Kristen Pasundan (GKP) yang berkolaborasi dengan Jakatarub (Jaringan Kerja Antar Umat Beragama).

Advertisements

Kegiatan ini diikuti 50 pemuda yang berkemah selama tiga hari dua malam. Perkemahan  digelar di Lapangan GKP Jati Ranggon, Kota Bekasi.

Sesuai namanya, pesertanya berangkat dari beragam lintas iman, selain enam agama yang sudah diakui, ada pula dari Jemaat Ahmadiyah, Persatuan Umat Islam (PUI), Jemaat Baha’i, dan penganut penghayat kepercayaan.

Tentu pengalaman ini menjadi hal baru bagi saya. Nemang, secara fikrah (ideologi) dan amaliyah (perbuatan) saya sudah selesai alias tidak mempermasalahkan perbedaan, entah agama, suku, ras, pendapat (sekaligus pendapatannya). Saya sudah berdamai dengan itu.

Namun, untuk harokah (mobility), saya masih minim kontribusi. Maka di tiga hari ini sensasinya beda. Di hari pertama, aktivitas kami langsung inklusif, main outbound bersama, tak salah kami cepat akrab. Peletakan tendanya pun dibuat random, satu tenda beragam latarbelakang. Kebetulan saya setenda dengan Mas Sugandi, penganut Penghayat Kepercayaan.

Malamnya, kami mendapatkan materi tentang kemanusiaan, kekerasan seksual, kesetaraan gender, dan hubungan inklusif.  Saat sesi kafe religi, saya mendapat pengetahuan dari Kak Klara, penganut Baha’i. Agama yang biasanya hanya saya baca itu, ternyata bertemu langsung dengan penganutnya, tentu banyak pertanyaan terlontar.

Di malam pertama ini, sebagai santri nahdliyin (sebutan untuk jemaah NU), saya benar-benar memosisikan diri sebagai ‘minoritas’, teman-teman non-muslim mendominasi, muslim pun yang menyandang status santri bisa dihitung jari. Tapi itu semua tak mengurangi kerukunan kami. Nyaris tak terlihat sekat di antara kami. Semuanya akrab, saling lempar tawa dan mengumpan bahagia.

Saantri Aksara Pinggir mengabadikan moment didepan Pure Arca Jatirangga

Ketika pukul 22.00, tiba waktu istirahat, teman-teman malah aktif bercengkrama hingga larut malam. Bila dilihat sekilas, seperti pertemanan yang terjalin bertahun-tahun, saking akrabnya.

Dihari kedua, kami mengunjungi rumah ibadah lintas iman, dimulai dari Pure Satya Loka Arcana. Di sini kami disambut dengan baik. Vibes-nya mirip-mirip dengan di Bali. Maka tak salah peserta pada berfoto ria.

Kemudian, menjelang siang kami ke Pasewakan (tempat ibadah) Aliran Kebatinan Perjalanan, di Jatisampurna, Kota Bekasi. Di sini, pemuka agamanya hadir semua. Saya menemukan fakta bahwa setiap Sabtu, murid sekolah penganut kepercayaan ini akan diajar di Pesewakan, kemudian nilainya dikirim ke aekolah terkait untuk mengisi nilai di mata pelajaran agama.

Selanjutnya, kami diajak ke Kampung Adat Kranggan. Tempatnya begitu sejuk karena banyak tumbuhan rindang mengerumuni. Di sini saya mendapat hal baru lagi.  Ternyata hukum adat yang sering saya pelajari di kampus benar-benar diterapkan di sini. Memang dari dulu bila ada kasus hukum non-pidana, Rumah Adat inilah sebagai ‘pengadilannya’. Dari situlah Kejaksaan RI merangkulnya sebagai tempat Restorative Justice sejak 2023.

Sebelum pulang dari sini, kesabaran kami diuji. Mobil yang saya tumpangi mogok.  Dan di sinilah fungsinya untuk saling membantu tanpa melihat latar belakang agama. Kami saling bahu-membahu untuk menangani, sampai mobil itu jalan kembali. Padahal l, satu mobil itu berisi teman-teman Muslim, PUI, Baha’i, Kristen, dan lain-lain. Tapi hal itu tidak berefek apa pun, selain manambah kerukunan.

Terakhir, kami mengunjungi GKP Kampung Sawah, Pondok Melati. Kedatangan kami di sini langsung disambut dengan makan siang bersama. Setelah itu, kami mendapat materi dari Pendeta Dina dan Romo Eko Praptanto, dua pemuka agama yang saya sudah cukup akrab, karena sering berada dalam satu acara sebelumnya.

Api Unggun, sebagai simbol semangat kerukunan umat beragama

Malam harinya, tentu kami menyalakan Api unggun, sebagai tanda malam untuk merayakan perbedaan. Teman-teman merenungi tentang apa yang dialami hari-hari terakhir ini.

Di malam ini, bisa dikatakan kami melebihi level roleransi. Bisa dikatakan harmoni. Hal itu terlihat ketika azan subuh, yang membangunkan saya adalah Mas Epan, dari jemaat GKP. Pada jam-jam salat, kami juga selalu dingantkan dan diberi fasilitas untuk menjalankan ibadah lima waktu.

Kesan dari Teman-teman

Saya merangkum beberapa kesan dan harapan dari teman-teman mengenai event ini.

“Bisa membincangkan teologi-teologi agama tanpa rasa canggung dan tidak enak, karena prasangka dan stigma yang tidak enak itu harus dikonfirmasi langsung ke penganutnya. Dan aku melakukan itu biar stigma-stigmanya langsung terkonfirmasi ke penganutnya,” kata Kak Sabeh, salah satu Jemaat Ahmadiyah. Dia juga berharap bahwa teman-teman yang belum berkesempatan ikut event multi iman ini supaya mengikuti pada kegiatan mendatang. Biar tahu bahwa masih banyak agama/aliran di luar enam agama resmi.

Kemudian Mas Sugandi, dari Aliran Kebatinan, memberikan kesannya. “Seru, menyenangkan, menambah wawasan dan pengetahuan tentang keyakinan lain serta menumbuhkan rasa persahabatan antara lintas iman. Semoga acara seperti ini akan terus ada untuk merawat kebhinnekaan, persahabatan, kerukunan dan persatuan bangsa.”

Mas Sugandhi juga berharap, tidak ada lagi diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil terhadap kaum marjinal.

Sementara itu, Kak Clara, salah satu ‘artis’ dalam acara ini turut menyampaikan kesannya. “Proses menuju perdamaian memang panjang. Tetap jalani prosesnya kini dan nikmati hasilnya nanti. Senang bisa bertemu orang-orang baru. Semoga gerakan untuk menyebarkan perdamaian dan persatuan terus berlanjut,” kata penganut Agama Baha’i ini.

Tentu saya lebih penasaran lagi terhadap panitia yang mengorganisasi peserta dari berbagai wilayah dan beragam latar belakang ini, sampai acara berjalan sukses.

Teh Anisa Nurhasanah, membeberkan, bahwa yang jadi tantangan khusus itu sulitnya memenuhi kebutuhan semua peserta dengan berbagai ragam dan karakter. Dengan berbagai macam keterbatasan SDM, fasilitas, fasilitator, narasumber, dan lain hal.

“Tentunya kami sebagai panitia ingin memberikan yang terbaik untuk peserta, sehingga peserta dapat dengan nyaman mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir. Sehingga tujuan ataupun output yang kami harapkan bisa sampai kepada peserta dengan tepat. Sebagaimana kita ketahui, bahwasanya di YIC kemarin kita sempat membahas mengenai inklusi sosial, di mana tentunya kami berkewajiban untuk turut memberikan ruang kepada teman-teman peserta, baik itu ruang aman untuk teman-teman bisa mengemukakan pendapat, bebas berekspresi dan lain hal,”  tutur rekan yang berlatar IPPNU Kabupaten Bandung ini.

Overall, acara semacam YIC ini menjadi inspirasi bagi saya pribadi, dan perlu diadakan di lingkungan lain, supaya ke-Bhinekaan-an di Indonesia ini selalu terjaga dan mencegah perpecahan. Saya teramat berterima kasih kepada panitia, pihak GKP Jati Ranggon, teman-teman Jakatarun, serta seluruh peserta yang telah memberi khazanah keilmuan baru dalam diri saya dan bisa berharokah di circle yang baru. Sekian.

Multi-Page

One Reply to “Ketika Santri Berkemah Bersama Insan Lintas Iman”

Tinggalkan Balasan