KH Ahmad Siddiq, Perumus Pilar Relasi Agama-Negara

211 kali dibaca

Bagi Nahdlatul Ulama (NU), persoalan hubungan antara agama dan negara, Islam dan Pancasila, sudah selesai. Hal itu terjadi ketika Pancasila diterima sebagai satu-satunya asas dalam bernegara. Solusi cerdas itu buah dari pemikiran KH Ahmad Siddiq.

KH Ahmad Siddiq merupakan salah satu ulama terkemuka di zamannya. Lahir di Talangsari, Jember, Jawa Timur pada Ahad Legi 10 Rajab 1344H/24 Januari 1926M dengan nama kecil yang Ahmad Muhammad Hasan. Bersamaan dengan kelahirannya, sebuah organisasi besar bernama Nahdlatul Ulama berdiri.

Advertisements

Ia lahir dari pasangan suami istri KH Muahmmad Siddiq dan Nyai Hj Zaqiah (Nyai Maryam). Jika ditelisik nasabnya, Kiai Ahmad Siddiq masih memiliki keturunan darah biru dari Kerajaan Pajang. Ayahnya tidak lain adalah anak dari Kiai Abdullah Lasem bin Kiai Muhammad Shaleh Tirtowijoyo, putra kiai As’ary, putra Kiai Adra’i, putra kiai Muhammad Yusuf (mbah Sambu), putra dari Raden Sumonegoro, putra dari raden Pringgokusumo/Adipati Lasem III, putra dari Pangeran Benowo I, putra dari Sultan Hadiwijoyo atau yang kerap dikenal dengan nama Joko Tingkir.

Namun, di usianya yang terbilang masih sangat muda, 4 tahun, ia ditinggal ibu kandungnya wafat saat perjalanan pulang dari tanah suci. Tidak berselang lama, ayahnya juga wafat saat Kiai Ahmad Siddiq masih berumur 10 tahun.

Sejak yatim piatu, kakaknya yang menggantikan posisi ayah serta ibunya untuk mengasuh Kiai Ahmad Siddiq kecil. Sehingga ada yang menduga bahwa Ahmad kecil mewarisi sifat dan gaya berpikir kakaknya, sabar, tenang, dan sangat cerdas. Wawasan berpikirnya sangatlah luas, baik dari segi ilmu agama maupun pengetahuan umum.

Terlahir dari darah priayi membuatnya memiliki pengalaman keagamaan yang banyak. Sebelum pada akhirnya memasuki dunia pesantren, KH Ahmad Siddiq telah menempuh pendidikan di sekolah Rakyat Islam di wilayah Jember. Setelah lulus sekolah dasar, ia menimba ilmu di Pondok Pesantren as-Siddiqiyah Jember atas asuhan ayahnya sendiri, KH Muhammad Siddiq. Di sana pendidikan ayahnya terbilang ketat dengan mewajibkan salat jamaah lima waktu kepada anak-anaknya. Di tempat yang sama, Kiai Ahmad Siddiq kecil belajar mengaji kitab kuning kepada kakaknya (Kiai Mahfudz Siddiq).

Terakhir KH Ahmad Siddiq nyantri di Pesantren Tebuireng, Jombang, yang diasuh KH Hasyim Asyari. Kepribadiannya yang tenang itu menjadikannya disegani oleh teman-temannya. Di Pondok Tebuireng itu pula, Kiai Ahmad Siddiq berkawan dengan KH Muhith Muzadi yang kelak akan menjadi mitra dalam berdiskusi mengenai konsep strategis fikrah Nadliyah (sistem berfikir NU). Di sinilah tempatnya menghimpun berbagai ilmu di sebuah Madrasah Nidlomiyah yang dibina langsung oleh KH Wahid Hasyim.

Gaya bicaranya yang khas dan memikat dalam khutbah membuatnya dikagumi banyak santri termasuk KH Wahid Hasyim. Di sisi cerdas, ia juga mahir dalam mengetik serta menulis. Kecerdasan dan kewibawaannya menjadikannya dekat dengan KH Wahid Hasyim, hingga pada masanya Kiai Ahmad Siddiq pernah diamanati menjadi sekertaris pribadinya, mulai dari MIA (Majelas Islam A’la Indonesia), Nahdlatul Ulama, hingga Mentri Agama. Bahkan kepercayannya terhadap Kiai Ahmad Siddiq membuatnya mendapat amanat untuk menyusun sebuah konsep dalam sebuah bidang keilmuan dan agenda penting lainnya. Termasuk kurikulum yang ada di Pesantren Tebuireng.

Dalam kesempatan tersebut KH Ahmad Siddiq menjadi salah satu santri yang dikader oleh KH Hasyim Asyari, yang diberi nama “ Kelompok Intelektual Santri”. Keterlibatannya dalm forum tersebut, kelak akan menjadikannya lebih mudah mengenal berbagai macam keilmuan. Adapun tujuan kegiatan tersebut tidak lain adalah untuk mendiskusikan perkembangan politik nasional dalam skala besar.

Pemikiran KH Ahmad Siddiq

Pada masa Orde Baru, pemberlakuan asas tunggal Pancasila menjadi polemik polemik politik yang panas. Sebab, kelompok-kelompok Islam, terutama yang bergaris keras, menentang kebijakan tersebut.

Di pertengahan tahun 1980-an banyak ormas-ormas Islam yang digegerkan dengan kebijakan yang dibuat oleh kepemerintahan Orde Baru tersebut. Secara umum kebijakan tersebut mendapat reaksi keras dari umat Islam, termasuk para ulama dari golongan Nahdlatul Ulama.

