Ketika Santri Turun Gunung

167 views

Haflah Akhirus Sanah merupan kegiatan akhir tahun bagi Pesantren Salafi “Shiratul Fuqaha”, memeringatinya sebagai resolusi dari klimaks tahunan bagi para santri. Sebelumnya, ada rangkaian tamrinat  atau ujian yang dilaksanakan. Ujian tes tulis raudlah atau kelas tentang pelajaran, lalaran kitab tertentu yang disimak, dan ujian lisan berupa tanya jawab antara santri dengan ustadz sebagai pengujinya berupa kajian kitab-kitab dengan penafsirannya.

Tibalah Kiai Mad membuka tausiyahnya di depan santri-santrinya raudhah sadisah; kelas enam yang akan lulus. “Santri-santriku yang dirahmati Allah, setelah tamrinat selesai, kalian boleh tetap tinggal di sini meneruskan mengaji atau boyong. Pesenku, aja lali dampar! (jangan lupakan bangku). Santri harus menyebar untuk menjadi penerang di masyarakat. Ajarkan dan amalkan ilmu pesantren yang dimiliki. Tetap mengaji biar aji dan diajeni”.

Advertisements

Para santri khusyuk mendengarkan setiap wejangan yang diberikan Kiai Mad dengan saksama. Jika lulusan kuliah setelah lulus orientasinya adalah bekerja, maka santri setelah lulus tetap istikamah berorientasi pada mengaji, tidak sekadar materi. Santri sadar, ketika terjun ke masyarakat, mereka harus berperan bukan sekadar diam. Berjuang untuk Islam, menyelamatkan umat dengan semangat ikhlas. Menjadi shirat atau jembatan, jalan hubung bagi masyarakat awam dalam menjalani kehidupan.

Kiai Mad menutup tausiyahnya malam itu dengan wejangan singkatnya. “Jadilah guru di mana tempat dan kapan waktu yang mengiringimu. Jadilah guru bagi anak-anakmu kelak, keluargamu, tetanggamu, dan lingkungan sekitarmu. Apa pun pekerjaanmu, tetap jadilah guru. Petani yang guru, pedagang yang guru, pegawai yang guru, perangkat yang guru, dan lainnya. Minimal menjadi guru bagi diri sendiri. Uswah yang hasanah, sebagai teladan yang patut digugu dan ditiru. Jadikan guru bagian dari thariqatmu, di tengah zaman yang semakin rawan berpotensi kembali ke jahiliyahan. Santriku, ojo lali dampar! Mulang ngaji, Nashirul Ilmi..Barakallah”.

Kiai Mad menutup tausiyahnya dengan lantunan doa bagi santri-santrinya, bermunajah, agar santrinya tetap istikamah dan mampu konsisten dengan akidah, tekun dalam beribadah, serta berakhlakul karimah ketika bermuamalah. Diselingi amin, amin, ya rabbal alamiin dari seluruh hadirin.

Tidak terkecual, Kang Hamim harus turun gunung, untuk menyebarkan ilmu kesantriannya. Tibalah Kang Hamim di sebuah desa, tampak surau kecil yang sedikit kumuh kurang terawat. Kang Hamim berniat singgah sebentar untuk menunggu waktu ashar tiba. Muazin mengumandangkan azan dengan serak paraunya. Sesekali terbatuk, tiupan napasnya terdengar tersengal sampai corong TOA langgar. Kang Hamim segera beranjak mengambil wudlu, memasuki surau, dan ikut berjamaah ashar.

Terlihat dan terdengar janggal. Imam kampung itu mengenakan pakaian setengah dada terbuka. Bacaannya jauh dari kata fasih. Makharijul huruf maupun ilmu tajwid entah dikemanakan. Kang Hamim mulai tergoda kekhusyukannya. Hingga tiba rakaat selesai dan wirid sekadarnya, Kang Hamim menyalami imam tua tersebut, dan terjadilah dialog.

“Pak, jenengan kok salat tidak menutup aurat dengan sempurna, kancing bajunya tidak dikancingkan, sarungnya mobrot-mobrot tidak rapi, dan kopiahnya sedikit terbuka. Mungkin sah, Pak! Tapi kurang takdzim, karena ini sujud kepada Sang Pencipta,” Kang Hamim membuka dialog dengan teguran ringan.

“Lah, sampeyan siapa? Orang lewat kok menasihati aku yang sudah lama mukim. Jika ilmu agamamu memang tinggi, bukankah salat itu yang penting niat dan hatinya. Allah itu Maha Mengetahui, le,” balas imam kampung.

“Bukan begitu, Pak! Saya kebetulan lewat, saya adalah lulusan pesantren dan wajib bagi saya untuk memperbaiki yang sekiranya menyalahi akidah ataupun fikih. Apalagi lantunan bacaan al-Fatihah dan surat-surat tadi, jelas tidak memakai hukum tajwid yang berlaku,” lanjut Kang Hamim.

Imam surau tadi merasa tersinggung. “Le, dasar bocah kencur! Sedikit kuasai ilmu saja sok alim kamu. Kamu mau adu ilmu dengan saya? Lihatlah para jemaah… anak kemarin sore ini menegurku dan mengataiku bahwa salatku tidak benar. Bagaimana menurut kalian? Ikut aku atau dia?” tanya imam surau tadi di hadapan jemaah yang mendengarkan dialog mereka.

Jemaah kampung yang seluruhnya awam merasa tersinggung, karena imamnya didzalimi anak muda. Berbagai teriakan pun muncul sambil mengepalkan tangan.

“Dasar tidak ngajeni! Santri nggak ada akhlak! Pergi saja kamu dari sini!”

“Iya! Usir saja! Baru singgah saja sudah mengganggu ketentraman surau!”

“Santri nggak tahu adat! Usir! Usir! Takbir! Takbir!” Allahu Akbar!

Beramai-ramai Kang Hamim dicemooh, ditarik keluar dari surau, karena dianggap membuat ricuh suasana religi di kampung mereka. Kang Hamim menurut saja. Takut dimassa. Apalagi sampai dibakar. Dalam hati Kang Hamim berkata, “Memang lebih sulit nahi munkar daripada amar ma’ruf. Apa aku salah? Berusaha memperbaiki cara ibadah mereka? Dasar orang awam, tidak pernah makan dampar ya begitu. Salah tapi ngeyel.

Kang Hamim memutuskan kembali ke pondok menemui Kiai Mad. Ia ingin berkonsultasi apakah dia yang salah ataukah memang imam surau tersebut yang benar. Kang Hamim menemui Kiai Mad dan menceritakan peristiwa pengusiran yang dialaminya. Kiai Mad tersenyum.

“Hamim, berdakwah itu butuh konsep, proses, dan bertahap. Niatmu sudah benar, namun caramu perlu dibenarkan. Sebab, sing bener durung mesthi pener! (yang benar belum tentu sesuai). Mondoklah setahun lagi dan kajilah al-Hikam. Lalu, turun gununglah kembali. Insya Allah…”

Kang Hamim mondok lagi setahun memelajari al-Hikam dengan saksama. Setahun, Kang Hamim kembali ke surau tempatnya diusir dulu. Benar saja! Surau tersebut tetap kumuh, tetap dengan imamnya yang pakainnya kurang santun ketika menyembah Sang Kuasa. Bacaannya masih kacau, tidak sesuai tuntunan tajwid. Selesai berjamaah, Kang Hamim mendekati imam tadi.

“Subhanallah Pak Kiai. Ketika saya mendengar bacaan salat tadi, hati saya bergetar, saya terharu, jenengan salat dengan ikhlas tanpa embel-embel. Niat salat hanya untuk ibadah,” Kang Hamim memulai dialognya.

Imam surau tersebut pun ikut haru atas ucapan Kang Hamim. “Alhamdulillah le. Meski aku batuk-batuk, badanku sudah renta, napasku sudah kembang-kempis, aku tetap ngimami di surau ini. Sebab, tidak ada lagi yang memakmurkan salat, mereka awam, makanya mereka mengangkatku menjadi imam seumur hidup di surau ini, karena tidak ada yang merasa pantas menggantikanku.”

“Mabruk Pak Kiai, Mabruk! Semangat Pak Kiai dalam membina umat membuat kula takjub. Merasa tidak ada apa-apanya. Saya yang masih muda kalah jauh keikhlasan dan semangatnya. Hormat saya, Pak Kiai,” Kang Hamim menyalami tangan imam surau tersebut kemudian menciumnya.

“Le, aku sudah tua. Tenagaku lemah. Aku butuh pengganti untuk membimbing penduduk kampung di sini yang masih awam. Ilmu agamaku juga masih cetek. Sudikah kau menggantikanku?”

Kang Hamimpun tersenyum. “Insya Allah Pak Kiai. Tapi saya tetap butuh jenengan. Butuh bimbingan banyak. Saya masih muda, belum matang, belum fasih dalam bersosialisasi.”

Begitulah sekelumit kilasan dunia santri dengan berbagai problematikanya ketika turun gunung. Ketika dicap sebagai lulusan pesantren, santri akan direkam oleh masyarakat mengenai ibadahnya, perkataan ataupun tidak tanduknya, sebagai refleksi hasil yang didapatkan ketika mondok.

Ternyata, dalam berdakwah, pintar saja tidak cukup, tapi harus pintar-pintar menyiasati masyarakat yang dinamis dengan ragam kultur beraneka dimensi empiris. Tidak boleh gegabah, sebab sudut pandang bisa menjadi beragam tentang hakikat Islam. Namun, juga tetap harus mengedepankan hukum hakikat yang sebenarnya, tidak boleh mengganti hukum berdalih menyesuaikan perkembangan zaman.

Santri harus tetap berpegang pada Quran, hadis (sunah), ijtihad, ijma’, dan qiyas. Dengan bekal ilmu yang telah dipelajari dari ustadz dan kiai pendahulunya, menjadikan ilmu santri yang dimiliki memunyai sanad yang didapatkan melalui proses nyantri bukan secara instan atau tiba-tiba memahami. Santri yang lahir dari masyarakat juga harus membawa manfaat bagi masyarakat. Khoirunnas anfauhum linnas.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan