KH Muhammad Nur termasuk salah satu tokoh yang paling dicari oleh pasukan penjajah Belanda. Pada 1940, pasukan Belanda memasuki Desa Moncek Tengah, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep, Madura. Selain merampas lahan-lahan milik warga beserta hasil panenannya, tentara penjajah ini juga mencari-cari tokoh yang mengobarkan semangat perlawanan di Desa Moncek, yang tak lain adalah KH Muhammad Nur alias Kiai Nur.
Oleh tentara Belanda, masyarakat setempat dipaksa untuk menyerahkan Kiai Nur. Tentu, masyarakat tak ada yang sudi untuk menyerahkan orang yang sudah menjadi tokoh panutan mereka.
Tak sudi menuruti keinginan penjajah, masyarakat Moncek dan sekitarnya akhirnya diperintah untuk kerja paksa. Mereka disuruh menggali dan membelah bukit yang tingginya mencapai kurang lebih 50 meter (sekarang sudah tinggal 12 meteran), lalu dibentuk menjadi dua bagian seolah-olah seperti dua bukit yang terbelah. Dan di tengah-tengah bukit yang terbelah itu kemudian dibuat jalan raya. Dalam pengerjaannya tersebut, masyarakat Moncek dan sekitarnya seringkali tidak diberi makan, sehingga tidak jarang pula ada yang mati kelaparan di tempat mereka bekerja.
Jalan raya tersebut masih ada sampai sekarang dan menjadi akses untuk umum serta dilintasi berbagai kendaraan dari kota Sumenep menuju kota-kota lainnya, seperti Pamekasan, Bangkalan, Sampang, dan seterusnya. Dan hingga saat ini bukit tersebut sangat fenomenal dan terkenal dengan sebutan “Gunung Peggak” (Gunung Terputus).
Apa sebab Kiai Nur dicari-cari tentara Belanda. Tak lain, karena Kiai Nur terus berdakwah kepada masyarakat sembari menanamkan nasionalisme, mengobarkan api perlawanan terhadap kaum penjajah.
Kiai Nur pekerjaan sehari-harinya adalah petani, sepetrti halnya masyarakat setempat. Namun, Kiai Nur juga tidak segan-segan membantu masyarakat yang kekurangan sambil lalu mengajari ilmu di kediamannya. Namun, sepertinya Belanda tidak berkenan atas apa yang dilakukannya. Hingga pada suatu hari Belanda memaksa Kiai Nur agar berhenti mengajari ngaji dan salat serta memberi makan kepada masyarakat. Tentu Kiai Nur menolak Belanda tersebut.
Hal itu membuat tentara Belanda marah dan memberi tenggang waktu sebulan. Jika setelah sebulan yang ditentukan tersebut Kiai Nur tidak menghentikan dakwahnya, maka nyawanya yang akan menjadi taruhannya.
Seperti di ceritakan oleh oleh Ny Rahmatun, hari demi hari pun berlalu. Masyarakat Moncek dan di luar Moncek tetap berdatangan untuk mengaji kepada Kiai Nur. Bahkan beberapa dari luar Madura seperti Banyuwangi, Situbondo, dan Bondowoso. Melihat hal itu Belanda semakin meraja lela kemarahannya. Bahkan mulai tidak segan-segan mengancam masyarakat dan menyakitinya.
Salah satu ancaman mereka kepada masyarakat adalah akan segera menghabisi Kiai Nur. Masyarakatpun sedih dan mencari cara agar rencana Belanda tersebut gagal. Ada di antara mereka yang menggali sumur dangkal atau semacam jurang untuk menyembunyikan Kiai Nur dan keluarga kecilnya. Namun, Kiai Nur tidak mau bersembunyi. Sehingga masyarakat mulai menghawatirkan keselamatannya.
“Kita tidak boleh bersembunyi dari Belanda, mereka harus kita hadapi demi membela tanah air,” begitu jawaban Kiai Nur.
Hingga tibalah hari yang dijanjikan oleh Belanda untuk menangkap Kiai Nur setelah sebulan tetap tidak mengindahkan peringatan mereka. Namun demikian, Kiai Nur tetap tidak bersembunyi atau keluar dari desanya. Kiai Nur justru menggunakan caranya sendiri untuk mengelabui tentara Belanda. Ia berganti pakaian dengan memakai celana komprang dan topi petani yang terbuat dari anyaman pohon padi tanpa memakai kemeja. Hal tersebut bukanlah merupakan kebiasaannya. Sebab, biasanya Kiai Nur selalu memakai sarung, baju berwarna putih dan kopiah hitam.
Hari itu, pasukan Belanda yang bermarkas di Kecamatan Lenteng mulai mendatangi Desa Moncek. Dengan ekspresi kemarahan, saat memasuki desa, pasukan Belanda berteriak-teriak memanggil-manggil nama Kiai Nur. “Nur! Nur! Nur!” dan kalimat-kalimat lain yang tidak dimengerti karena menggunakan bahasa Belanda. Wargapun berlarian berusaha semyembunyi dan menyelamatkan diri.
Hingga, tentara Belanda pun mendatangi para petani yang sedang bekerja di sawah yang di antara mereka terdapat Kiai Nur. Dengan santai, Kiai Nur tetap mencangkul dan meneruskan pekerjaannya.
Saat mencangkul, Kiai Nur sambil membaca amalan yang terdapat di dalam Al-Quran yaitu surat Yaasiin ayat 9, “Wa ja’alnaa mim baini aidiihim saddaw wamin khalfihim saddan fa aghsyainahum fahum laa yubshiruun.” (Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding, dan di belakang mereka dinding pula, dan kami tutup mata mereka sehingga mereka tidak dapat melihat).
Kiai Nur juga mengajarkan agar masyarakat membaca ayat tersebut. Ayat tersebut pernah dibaca oleh Nabi Muhammad saat berada dalam ancaman orang-orang kafir untuk membunuhnya.
Setelah seharian mencari dan menggeledah rumah-rumah penduduk di Desa Moncek, akhirnya tentara Belanda putus asa dan kembali ke markasnya. Mereka tak menemukan jejak Kiai Nur. Maka, selamatlah Kiai Nur dari sasaran pembunuhan kaum Belanda. Dan sejak saat itu pula belanda tidak kembali lagi ke desa Moncek. Masyarakat pun bebas belajar salat dan mengaji.
Selanjutnya, masyarakat bergotong-royong kembali membangun masjid dan pondok yang sempat terhenti pengerjaannya. Dan berkat kegigihan Kiai Nur dan masyarakat pedalaman tersebut, maka berdirilah masjid untuk pertama kalinya, yaitu Masjid Baitul Muttaqin. Adapun, pesantren-pesantren peninggalan Kiai Nur di antaranya adalah Pondok Pesantren KH Muhammad Nur dan Pondok Pesantren Tarbiyatul Banat. Sedangkan, cucunya Alm KH Ali Makki yang ada di Besuki, Situbondo, juga membangun pesantren atas perintah Kiai Nur, yang bernama Pondok Pesantren Al-Ishlah. Ketiga pesantren tersebut sampai saat ini masih eksis dan terus berinovasi.
Saya seringkali melewati “Gunung Pegga'” tiap kali berkunjung ke compok Kiai Ali Faruq. Semoga Beliau dan keluarga dalam keadaan sehat wal’afiat. Aamiin,,,
Alhamdulillah…Kauleh terro amainah keyah kapan2 ke panjenengan.
Dengan sangat senang hati, langsung ajak Kiai Ali Faruq, Beliau sdh hafal dengan lorong ke rumah saya.