Lahir keluarga yang sederhana tak menghalangi Ahmad Safradji untuk menjadi orang yang luar biasa. Berkat optimisme dan ketekunannya, ia kemudian menjadi seorang kiai kharismatik, dan menelurkan banyak buku.
Sebagai orang yang dibesarkan keluarga sederhana, KH Ahmad Safradji yang lahir di Sumenep, Madura, pada 10 Juni 1957 ini lebih memilih menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Annuquya Guluk-Guluk Sumenep. Di pesantren inilah Ahmad Safradji mulai tekun mempelajari berbagai ilmu agama, mulai dari nahu, saraf, fiqih, dan kitab-kitab kuning.
Selama di pesantren, menurut cerita salah satu saudara kandungnya, Ustaz Erfan, KH Ahmad Safradji dikenal sebagai santri yang istikamah dan tekun dalam belajar. Salah contohnya, saban hari KH Ahmad Safradji selalu tidur lebih awal, dan bangun juga lebih awal. Dengan bangun lebih awal, ia punya waktu untuk melaksanakan salat tahajud dan kemudian belajar.
Setelah lulus dari pesantren, Ahmad Safradji muda yang memiliki ghirah tinggi akan ilmu sebenarnya mempunyai cita-cita untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Akan tetapi, karena pada waktu itu faktor ekonomi dari pihak keluarga tidak mendukukung, ia terpaksa harus berhenti dari pondok pesantren.
Tapi rupanya Tuhan telah menyiapkan jalan bagi perjalanan hidup Ahmad Safradji. Setelah beberapa tahun keluar dari pondok, suatu hari Ahmad Safradji memperoleh petunjuk berupa seorang wanita yang harus dinikahi.
Perempuan harus ia nikahi Dewi Kholifah, putri Nyai Hj Aqidah Usymuni, yang ketika itu menjadi pengasuh Pondok Pesantren Aqidah Usymuni Sumenep lantaran suaminya, KH Abu Shofyan, telah tiada. Setelah menjadi bagian dari kelurga besar Nyai Hj Aqidah Usymuni, ia diberi tugas menjadi pengasuh pertama Pondok Pesantren Aqidah Usymuni.
Seiring waktu berjalan, KH Ahmad Safradji dikenal sebagai sosok kiai rendah hati dan tetap haus akan ilmu. Ia tidak pernah merasa pintar. Bahkan, di tengah kesibukannya mengajar, merawat pesantren, dan berkelilingi ke berbagai daerah untuk menghadiri pertemuan alumni Pondok Pesantren Aqidah Usymuni, Kiai Ahmad Safradji masih menyempatkan diri untuk membaca kitab-kitab kuning dan bahkan berhasil menulis lima buku.
Lima buku karya Kiai Ahmad Safradji berjudul Problematika Fikih Kontemporer, Tantangan Masa Depan Pesantren, Mencari Formasi Manajemen Pendidikan Pesantren, Pendidikan Agama Islam dalam Mempersiapkan Generasi Muda Tantangan Global, dan Dinamika Pola Kepemimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam Berbasis Pesantren.
Rupanya, membaca dan menulis dan merupakan salah satu kegemaran Kiai Ahmad Safradji, terutama menulis buku untuk menjawab persoalan masa kini, seperti persoalan fikih kontemporer dan lain sebagainya. Meskipun dalam usia sepuh, Kiai Ahmad Safradji tetap menyibukkan diri dengan berbagai bacaan, mulai kitab-kitab klasik, buku-buku, hingga koran dan majalah.
Menjadi seorang kiai dan pengasuh pondok pesantren juga tak membuat Kiai Ahmad Safradji memiliki sekat dengan masyarakat. Justru, posisi itu dimanfaatkannya sebagai jalan untuk menjalin hubungan yang harmonis antara kiai dan santrinya.
Dalam mengasuh santrinya, Kiai Ahmad Safradji tidak mengandalkan siapa pun dan memilih untuk turun lapangan sendiri. Seperti ketika sudah sampai waktu subuh, Kiai Ahmad Safradji tidak pernah sungkan untuk memasuki kamar para santrinya, dengan niatan takut ada santri yang tidak ikut saalat berjemaah.
Pernah suatu waktu, menjelang salat subuh tiba-tiba Kiai Ahmad Safradji memberhentikan salah satu santrinya yang berasal dari Pulau Giliyang. Kebetulan, santri itu sedang membawa suatu buku yang bertema fikih kontemporer.
“Coba lihat bukunya,” sapa Kiai Ahmad Safradji dan seketika menghentikan langkah santrinya. Santri itu kaget karena tidak biasanya seorang kiai pinjam buku pada santrinya. Dan setelah buku itu selesai ditengok, akhirnya Kiai Ahmad Safradji bilang lagi, “Bukunya saya pinjam sebentar ya.”
Berangkat dari kejadian tersebut, bagi penulis, Kiai Ahmad Safradji dalam dunia literasi tidak pernah membeda-bedakan antara santri dan kiai.
Kiai Ahmad juga dikenal sosok yang sangat mencintai para santrinya. Bahkan di masa-masa akhir hayatnya, ia tak bisa jauh dari santri-santrinya. Ketika kondisi tubuhnya sudah tak sehat lagi dan dokter menyarankan untuk banyak beristirahat, misalnya, Kiai Ahmad tetap sigap menjadi imam salat subuh.
Bahkan ketika sang istri, Nyai Hj Dewi Kholifah terpilih menjadi Wakil Bupati Sumenep, Kiai Ahmad Safradji tetap memilih tinggal di pondok alih-alih di rumah dinas wakil bupati. Itu merupakan salah wujud betapa cintanya Kiai Ahmad Safradji kepada santri-santrinya.
Karena kesehatannya terus menurun, pada Senin, 28 September 2020, keluarga besar Pondok Pesantren Aqidah Usymuni kehilangan sosok yang mencintainya untuk selamanya. Namun, kenangan akan Kiai Ahmad Safradji tak pernah hilang. Pesannya selalu hidup di hati para santrinya.
Kepada para santrinya, Kiai Ahmad Safradji selalu mewanti-wanti untuk senantiasa istikamah dalam belajar dan mengerjakan perintah Allah. Karena itu, menurutnya, kunci kesuksesan adalah istikamah.