Peranan KH Ahmad Siddiq yang berusaha meyakinkan ratusan ulama NU untuk berkumpul di pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo pada 18-20 Desember 1983 akhirnya berhasil. Tujuannya tidak lain adalah untuk menerima Pancasila sebagai asas organisasi.

Di forum Musyawarah Nasional NU tersebut, KH Ahmad Siddiq yang berbekalkan makalah dengan 34 halaman berhasil menjelaskan soal Pancasila, dan mengapa NU harus menerima asas tersebut. Di dalamnya berisi ungkapan berbagai argumentasi dasar dan argumentasi historis dari babak sejarah umat Islam di Indonesia. “Pancasila dan Islam adalah hal yang dapat sejalan serta saling menunjang. Keduanya tidaklah bertentangan dan janganlah dipertentangkan, ucap KH Ahmad Siddiq.

“NU menerima Pancasila berdasar pada pandangan syari’ah. Bukan semata-mata berdasar pada pandangan politik. NU tetap berpegang pada ajaran aqidah syariat Islam. Ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita makan selama 38 tahun, mengapa baru sekarang dipersoalkan halal dan haramnya,” ucapnya dengan bergurau namun diplomatis.

Alhasil, mayoritas dari kiai yang hadir justru berbalik mendukung Pancasila sebagai satu-satunya asas dasar organisasi. Peristiwa tersebut jelas menjadi babak baru bagi NU sebagai ormas Islam yang pertama menerima asas tunggal. Bahkan, sebelum dirumuskan pada tahun 1985. Secara sistematis penerimaan asas tunggal Pancasila dijadikan deklarasi tentang hubungan pancasila dan Islam yang terdiri dari lima poin berdasar pada dua landasan, yakni historis dan hukum.

Pertama, Pancasila sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia, bukannya agama, dan tidak dapat menggantikan agama serta tidak dipergunakan untuk menggantikan agama.

Kedua, sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila-sila lainnya atau dapat diartikan mencerminkan tauhid menurut keimanan dalam Islam.

Ketiga, bagi NU Islam adalah akidah dan syariat, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarsesama manusia.

Keempat, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.

Kelima, sebagai konsesuensi dari sikap di atas, NU mewajibkan menjaga pengertian yang benartentang Pancasila dan mengamalkan isinya sebagai bukti murni dan konsekuensi oleh semua pihak yang menentang Pancasila

Poin-poin dalam deklarasi tersebut berdasar pada landasan historis dan hukum. Secara historis, umat Islam tidak pernah absen untuk membela kemerdekaan Indonesia. Dari awal, umat Islam menjadi garda terdepan dalam mengusir penjajah. Sementara, secara hukum, Allah memerintahkan umatnya untuk amar ma’ruf nahi munkar yang hanya bisa dilakukan dengan dasar himmah yang kuat. Dari dua landasan inilah, bahwa mendukung negara Pancasila hukumnya menjadi wajib, sebagai bentuk konsekuensi dari perjuangan yang dilakukan oleh umat Islam di masa lalu.

KH Ahmad Siddiq berharap seharusnya tidak akan ada lagi perdebatan apakah Pancasila itu Islam atau bukan. Maka, langkah yang perlu dicapai seharusnya adalah mengimplemetasikan nilai-nilai yang terdapat di dalam Pancasila.

Dari pernyataan KH Ahmad Siddiq tersebut telah tampak bukti bahwa ia berhasil mendamaikan perdebatan di antara agama dan negara, Islam dan Pancasila ,terkhusus di kalangan Nahdliyin.

Seiring diterimanya Pancasila sebagai asas organisasi, nama KH Ahmad Siddiq kian dikenal di kalangan Nadliyin sebagai bintang Munas. Tidak heran jika satu tahun kemudian, dalam Mukhtamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo, KH Ahmad Siddiq terpilih menjadi Rais Am PBNU yang bergandengan dengan Gus Dur sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU.

Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara yang menjadi asas bangsa Indonesia. Dalam pandangan KH Ahmad Siddiq, hubungan Islam dan Pancasila bukan berarti menyejajarkan Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Karena yang demikian seringkali didoktrin merendahkan Islam dengan ideologi tertentu.

Mereka beranggapan bahwa menerima Pancasila sebagai asas tunggal berarti sama halnya dengan melempar iman dan menerima asas tunggal Pancasila sebagai kafir,. Sedangkan, apabila menerima keduanya berarti musyrik. Hal tersebut ditegaskan oleh KH Ahmad Siddiq sebagai cara pandang atau berpikir yang keliru.

Dengan melihat cara pandang yang keliru tersebut, KH Ahmad Siddiq memberi penegasan kepada seluruh masyarakat bahwa Islam yang dicantumkan sebagai asas dasar tersebut berarti sama saja dengan istilah Islam dalam artian ideologi, bukan Islam dalam arti agama. Hal ini bukan berarti menafikan Islam sebagai agama, namun mengontekstualisasikan bahwasannya Islam tidak hanya dapat berperan sebagai jalan hidup, namun juga sebuah ilmu pengetahuan, dan pemikiran yang tidak lekang seiring perubahan zaman.

Pemikirannya yang moderat dapat menciptakan ikatan-ikatan kuat antara negara dan agama. Demikian kecintaan KH Ahmad Siddiq terhadap bangsa Indonesia yang menjadikannya selalu dikenang hingga saat ini walaupun telah wafad pada 24 Januari 1991. Namanya kini diabadikan di Universitas Islam Negeri (UIN) KH Ahmad Siddiq (KHAS) Jember.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan