Khilafiyah, Rokok, dan Kematian

252 kali dibaca

Masalah khilafiyah atau perbedaan pendapat merupakan hal yang jamak terjadi di dunia Islam. Bahkan, perbedaan tidak hanya terjadi antardua mazhab yang berbeda. Di dalam satu mazhab yang sama pun, tidak terjarang terjadi perbedaan juga.

Ambil saja contoh perbedaan antara Imam Ghazali dan Imam Nawawi terkait solat Nisfu Syaban. Padahal, keduanya sama-sama berada di bawah payung mazhab Imam Syafii.

Advertisements

Perbedaan pendapat ini juga terjadi di akar rumput, seperti antara pesantren dengan pesantren lainnya, bahkan antara guru di dalam satu pesantren. Contohnya adalah perbedaan yang terjadi antara almarhum Ayah Mahmudin Pasaribu dan almarhum Ayah Syafi’i Daulai yang mengajar di Pesantren Musthafawiyah Purba Baru.

Sebelumnya, mari kita mengenal terlebih dahulu Pesantren Musthafawiyah Purba Baru. Musthafawiyah atau biasa disebut Pesantren Purba terletak di Desa Purba Baru, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara (Sumut). Pesantren ini telah berdiri sejak 1912 dan merupakan salah satu yang terbesar di Pulau Sumatera. Pendirinya bernama Syekh Musthafa Husein yang belajar di Mekkah pada 1899 hingga 1911.

Syekh Musthfa Purba, begitu ia dikenal khalayak, merupakan salah seorang ulama yang paling berpengaruh di Sumut. Beliau tercatat sebagai salah satu ulama yang mendirikan cabang Nahdlatul Ulama (NU) di Sumut, yang kemudian menjadi identitas pesantren. Pesantren Purba memiliki gaya khas ketika memanggil guru dengan sebutan ayah. Alasannya, sebagai pengganti peran ayah yang tidak bisa membersamai selama belajar di pesantren.

Ketika saya belajar di sana pada 2007 hingga 2014, ada beberapa guru yang diakui keilmuannya baik di lingkungan kabupaten maupun provinsi. Salah duanya adalah almarhum Ayah Mahmudin Pasaribu yang terakhir menjabat Rais Syuriah PWNU Sumut dan almarhum Ayah Syafi’i Daulai yang dikenal kelucuannya di seantero kabupaten.

Ayah Pasaribu, begitu panggilan akrabnya, sangat dikenal akan keilmuannya yang mendalam. Ia sangat gemar membaca sehingga setiap kali ditanya oleh-oleh apa yang ia inginkan, maka ia akan menjawab, “Belikan aku sebuah buku”. Konon, kata santri yang pernah berkunjung ke rumahnya, terdapat lemari besar penuh dengan buku yang menutupi dinding rumanya yang sederhana.

Karena kegemarannya dalam membaca tersebut membuatnya dikenal sebagai guru yang paling fakih di pesantren. Ia juga sangat terbuka dengan ijtihad baru yang menurutnya lebih kuat. Salah satu yang paling saya ingat adalah keputusannya untuk membolehkan bank di saat mayoritas guru yang lain mengharamkannya. Atau, ketika ia mengharamkan rokok di saat guru yang lain memakruhkannya.

Karena masalah khilafiyah bukanlah suatu hal yang istimewa di pesantren, para guru pun tidak begitu menanggapi pendapat “tak lazim” Ayah Pasaribu. Namun, tetap saja pendapat tersebut membuat dongkol di hati para guru lainnya, terutama Ayah Syafi’i Daulai yang merupakan perokok berat. Sepanjang saya belajar kepadanya, sebatang rokok kretek hampir tak pernah luput menyempil di antara dua bibirnya yang sudah menghitam.

Suatu ketika, di saat kami sedang asyik belajar kepadanya, sambil menjepit sebatang rokok di antara jari-jemarinya, ia berceloteh menanggapi pendapat Ayah Pasaribu tentang rokok.

“Kata siapa rokok itu haram! Kalau masalah kesehatan, itu etekmu di rumah tidak merokok mati juga. Aku merokok tiap hari sehat-sehat saja, nih,” katanya membuyarkan konsentrasi kami.

Rupanya, yang dimaksud Ayah Syafi’i adalah istrinya yang telah meninggalkan terlebih dahulu kendati ia bukan perokok. Sedangkan, dirinya sehat walafiat meskipun perokok berat. Mungkin, ia kesal dengan argumen Ayah Pasiribu yang menekankan unsur kesehatan dalam mengharamkan rokok.

“Kalau mau mati, ya mati saja,” tambahnya kemudian.

Meskipun keduanya saling berbeda pendapat, tidak pernah sekalipun saya melihat mereka berdua saling menjelekkan, apalagi menjatuhkan. Mereka tetap saling menghormati satu sama lain, yang membuat kami tidak memiliki kecenderungan kepada salah satunya.

Ayah Syafi’i meninggal dunia lebih dulu beberapa tahun setelah saya lulus dari Purba. Sedangkan, Ayah Pasaribu meninggal tahun 2021 silam. Semogo Allah merahmati keduanya dan mempertemukan mereka di surga. Amin, ya, rabbal ‘alamin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan