KH Zaini Mun’im: Moderasi Agama dan Cinta Tanah Air

431 kali dibaca

Islam tak hanya berbicara tentang ibadah transenden. Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesama, termasuk dalam konteks bernegara dan berbangsa. Sebab, dengan kebangsaan yang damai dan tentram, umat beragama menjadi nyaman dan terlindungi dalam beribadah.

Dengan begitu, sesungguhnya kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi penghubung agar ajaran Islam dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Segala sesuatu yang menjadi penghubung atau perantara akan tercapainya perkara, dihukumi sepada dengan tujuannya, seperti tegaknya Islam dapat tercapai melalui kehidupan berbangsa dan bernegara.

Advertisements

Demikian sejalur dengan pemikiran KH Zaini Mun’im, pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.

Kiai Zaini merupakan putra dari KH Abdul Mun’im dan Nyai Hamidah lahir di Pamekasan, Madura pada 1906. Ayah beliau berasal dari keluarga elite keturunan raja-raja Sumenep, yang nasabnya juga sampai ke Nabi Muhammad SAW melalui Bhindhara Sa’ud.

Pada saat umur 11 tahun, Kiai Zaini mengenyam pendidikan di Volk School atau biasa dikenal dengan sekolah rakyat. Setelah lulus, Kiai Zaini melanjutkan pendidikannya di beberapa pesantren, seperti Pondok Pesantren Pademangan Bangkalan, Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan tahun 1922, Pondok Pesantren Sidogiri yang pada saat itu diasuh oleh KH Nawawi tahun 1925, dan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang saat itu diasuh oleh KH Hasyim Asy’ari.

Setelah mengenyam pendidikan pondok pesantren, Kiai Zaini juga sempat menimba ilmu di Mekkah dan Madinah pada tahun 1928-1934.

Pada saat itu Indonesia belum merdeka, sehingga Kiai Zaini juga ikut andil memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Perlawanannya kepada penjajah dilakukan melalui organisasi keagamaan maupun jejaring ulama. Penjajah yang merasa khawatir terhadap perlawanan Kiai Zaini, sebab dianggap berpengaruh dalam menakhodai masyarakat untuk menyerang penjajah. Akibatnya, Kiai Zaini sempat ditahan di tahanan penjajah di Probolinggo.

Dengan latar belakang demikian, dapat dipahami jika para santri tidak diberi pendidikan hanya untuk berjuang demi agama saja, namun juga untuk bangsa dan negara. Karena itu, kesadaran berbangsa dan bernegara menjadi salah satu bagian dari panca kesadaran santri di pondok pesantren yang dirintis Kiai Zaini. Santri tidak hanya dibekali ilmu agama, namun juga wawasan serta mental untuk membela bangsa dan negara.

Panca Kesadaran

Kesadaran berbangsa dan bernegara sendiri merupakan bagian dari panca kesadaran santri yang dicetuskannya dan diberlakukan di pondok pesantrennya untuk diterapkan oleh para santri. Nilai kesadaran berbangsa dan bernegara atau biasa disebut dengan al-wa’yu al-hukumi wa al-syu’bi, pemikiran yang menyelaraskan antara kehidupan beragama dan bernegara, keduanya tidak saling bertentangan dan berseberangan. Dalam tanda kutip, memperjuangkan negara juga termasuk kedalam memperjuangkan agama. Islam akan kesulitan untuk melangkah tanpa adanya dukungan dari negara.

Misalnya saja, agama Islam tidak diakui keberadaannya ataupun terdapat undang-undang yang melarang untuk memeluk agama Islam, tentu umat muslimnya akan menjadi kesulitan dalam menjalankan ibadah serta kekhawatiran yang ditimbulkan sebab larangan tersebut.

Karena itu, Kiai Zaini mempunyai pemikiran bahwa santri wajib berjuang demi bangsa dan negara. Pernyataannya yang sudah masyhur di kalangan santri adalah:  “Orang yang hidup di Indonesia dia tidak melakukan perjuangan, maka dia telah berbuat maksiat. Orang yang hanya memikirkan ekonomi dan pendidikannya sendiri, maka orang itu telah berbuat maksiat. Kita semua harus memikirkan perjuangan rakyat banyak, bagaimana agar hukum-hukum Allah dalam Al-Qur’an baik yang tersirat maupun tersurat dapat berlaku di Indonesia.”

Pesan dalam pernyataan ini yang selalu diingatkan kepada para santri agar mempunyai rasa hubbul wathon, cinta tanah air.

Akhirnya, kesadaran berbangsa dan bernegara dibangun melalui santri yang berkiprah di masyarakat, berkecimpung dan membaur dengan lingkungan sosialnya. Masyarakat dipandang sebagai “mikro sosial” dari tatanan bangsa dan negara. Fondasi utuhnya negara berawal dari baik buruknya kehidupan masyarakatnya, sebuah bangunan megah kokoh sebab dibangun dengan fondasi yang kuat.

Kiai Zaini mempunyai pemikiran bahwa bangunan bangsa dan negara harus dibentuk sesuai dengan ajaran Islam dan ilmu pengetahuan pada seluruh bidang kehidupan masyarakat. Kesadaran berbangsa dan bernegara ini diajarkan kepada santri dengan tujuan mempunyai wawasan, pengetahuan, komitmen, dan loyalitas dalam membangun bangsa dan negara.

Pemikirannya tentang berbangsa dan bernegara juga ditulis di dalam kitab Nadzam Syuabul Iman yang tertera pada bagian iman yang ke-57. Bagian ini membahas tentang jihad untuk menjaga keamanan umat dan negeri. Jihad sendiri dibagi menjadi dua bagian: pertama, jihad yang bermakna perang, dan kedua, jihad yang berarti dakwah.

Makna jihad yang pertama dilakukan dalam bentuk pertahanan, bukan berarti melakukan penyerangan seperti pada masa penjajahan Belanda dan Jepang dulu. Jihad yang dilakukan ketika negara sedang terancam dan dalam keadaan bahaya, dilaksanakan untuk menjaga keamanan umat dan negara. Kalau masyarakat enggan untuk melakukan jihad pada waktu itu, maka dipastikan banyak yang akan ditawan dan disiksa, tempat tinggal dan tempat ibadah akan dirampas terlebih dihancurkan. Oleh karena itu, Kiai Zaini juga mewanti-wanti untuk mempersiapkan sumber daya untuk menjaga dan melindungi melalui pelatihan pasukan dan senjata-senjata perang.

Kedua, jihad dalam makna dakwah yakni mengajak umat manusia untuk menyembah Allah dan mengikuti perintah serta menghindari larangannya. Dakwah yang dilakukan dengan cara damai dan hikmah, mengajak dengan lemah-lembut bukan melalui kekerasan.

Bagi Kiai Zaini, Islam dan negara dapat berjalan beriringan, bukan malah saling berlawanan, Islam versus negara. Dari situ terlihat bahwa aliran atau pemikiran yang bermunculan belakangan ini seperti radikalisme bukanlah Islam yang sepatutnya dianut, melainkan harus ditolak dan dijauhi.

Bagi Kiai Zaini, tidak ada yang perlu dipermasalahkan bagaimana bentuk negara, baik negara Islam atau pun tidak. Selagi umat muslim dapat memeluk agama Islam, dapat menjalankan syariat Islam dengan lancar, negara tersebut harus dijaga dan dirawat. Demikian bukan suatu kejanggalan jika terdapat adagium “hubbul wathon minal iman” (Cinta tanah air adalah sebagian dari iman). KH Zaini Mun’im mempunyai maksud untuk merawat nilai syariat Islam melalui tatanan negara. Lahul Fatihah

Multi-Page

Tinggalkan Balasan