Sebagai tokoh yang mencinta bangsa dan negaranya, KH Zaini Mun’im mencoba berbagai medan untuk mewujudkan perjuangannya: jaringan ulama, organisasi massa, dan lembaga pendidikan, yang dalam hal ini adalah pesantren.
KH Zaini Mun’im memang merasakan hidup di dua era, yaitu pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan. Melalui tiga medan perjuangan, Kiai Zaini memiliki peran dan kontribusi besar dalam perlawanan melawan penjajah.
Medan pertama yang dimanfaatkan Kiai Zaini adalah jaringan ulama. Kiai Zaini dikenal memiliki jaringan yang luas di kalangan ulama. Pria yang lahir di Pulau Madura ini berpindah tempat ke Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah Sukorejo, Situbondo yang diasuh KH Syamsul Arifin. Kepindahannya ke Situbondo lebih disebabkan untuk menghindari kejaran penjajah serta mencari lokasi dakwah yang lebih aman.
Setelah itu, Kiai Zaini mempunyai inisiatif bersama temannya untuk pindah ke Yogyakarta. Namun, atas berbagai pertimbangan, Kiai Zaini akhirnya mengambil keputusan untuk tinggal di Paiton, Probolinggo. Tempat itu kini sudah menjadi salah satu pondok pesantren terbesar di Jawa Timur dengan jumlah santri mencapai 10.000 orang.
Dengan membangun pesantren di Paiton, Kiai Zaini mempunyai keluasan yang lebih dalam berjuang melalui cara dakwah di tempat aman dan lebih berpengaruh efektif. Saat itu, Kiai Zaini juga sudah mempunyai relasi yang luas, sehingga sempat berkunjung ke beberapa negara Asia dan Eropa untuk digunakan sebagai bekal perjuangannya di Indonesia. Negara yang pernah disinggahi Kiai Zaini seperti Arab Saudi, Jepang, Jerman, Italia, Prancis, dan Belanda.
Terdapat riwayat yang mengatakan bahwa Kiai Zaini Mun’im diperintahkan oleh Kiai Syamsul Arifin untuk mencari tanah seperti di Sukorejo. Akhirnya tanah di Paiton, Probolinggo yang dipilih untuk ditempati.
Yang kedua, medan yang dipilih Kiai Zaini untuk berjuang adalah organisasi. Dalam hal ini, Kiai Zaini memilih aktif berjuang di Nahdlatul Ulama (NU) Cabang Kraksaan, Probolinggo.
Di lingkungan NU, Kiai Zaini masyhur sebagai ulama karismatik. Rais Syuriah Cabang Kraksaan dan wakil Rais Syuriah Wilayah Jawa Timur pernah diamanatkan kepadanya. Selain itu, Kiai Zaini pernah menjadi juru kampanye Partai NU perwakilan fungsionaris PBNU wilayah Jawa Timur.
Yang ketiga, Kiai menjadi pendidikan sebagai medan perjuangan. Untuk itu, sekitar tahun 1948 Kiai Zaini mendirikan pesantren dengan nama Pondok Pesantren Nurul Jadid. Lembaga pendidikan yang berisi muatan mulai dari sekolah paling dasar (Raudlatul Athfal) sampai dengan perguruan tinggi (Universitas Nurul Jadid/ UNUJA). Kiai Zaini menghabiskan banyak waktunya untuk berjuang di pesantren sampai akhir hayatnya. Waktunya banyak dihabiskan untuk mengajar para santri dan menulis wawasan keislaman.
Tiga medan perjuangan Kiai Zaini tersebut merupakan wadah untuk berdakwah membagikan pemikiran, gagasan, dan wawasan keislaman serta kebangsaan. Perjuangan yang dihukumi wajib bagi Kiai Zaini ini juga diberlakukan kepada para santrinya.
Sejatinya perjuangan memang tidak hanya ditempuh melalui perang melawan penjajah saja, namun mencari ilmu dan menyebarkan ilmu, bergelut dalam organisasi dan berperan aktif untuk kemaslahatan juga termasuk kepada perjuangan. Tujuan Kiai Zaini mendirikan pesantren tidak hanya berorientasi menjadi kiai dan ahli agama saja, namun ingin mencetak kader santri agamis yang konsekuen, siap berjuang di manapun untuk sebuah kemaslahatan umat.
Pernyataan tersebut selaras dengan perkataan Kiai Zaini, “Saya membuka pondok ini bukan hanya karena ingin mencetak ulama (kiai) saja. Tetapi saya ingin mencetak seorang muslim yang konsekuen. Seorang muslim yang konsekuen adalah di samping selalu memikirkan agama, juga kehidupan orang banyak.”
Tidak ada arangan untuk menjadi dan menggeluti profesi apapun. Menjadi petani itu juga bagus dalam tanda kutip tidak melakukan kecurangan dalam penjualan padi dan membayar zakat ketika mencapai batas nisabnya. Faktor sebaliknya, seseorang yang bukan berlatar belakang santri bisa berakibat buruk saat menjadi petani, penjualan padi oplosan atau menimbun stok untuk dijualnya dengan lebih mahal.
Contoh lainnya, politik misalnya sudah dikatakan buruk atau kotor. Orang yang terjun ke politik pasti akan dikatakan kotor, namun saat orang yang tidak berlatarbelakang baik justru akan memperkeruh politik. Karenanya, santri yang berada di dunia politik tidak ada salahnya, dengan tujuan dan harapan dapat memperbaiki kotornya politik.
Pengalaman Kiai Zaini ikut berperan aktif dalam berjuang memerdekakan Indonesia, tentu berpengaruh kepada pemikiran dan pola pikirnya. Seluruh santrinya diberi arahan untuk menjadi muslim aktif yang ikut berjuang di masyarakat untuk kepentingan agama dan negara. Tidak harus menjadi kiai, namun menjadi apapun profesinya atau punya keahlian dan bakat di bidang apa saja, tetap diorientasikan kepada kemaslahatan umat.
Perjuangan dakwah Kiai Zaini pun sampai akhir hayatnya. Tiga hari sebelum wafat, Kiai Zaini masih menghadiri pengajian untuk memberikan mauidzatul hasanah di Gending, Probolinggo. Pada waktu pertengahan acara, Kiai Zaini merasa kurang enak badan, dan terpaksa meninggalkan acara pengajian. Setelah itu kesehatannha terus menurun, pada tanggal 26 Juli 1976 Kiai Zaini wafat. Allahummaghfirlahu.