Suatu hari selepas pengajian kitab al-Asybah wa al-Nadhair yang dilaksanakan di Aula Ma’had Aly Situbondo, KH Sholahuddin Munsyif sempat bertanya kepada penulis, “Kok di Ma’had Aly Situbondo ini suasananya sejuk ya?” Penulis terdiam sebentar memikirkan jawaban yang kira-kira tepat.
Setelah melihat keadaan sekitar asrama yang dipenuhi dengan pepohonan, penulis akhirnya mantap menjawab, “Mungkin karena di sini banyak ditanam pohon, Kiai.” Beliau yang tampak setuju dengan jawaban penulis langsung menanggapi, “Oh iya benar, ini harus ditiru, kalau begitu nanti di rumah mau ditanam banyak pohon juga!”
Lingkungan Ma’had Aly Sukorejo, Situbondo, di Jawa Timur memang terkenal asri sejak dulu. Tak hanya sekali penulis mendengar kesan sejuk dan asri yang dialamatkan kepada Asrama Ma’had Aly Situbondo. Beberapa wali santri juga pernah mengatakan hal yang serupa. Mereka senang dengan suasana yang ada di sana. Banyak pohon rindang yang cocok untuk tempat berteduh sembari menemui anak mereka. Jarak antarpohon ini juga tidak begitu jauh, hanya sekian meter. Tak hanya pohon-pohon besar, berbagai jenis tanaman hiaspun juga turut menghiasi lingkungan pesantren. Pepohonan hijau dan indahnya bunga-bunga yang mekar merupakan nilai plus saat mereka berkumpul bersama melepas rindu satu sama lain.
Para mahasantri merupakan aktor yang berperan langsung atas terciptanya suasana asri di Ma’had Aly Situbondo. Mereka yang menanam tanaman-tanaman tersebut, menyiramnya, serta merawat keindahannya. Tak ada upah yang diterima untuk hal ini. Hanya kepuasan ketika tanaman yang ditanam tumbuh dengan baik serta pahala dari yang Maha Kuasa dari setiap oksigen yang dihirup oleh orang-orang sekitar.
Kepedulian mahasantri Ma’had Aly Situbondo akan pelestarian lingkungan merupakan hal yang diwariskan turun-temurun dari tiap angkatan. Hal inilah yang secara tidak sadar membentuk sebuah kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan. Para kakak angkatan yang setelah lulus biasanya menjadi asatidz di Ma’had Aly turut memberikan dukungan bagi para mahasantri untuk menghijaukan asrama.
Namun, yang lebih berpengaruh dari itu semua tentunya adalah sosok Allah yarham KH Hariri Abdul Adhim yang merupakan panutan semua mahasantri Ma’had Aly Situbondo. Beliau merupakan mudir Ma’had Aly Situbondo yang ketiga setelah KH R As’ad Syamsul Arifin dan KH Hasan Abdul Wafi. Meskipun beliau sudah wafat pada tahun 2018, namun keteladanan yang diberikan selalu membekas dalam setiap benak para mahasantri.
Kiai Hariri, begitu kami menyapa beliau, merupakan sosok yang terkenal akan kesufiannya. Beliau merupakan sosok yang menekuni dunia tasawuf baik dalam segi ilmu maupun amalnya. Barangkali cerita akan kesufian beliau telah masyhur di kalangan masyarakat
Sukorejo dan sekitarnya. Beliau bisa betah dalam posisi yang sama selama berjam-jam saat sudah menyatu dengan zikirnya.
Pengaruh dari pengamalan tasawuf beliau yang mendalam ini terpancar dalam kehidupan sehari-hari. Kiai Hariri dikenal merupakan sosok yang sangat ramah, selalu tersenyum ketika bertemu, serta sangat penyabar. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang sangat penyayang, tidak hanya kepada manusia, melainkan kepada seluruh makhluk ciptaan Allah Swt, termasuk hewan dan tumbuhan. Bagi beliau semuanya adalah makhluk ciptaan Allah yang harus disayangi; mereka semua bertasbih memuji keagungan Allah.
Salah satu bukti akan kecintaan beliau terhadap lingkungan bisa kita lihat pada cerita yang ditulis dalam buku Suluk KH Hariri Abdul Adhim. Dalam buku itu disebutkan bahwa saat itu di asrama Ma’had Aly terdapat salah satu pohon mangga yang sudah sangat lebat. Dahannya menjalar ke mana-mana sehingga menggangu orang yang lewat. Celakanya lagi, pohon ini juga dijadikan sarang oleh kawanan tawon yang seringkali menyengat orang-orang yang lewat di sekitarnya.
Karena dirasa lebih banyak mudaratnya, maka sebagian santri Ma’had Aly saat itu berinisiatif untuk memotong dahan tersebut. Awalnya mereka ragu karena tahu bahwa Kiai Hariri sangat tidak senang jika ada santri yang sembarangan memotong dahan pohon tanpa izinnya. Namun, untuk mendapatkan izin dari beliau pun merupakan hal yang juga teramat susah. Sebab, seperti yang disebutkan di depan, beliau merupakan orang yang sangat sayang terhadap setiap makhluk hidup. Menurut beliau, dahan-dahan tersebut mempunyai hak untuk tumbuh juga; mereka pun bertasbih sama seperti kita, sehingga lebih baik jika dahan tersebut dibiarkan saja seperti sedia kala.
Namun, karena sudah tidak tahan lagi dengan kondisi dahan yang terus menjalar serta tawon yang terus saja membahayakan orang sekitarnya, maka sebagian santri waktu itu memilih untuk memotong dahan pohon tersebut. Biarlah nanti mereka yang menanggung risikonya kalaupun harus dimarahi Kiai.
Pemotongan dahan pun dilaksanakan. Mereka sengaja memilih waktu di mana Kiai Hariri mios (pergi ke luar pesantren) untuk mengisi acara di suatu tempat. Sorenya, ketika pulang, Kiai Hariri melihat ada keanehan dari pohon yang beliau jumpai. Beliau tak lagi melihat rindangnya pohon tersebut, serta tawon yang biasanya bersarang di sana.
Benar saja, malam harinya beliau langsung menyuruh seluruh santri Ma’had Aly Situbondo untuk berkumpul di aula. Mereka kaget dan bertanya-tanya ada apa gerangan pengumuman yang tiba-tiba ini. Semua santri bergegas menuju ke dalam aula. Setelah semua berkumpul, datanglah Kiai Hariri dengan raut wajah yang tak seperti biasanya; raut wajah kesal dan menahan marah.
Malam itu suasana di aula Ma’had Aly nampak berbeda. Kiai Hariri yang biasanya terkenal ramah, selalu menebar senyum kepada siapa saja yang ia sapa, kini berubah datar dan dingin. Keheningan pecah ketika beliau melontarkan sebuah pertanyaan singkat, “Siapa yang memotong dahan pohon tadi pagi?” Pertanyaan yang cukup singkat, tegas, sekaligus menjawab alasan kenapa mereka semua dikumpulkan malam ini.
Suasana kembali hening. Semuanya diam, takut hendak mengakui perbuatannya. Karena tidak ada yang mengaku, beliau mengulangi lagi pertanyaan tersebut. Setelah itu, barulah beberapa orang santri yang melakukan perbuatan tersebut berdiri dan mengakuinya, “Kami Kiai.”
Melihat beberapa orang mengakui perbuatannnya, beliau langsung menasihati mereka. Namun, nasihat yang diberikan kali ini agak berbeda. Bukan dengan nada yang lembut dan santun sebagaimana yang biasa beliau lakukan, melainkan dengan nada yang tegas dan agak tinggi.
“Kan sudah saya bilang, jangan memotong dahan pohon sembarangan. Mereka itu makhluk Allah juga. Mereka punya hak untuk hidup. Jangan kalian kira saya tidak bisa marah, ya? Saya hanya takut membahayakan kalian kalau saya marah.”
Semua terdiam mendengar perkataan beliau. Baru kali ini mereka melihat beliau marah dengan nada suara yang tak seperti biasanya. Namun, kemarahan itu tak berlangsung lama. Beberapa menit setelahnya, beliau kembali lagi seperti sedia kala. Senyumnya merekah lebar, nasihat-nasihatnya kembali menyejukan hati. Begitulah salah satu keistimewaan yang ada pada beliau. Beliau tak pernah lama jika marah. Ketika marahnya selesai, maka beliau akan kembali seperti Kiai Hariri yang biasa kita kenal.
Dari sepenggal cerita tersebut, kita bisa tahu bagaimana kecintaan Kiai Hariri terhadap lingkungan. Beliau menganggap semua yang ada di dunia ini merupakan ciptaan Allah Swt yang turut bertasbih memuji keagungan-Nya. Sehingga, sudah seharusnya kita turut mencintai dan merawat mereka dengan baik sebagai manifestasi cinta kita kepada Allah Swt. Nilai-nilai ini yang akhirnya tertanam pada santri Ma’had Aly Situbondo sehingga membuat mereka bersemangat untuk melakukan penghijauan di lingkungan asrama Ma’had Aly Situbondo. Mungkin saja nilai ini akan mereka bawa ketika mereka pulang ke rumah nanti, sehingga bisa memberikan pengaruh kepada lingkungan rumah mereka.
*Naskah peserta Lomba Karya Tulis Ekologi Kaum Santri dengan judul asli “KH Hariri Abdul Adhim, Sufi Pecinta Lingkungan Kebanggan Ma’had Aly Situbondo”.